Mulai Berani

1011 Words
Bagian 5 Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di rumah. Mas Bayu memarkirkan motor di garasi, sementara aku langsung membuka pintu. Namun, sebelum pintu terbuka, tiba-tiba saja suaminya Sinta sudah berdiri di hadapanku. "Enak ya, jalan-jalan dari sore hingga malam begini baru pulang! Baru gajian kamu ya Bayu? Mana oleh-olehnya? Kalian enak-enakan di luar, sementara kami disini dari tadi belum makan apa-apa," ucap Mas Bima. Astaghfirullah! Kami yang jalan-jalan kok' malah ia yang sewot? Ini orang memang benar-benar mau nyari ribut sepertinya. "Emangnya apa urusannya dengan kamu? Lagian situ yang lapar kok' saya yang repot!" jawabku ketus. Tanpa basa-basi, Mas Bima langsung merampas kantong belanjaan yang kutenteng. Sontak aku kaget dan berusaha mempertahankan belanjaan yang kubeli di mall tadi. "Apa-apaan, sih?" teriakku. "Lepasin enggak?" Mas Bima tak menghiraukanku. Ia tetap merampasnya. Tenaga Mas Bima terlalu kuat, sehingga belanjaan tersebut langsung berpindah ke tangannya. Bugh! Suamiku langsung melayangkan bogem mentah tepat mengenai wajah Mas Bima. Lalu, Mas Bima terjungkal ke belakang dan suamiku langsung mengambil paksa kantong belanjaan tersebut. Di dalamnya ada biskuit, roti, cemilan untuk anak-anakku, pampers, s**u dan lainnya. Mas Bayu langsung memberikannya lagi padaku setelah berhasil merebutnya. "Hey, Bima, tadi aku masih menghargaimu sebagai tetanggaku dan juga orang yang lebih tua dariku. Sekarang, jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu. Berani-beraninya kamu merampas yang bukan hakmu!" Mas Bayu menatap Mas Bima dengan tatapan tajam. "Cuih!" Mas Bima bangkit dan meludah dihadapan kami. " Sombong sekali jadi orang, minta sedikit saja gak dikasih. Aku dan anak-anak lapar, belum makan dari tadi. Aku tau kalian membawa makanan, makanya ku minta. Tapi kalian sungguh pelit. Lihat saja, orang pelit seperti kalian pasti kena azab," ucapnya tanpa merasa bersalah sedikitpun. Benar-benar otaknya sudah tidak waras! Minta katanya? Itu bukan meminta namanya. Merampok iya! Ampun deh! Selama aku hidup di dunia ini, belum pernah aku bertemu dengan orang aneh seperti dia. Entah dari mana manusia yang satu ini berasal. Apa dia berasal dari planet lain ya? Jika dia manusia sungguhan, sifatnya tidak akan seperti itu. Tak punya akhlak dan adab sama sekali. "Hey, Mas, kalau lapar ya tinggal masak. Kenapa harus menunggu kami? Urus perut masing-masing, dong! Masa iya, urusan perut kalian juga harus kami yang urus!" sahutku, emosiku sudah naik sampai ke ubun-ubun. Ya Allah, apa salahku? Kenapa aku harus bertetangga dengan orang seperti ini? Sungguh, aku sangat muak berhadapan dengan mereka. Tiap hari ada saja masalah karena ulah mereka. Sejak Sinta dan keluarganya menjadi tetanggaku, rasanya hari-hariku tidak pernah tenang, tidak seperti dulu. Dulu hidupku sangat tenang dan bahagia, tidak ada yang mengusik kehidupanku. "Hey Desi, kamu tau sendiri, kan? Istriku sedang tidak ada di rumah. Siapa yang akan masak buat kami?" Pertanyaan Mas Bima sungguh membuatku muak. Bisa-bisanya dia menyalahkanku. "Terus? Maksudnya aku gitu, yang masak buat kalian? Ogah. Ya situ dong yang masak, kalau nggak bisa masak, beli! Jangan mengharap belas kasihan dari orang lain!" Mas Bima terlihat emosi dengan ucapanku. Sepertinya ia tidak terima. Melihat hal itu, suamiku langsung menarik tanganku, meninggalkan Mas Bima yang masih emosi. "Sudah-sudah, gak ada gunanya meladeni orang seperti itu! Bisa-bisa, kita yang akan ikutan jadi gila. Ayo kita masuk!" "Mas, ngapain narik tanganku segala, sih? itu orang perlu dikasih pelajaran, Mas, biar tau diri!" Aku masih belum bisa mengendalikan emosi. Rasanya ingin kumaki habis-habisan si Bima itu, bila perlu mulutnya ku lakban sekalian biar tidak banyak bacot lagi. "Istighfar, Desi, sudah-sudah! Gak usah dipikirin lagi. Sekarang kamu wudhu dulu sana, sholat isya dulu. Mohon ampunan dan perlindungan kepada Allah ya, kita gantian saja sholatnya, sini Haikal biar Mas yang jagain!" Mas Bayu mengambil Haikal dari gendonganku, kemudian aku segera mengambil wudhu untuk menunaikan shalat isya. *** Saat aku sedang menyapu halaman, tiba-tiba sebuah mobil travel berhenti tepat di depan rumah Sinta. Rupanya Sinta sudah pulang. "Hai, Mbak Desi, apa kabar? Baru dua hari nggak ketemu, tapi rasanya sudah lama sekali ya Mbak!" sapanya berbasa-basi. Aku tidak menghiraukan Sinta, segera menyelesaikan pekerjaanku dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku harus menjauhi keluarga msesuai sesuai dengan pesan suamiku. "Mbak, kok' diam aja? Lagi sariawan ya?" tanyanya, membuatku semakin kesal saja. Karena takut terpancing emosi, segera kuletakkan sapu lidi beserta skop di tempatnya kembali, bergegas untuk masuk ke rumah. Tetapi tiba-tiba tanganku ditahan oleh Sinta. "Sepertinya Mbak Desi gak suka melihatku? Apa salahku, Mbak?" tanyanya sok ramah, seperti tidak terjadi apa-apa. Ini orang, sok suci sekali, sih! Pintar sekali bersandiwara. Bukannya masuk ke rumahnya terlebih dahulu, ia malah kepo terhadap urusanku. "Gini ya, Sinta, aku memang sangat muak melihatmu dan juga suamimu. Aku harap mulai sekarang kamu tidak usah menyapa atau datang ke rumahku. Aku tidak suka dengan orang yang suka memfitnah dan mengadu domba sepertimu," ucapku dengan tegas. "Ini sebenarnya ada apa, Mbak? Jelasin dulu, dong! Sinta kan baru pulang, Sinta gak tau apa-apa Mbak!" "Kamu enggak usah bersandiwara padaku, Sinta. Kemarin 'kan kamu yang nangis-nangis mau pinjam uang padaku. Tapi kenapa kamu bilang sama suamimu kalau aku yang ngasih duit itu ke kamu dan aku yang nyuruh kamu buat pulang kampung, hah?" Akhirnya, aku tak tahan lagi. Sinta diam, terlihat kepanikan dari raut wajahnya. Mungkin dia sedang mencari-cari alasan agar aku percaya. "Terus, masalah anak-anak kalian? Kamu bilang sama suamimu kalau aku bersedia menjaga dan merawat anak-anakmu sampai kamu kembali? Kapan kamu memintaku untuk menjaga mereka? Dan apakah aku menyetujuinya?" Aku mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Melupakan semua kekesalanku. "Bu--mbukan be-gitu, Mbak!" jawab Sinta terbata. "Sudahlah, enggak usah basa-basi!" "Astagfirullah, Mbak, aku beneran nggak tau apa-apa!" "Berhenti bersandiwara! Aku hampir saja kena tamparan suamimu karena dituduh sudah menelantarkan anak-anakmu. Untung saja ada suamiku yang selalu melindungiku!" Sinta diam, benaran tidak tau atau hanya pura-pura? Apapun itu, aku tidak peduli. "Dan semalam, karena suamimu sudah terlalu lancang dan sudah kelewat batas, suamiku memberinya pelajaran. Sebuah bogem mentah berhasil mendarat di wajahnya untuk membungkam mulutnya yang banyak bacot itu." Aku sengaja mengucapkan kata-kata itu, dan aku puas setelah mengucapkannya! "Sekali lagi Sinta minta maaf ya, Mbak. Maafin suamiku juga ya Mbak." Beneran aku gak tau apa-apa!" "Simpan saja kata maafmu itu!" Aku langsung meninggalkan Sinta yang masih mematung di depan pintu rumahku. Sungguh, aku sudah sangat muak melihatnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD