3 | Dia Terlalu Jauh | Dia Terlalu Liar

1102 Words
“Siapa, sih?!” teriak Sasi kesal saat mendapati pintu rumahnya diketuk beberapa kali. “Nggak tau orang lagi malas ngapa-ngapain apa? Jalan ke pintu itu perlu tenaga yang banyak juga. Emang situ mau ganti rugi?” Itu omelan sebelum Sasi membuka pintu dan beda cerita lagi setelah pintu terbuka. Karena demi apa pun Sasi lupa menutup mulut setelah melihat siapa yang berdiri menjulang beberapa langkah di depannya. Pria kissable dengan raut yang terlihat lelah namun masih sangat menawan. “Ada apa?” tanya Sasi, pura-pura ketus dan diam-diam mencondongkan dadanya ke depan untuk menarik Yudistira. “Ini bukan semacam, mengetuk pintu rumah orang dengan alasan menanyakan alamat, kan?” Yudistira menggeleng. “Saya memang ingin bertemu Anda. Apakah kedatangan saya mengganggu waktu istirahat Anda?” “Tidak, kebetulan saya kosong.” Sasi melebarkan pintu sebagai bentuk isyarat tak langsung untuk mempersilahkan Yudistira masuk. “Angin malam tidak bagus untuk kesehatan. Anda bisa melihat sendiri kalau pakaian saya terlalu terbuka untuk mengobrol di sini.” Ini gila! Sasi hampir tidak pernah mengucapkan hal-hal yang berbau undangan seperti tadi. Tapi, entah kenapa dengan Yudistira beda. Sasi sangat agresif dan Sasi menyukainya. “Ah, ngomong-ngomong, darimana Anda mendapatkan alamat rumah saya? Dan, apa yang membuat Anda melakukan itu.” Manik mata Yudistira sekelam malam, begitu tajam dan menarik di saat yang bersamaan. “Ada yang ingin saya bicarakan. Sekarang apa saya sudah bisa masuk?” “Hm, tentu saja,” persilahkan Sasi, kemudian Sasi melangkah lebih dulu untuk mengarahkan ke ruang tamu. Sambil sesekali Sasi menoleh lewat bahu untuk mengamati Yudistira. “Apa Anda tadi menemukan tempat parkir yang tepat? Karena kalau tidak, Anda akan menghalangi pengendara lain dan mobil Anda yang mahal itu tidak akan selamat dari amarah warga komplek sini.” “Seberlebihan itu?” tanya Yudistira disertai kernyitan dahi. “Ya, seberlebihan itu,” ulang Sasi. “Komplek tempat tinggal saya memiliki jalan yang sempit. Hanya seukuran satu mobil, sisanya satu motor. Kalau Anda memarkirnya di sisi jalan, maka jangan heran sekembalinya dari sini, Anda akan menemukan kaca jendela atau spion Anda yang pecah.” “Kalau memang seperti itu, saya tidak bisa berbuat banyak. Di sini suit untuk menemukan lapangan atau halaman yang luas. Saya tidak akan keberatan mengganti kerusakan mobil saya.” Orang kaya, bisik Sasi dalam hati. “Terdengar bagus. Mari, silahkan duduk ... Yudistira.” Untuk pertama kalinya nama itu keluar dari mulut Sasi. Terdengar pas sekali untuk diucapkan maupun didesahkan. “Anda ingin sesuatu? Semacam teh, kopi atau air putih.” “Terima kasih tapi tidak perlu,” tolak Yudistira halus. Setelah menyamankan posisi duduknya, Yudistira langsung menaruh fokus sepenuhnya pada Sasi. “Apa Anda sedang bekerja saat ini?” “Maksudnya?” heran Sasi. Tujuan Yudistira ke sini untuk apa, sih? Kalau mengulang seperti pertemuan pertama mereka ... ya hayuklah. Sasi mah oke-oke saja. Khilaf untuk kedua kalinya boleh, kok. Yang penting besoknya sadar lagi. “Sebelum menjawab, saya ingin mengajukan pertanyaan juga. Anda sebenarnya ada keperluan apa dengan saya? Mungkinkah ini berbubungan dengan sesuatu yang intim?” “Maaf?” Melihat kebingungan di wajah Yudistira, Sasi langsung menggigit bibirnya. “Tidak apa-apa, abaikan yang tadi. Silahkan dilanjut.” “Saya butuh beberapa informasi tentang Anda. Dari pekerjaan dan lain-lainnya. Tentu keputusan untuk menjawab atau tidaknya berada di tangan Anda.” “Oke ...” jawab Sasi lamat-lamat. Pikiran Sasi berkelana ke mana-mana dan Sasi langsung menyimpulkan kalau Yudistira tertarik padanya. Terdengar lancang, bukan? Padahal Sasi tahu sendiri kalau Yudistira sudah menikah dan memiliki anak. “Untuk sementara saya tidak bekerja. Sederhananya, saya pengangguran.” “Kalau boleh tahu, alasan Anda pengangguran apa?” “Dipecat,” kata Sasi tanpa pikir panjang. Ada kekagetan di raut wajah Yudistira, tapi cepat-cepat ditutupi. “Alasannya? Kalau Anda tidak keberatan menjelaskan.” Apa seseorang yang melakukan pendekatan menanyakan hal semacam ini? Setahu Sasi, pria-pria sebelumnya berbeda. Mereka lebih ke tindakan ketimbang merepoti Sasi tentang hal ini dan itu. “Butuh jawaban jujur atau bohong?” “Jujur.” “Mmm ... anu, saya ... lha, iya, Anda sudah pernah mendengar ceritanya sendiri.” Sasi kaget saat mendapati nadanya meninggi di akhir, begitu pula Yudistira. “Itu yang pernah saya ceritakan di club malam. Yang ... Ah, Anda pasti ingat.” Beberapa saat Yudistira terlihat berpikir. Lalu, ekspresinya berubah saat menemukan sesuatu. “Saya rasa pertanyaannya sudah cukup. Terima kasih sudah berkenan menjawab, saya pamit pulang.” “Lho, lho, kenapa?” tanya Sasi panik begitu melihat Yudistira bangkit. “Hanya itu saja? Tidak ada yang lainnya?” “Ya. Hanya itu.” Yudistira mengangguk sekali. “Permisi.” Saat bahu lebar nan pelukable itu menjauh, Sasi hanya terpaku dengan mulut terbuka. Astaga! Astaga! Astaga! Untuk kesekian kalinya, kecantikan dan keseksian Sasi tidak mempan pada Yudistira. *** Di tengah-tengah kemacetan, Yudistira mengamati Liam dalam diam dan sangat heran saat mendapati Liam tidak banyak bicara seperti biasanya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Yudistira untuk memecah keheningan. “Aku sedang berpikir berat, Dad. Mom menelpon kemarin dan mengatakan akhir pekan nanti akan ke Indonesia. Mom bilang, aku harus menuliskan apa-apa saja yang ingin kulakukan bersamanya nanti.” “Lalu, apa yang membuat semua itu berat? Itu rutinitas kalian setiap bulan, bukan?” “Ya, memang. Tapi, bagian tersulitnya adalah ... di dalam daftar keinginanku, Dad harus ikut kami. Aku lupa kapan terakhir kita jalan-jalan bertiga dan aku butuh mengingatnya lagi kalau Dad setuju untuk ikut.” “Liam,” panggil Yudistira hati-hati. Untuk sementara, Yudistira memberi jeda dan bersamaan itu jalanan mulai lenggang. Perlahan Yudistira melajukan mobil, sambil sesekali Yudistira membagi perhatiannya antara jalanan dan Liam. “Dad dan Mom, kami berteman. Tapi bukan berarti kami akrab. Ada hal-hal yang membuat kami canggung. Kalau Dad ikut, takutnya Dad akan mengacaukan quality time kalian.” “Aku mengerti,” ujar Liam mengangguk. “Mungkin lain kali. Kuharap Dad bisa mengatasi rasa canggung itu nanti.” “Terima kasih.” Tangan Yudistira terulur untuk mengusap puncak kepala Liam. “Kau anak yang hebat. Dad tidak memiliki waktu yang banyak untuk menemani dan mengurusmu, tapi kau bisa mengurus dirimu sendiri dengan baik.” “Harus kuakui itu kehebatanku. Tapi, jangan lupakan aku masih butuh nanny.” Diubah Liam posisi duduknya menjadi menyamping. “Bagaimana dengan Tante Sasi?” “Maaf, Dad tidak bisa memenuhi permintaanmu. Dia terlalu ... jauh. Dad juga tidak percaya padanya.” “Ayolah, apa yang salah? Padahal aku menunggu kabar baik dari Dad.” Yudistira memelankan laju mobil, lalu menghentikannya saat tiba di depan sekolah Liam. “Ingat, Dad akan menyetujui setelah Dad mendapat informasi yang baik, memberi penawaran, dia menerima dan Dad akan memberi beberapa tes lagi. Sayangnya, dia sudah gagal di persyaratan pertama.” “Apa? Kenapa?” “Hanya Dad yang boleh tahu alasannya,” tolak Yudistira dengan bahu terangkat. “Bergegaslah. Nanti kau akan terlambat.” “Aku akan mogok bicara,” kata Liam ketus. Dilepas Liam sabuk pengaman kemudian Liam membuka pintu mobil dan keluar. Liam bahkan tidak meminta tangan Yudistira untuk disalimi, sebaliknya Liam justru berdiri sambil memegang tali tasnya, dan tatapan tajam Liam berikan untuk Yudistira. “Kalau Dad tidak membuat Tante Sasi jadi nanny, aku akan mendiamkan Dad selamanya. Aku sekolah dulu.” Begitu Liam berbalik, Yudistira hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya. Memiliki anak pintar dan lebih dewasa dari umurnya memang merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi orang tua, karena itu artinya sama dengan berhasil mendidik sang anak. Tapi, tentu saja ada sisi yang membuat sakit kepala. Contohnya seperti tadi. Kalau Liam dalam kondisi kritis, maka Yudistira tidak memiliki kata untuk melawannya. Jalan satu-satunya adalah mendiamkan atau menyerah dan menuruti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD