Prolog

620 Words
Di dunia ini setiap orang memiliki banyak sekali pilihan. Baik itu pilihan yang dibuatnya sendiri, pilihan dari orang tua, atau bahkan pilihan paksa dari alam semesta. Setiap kita tentu bisa memilih lebih dari satu pilihan itu. Dengan berbagai resiko setelahnya tentunya. Atau tidak mengambil sama sekali pilihan-pilihan itu karena merasa tak cocok. Tapi, tidak denganku. Semesta memberiku pilihan lewat orang tua. Kalau kalian pikir aku akan tersiska, menangis meraung-raung karena pilihan itu sama sekali tidak kusuka, kalian salah. Aku justru mengambilnya dengan bangga. Disinilah kisahku bermula. Ketika pilihan itu justru menemukanku pada corak-corak indah dari takdir semesta. Takdir yang membuatku tidak hanya menangis atau tertawa, tapi nyaris gila. Ah, ya... namaku Sarah, perempuan 21 tahun yang sedang berjuang untuk lulus dari jurusan sangar- Teknik Kimia- di salah satu kampus negri di Indonesia. Jurusan yang sejujurnya sama sekali tidak aku suka, tapi sepertinya memang salah satu sisi di diriku kadang justru senang dengan tantangan yang tak masuk akal. Bukan Sarah namanya kalau pasrah dengan keadaan. Ditengah sibukku berkuliah, aku tergabung di salah satu komunitas menulis di kota ini juga menjadi penulis cerpen freelance di sebuah majalah remaja. Selain bisa menambah pundi-pundi nominal uang di rekening, kegiatan itu memang harus kulakukan demi menjaga kewarasanku. Demi apapun, meski aku berusaha tegar, sok kuat, dan bisa menerima pilihan orang tuaku dengan dunia eksak ini, aku tetaplah aku yang juga bisa gila juga gara-gara t***k bengek angka dan rutinitas menguras otak. Maka menulis adalah obatnya. Sejujurnya alasan lebih real nya karena aku mau tetap eksis. Kalau kalian menebak aku bergolongan darah O, selamat! Kalian benar. Sejak SMP aku sangat gila populer. Tergabung di salah satu club basket, OSIS, PMR, dan komunitas Karya Tulis Ilmiah adalah beberapa bukti konkret betapa terobsesinya aku dengan kata "populer" itu. Sisi ambisius yang begitu dominan dalam diriku terkadang ada untungnya juga. Meski kadang sedikit menyiksa, tapi aku rasa itulah cara Tuhan 'memaksaku' untuk menggapai capaian tertinggi di hidupku. Beberapa hari ini aku sangat sibuk sekali, bolak-balik laboratorium untuk menyelesaikan riset, revisi laporan yang mengharuskan bolak-balik kampus-rumah dosen-cafe milik anak dosen-kampus. Untungnya aku nggak sendirian. Di jurusanku riset dilakukan oleh dua orang, untuk skripsi juga dua orang. Tapi jangan dikira skripiku mudah, kalian tahu berapa sheet isi kertas dalam satu rim? Nah segitulah tebalnya skripsiku. Nggak usah dibayangin, nanti kalian muntah. Hari ini aku ada janji ketemu Bu Indah-pembimbing risetku untuk revisi laporan bab satu sampai tiga. Sengaja dicicil supaya nggak ribet di akhir. Kulihat jam di tanganku sudah pukul 3 sore, dan ini sudah lewat 2 jam dari waktu janjian yang diminta Bu Indah. Demi apapun, menunggu benar-benar menyebalkan. Di tengah galau dan lelahnya jasmani dan rohaniku, dering ponsel membuat tubuhku sedikit terlonjak kaget. Tertera nama Bu Indah di layar ponsel, segera ku swipe up tanpa menunggu suara dering ketiga. "Iya Bu, saya segera ke ruangan," ucapku seraya menyambar beberapa berkas yang berserakan di bangku tunggu ruangan dosen. Tanpa melihat kanan kiri tubuhku asal mengambil jalan hingga suara dua tubuh saling terbentur terdengar setelahnya. Bruuukk "Aww!"  Tulang belikatku rasanya panas sekali. Nyaris aku mengumpat. Bibirku tercekat ketika tahu siapa yang baru saja menabrakkan tubuhnya ke pundakku. Jelas menabrakkan, aku tidak pernah salah jalan. Ingat itu. "Mat-a" Aku meneguk saliva yang terasa seperti bongkahan batu di tenggorokanku. "Pak Abraham, maaf saya nggak lihat."  Mampus! Kupastikan saat ini wajahku pucat entah karena malu atau kelaparan karena belum makan siang. "It's okay. Maaf saya tadi juga buru-buru sampe tidak sadar ada kamu." Aku tersenyum getir lalu menggangguk pelan. "Saya duluan Pak, ditunggu Bu Indah." Kepalaku menunduk sopan lalu meninggalkan Pak Abraham yang juga berlalu ke ruangannya. Hari itu, tanpa aku sadari akan jadi hari bersejarah dalam hidupku. Di mana kehidupan lebih rumit menanti di depan dan segala kegilaan dimulai.  To Be Continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD