Starting Point

1833 Words
“Kau tahu berita apa yang aku bawa untukmu ?” Adelia berkata dengan riang gembira hampir menghambur memelukku. Yang pastinya setelah hampir mendobrak pintu mess yang sedari awal memang bobrok. “Berita apa yang kau bawa untukku ? dapat pria baru lagi ?” tanyaku agak skeptis. Sahabatku menggeleng agak liar. Aku agak kehilangan ide untuk menerka nerka soal berita bagus yang dibawa sahabat yang hobby menguntit diriku kemanapun aku pergi ini. Biasanya apapun yang bagus pasti soal pria, dan hal buruk juga tentang pria. Adelia orang yang semudah itu ditebak tapi hari ini untuk pertama kalinya aku kehilangan ide untuk menebak apapun soal gadis yang tak juga melepaskan pelukannya ini. “Ayahmu mengirim uang berlebih untuk uang saku ?” Untuk jawabanku ini aku agak meragu sebab dia bukan orang yang terlalu peduli soal uang. Padahal Adelia adalah gadis yang hidup serba kecukupan. Tidak ada yang lebih baik daripada itu. Tapi dengan bodohnya dia memilih hidup bersamaku dan memasuki universitas yang seadanya untuk bisa dekat denganku. Ini aneh. “Ya, hampir tapi bukan tentang keluargaku.” Katanya kemudian lalu melepas pelukan eratnya. Dan memandangku dengan senyuman yang tulus. Aku tidak mengerti mengapa dia memandangku dengan cara seperti itu. Tapi setidaknya itu lebih baik, ketimbang aku harus bermain tebak-tebakan dengannya seharian. “Terus ?” tanyaku pada akhirnya yang kemudian dibalas dengan hela napas. “Kita kan sedang libur semester, kamu tidak kepikiran untuk ya liburan ?” aku menggeleng. Terus terang aku selalu menghabiskan waktuku untuk bekerja sambilan sebab aku tahu jika aku bukan berasal dari keluarga yang telah memiliki sendok emas dari lahir. Jika aku menginginkan sesuatu aku harus berusaha memilikinya dengan usaha yang ekstra. Aku juga bukan tipikal seorang anak yang dengan mudah meminta pada orangtua. Meski jika kulakukan orangtuaku akan membelikannya, namun aku tahu jika disana mereka akan bekerja lebih keras lagi sedangkan usia mereka sudah cukup renta dan aku tidak ingin merepotkan mereka dengan keinginanku yang tidak seberapa. Karena itu jika dibanding harus menghabiskan waktu dengan bermain. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku mencari uang. “Kalau begitu untuk semester ini aku ingin kita liburan.” Ini sebenarnya bukan permintaan yang pertama kali diujarkan Adelia padaku. Namun karena kesibukanku yang berkali-kali lipat diliburan semester aku sering kali menolak ajakannya untuk bolos barang sehari dari pekerjaanku. Tapi kebetulan sekali diliburan kali ini aku belum mendapatkan satu pekerjaan pun. “Aku tidak punya cukup uang untuk kuhamburkan dalam perjalanan yang biasa kau sebut liburan Adelia..” kataku mendesah, lalu kembali dalam posisi semula rebahan. Adelia merenggut, kemudian memberikanku sebuah kupon. “Iam the luckiest girl for this summer ! kita tidak perlu mengeluarkan biaya, Sebab aku memenangkan undian untuk berlibur. Kamu tidak perlu memikirkan apapun selain kesehatan mentalmu !” katanya lagi kembali membuatku secara terpaksa harus menatap kearah matanya. “Kau ingat apa kata dosen kita Miss Claria ?” Adelia menggeleng dengan cepat. Sebenarnya aku tidak perlu kaget soal itu. Adelia memang bukan tipikal kutu buku sepertiku yang bisa memperhatikan penjelasan dosen saat kuliah berlangsung. “Yang mana ?” tanyanya lagi. “Jika menang lotre itu artinya akan ada bencana.” Kataku asal, dan itu memang benar berasal dari Miss Claria. Dosen wanita itu adalah orang yang paling payah jika menyangkut soal keberuntungan undian. Sewatku-waktu dia pernah memenangkan undian. Dan yang terjadi selanjutnya adalah ada maling masuk kedalam rumahnya. Dan saking fokusnya cerita pribadi beliau masih aku ingat hingga detik ini. Miss Claria memang tipikal dosen yang sering menyangkut pautkan segala materi dikelas dengan kehidupan pribadinya. “Well, itu hanya berlaku untuk dia. Tapi tidak untukku. So, mau ikutkan ?” tanya Adelia lagi. Apa boleh buat, liburan semester adalah waktu terpanjang jika tidak digunakan dengan baik. Terlebih menolak pun belum tentu Adelia mau berlapang d**a seperti sebelumnya. Kurasa memang aku butuh sedikit liburan panjang untuk mengistirahatkan beban pikiran yang terlampau banyak kubawa didalam tubuhku. Aku butuh ketenangan hati. Pada akhirnya aku cuma bisa menghela napas. Dan sialnya Adelia sadar soal itu. “Ribut dengan pacarmu lagi ?”  tanyanya melirik kearah ponselku yang bergetar beberapa kali tanpa aku risaukan sedikitpun. “Sial. Aku benci saat kamu peka soal ini.” “Bukan aku yang peka, tapi kamu sendiri yang minim menyadari jika tingkat kepekaanmu dalam perasaan itu nol.” Adelia menyahut. Sedangkan aku menatap ponselku dimana pesan dari pacarku belum aku sentuh sama sekali. Aku tak menanggapi komentarnya karena kurasa dia benar. Aku menjalin hubungan yang orang bilang adalah sebuah masa penuh rasa manis. Menghabiskan waktu bersama kekasih yang selalu memberikan support dan dukungan. Ya, semanis itu. Tapi yang aku rasakan tidak seperti itu. Terutama untuk beberapa minggu ini, aku lebih memilih untuk diam dan membungkam semuanya sendirian karena bagiku berbagi cerita soal hidupku hanya akan memusingkan dia. Bahkan pria itu terlampau sering memaksaku untuk mengikuti inginnya. Seharusnya dia tahu jika aku bukan tipikal wanita yang fokus padanya saja. Dan pertengkaran kami seolah tidak ada habisnya karena aku sendiri memilih untuk mengabaikan dirinya. “Daiki kan orangnya seperti itu, kepribadiannya bertolak belakang denganmu. Makanya aku heran kenapa kamu menjadikan dia kekasihmu.” “Dia orang yang menyenangkan. Ketika dia bilang dia suka padaku, aku berpikir mungkin akan bagus bagiku memiliki seorang kekasih.” “Kamu cinta padanya ?” “Kurasa tidak. Aku hanya suka padanya.” “Reca. Selain tidak peka kau ternyata perempuan yang paling jahat.” “Sejak awal aku tidak pernah menjanjikannya cinta. Aku bilang padanya. Jika ingin menjalaninya maka silahkan, tapi jangan menuntut apa-apa. Dia bilang sanggup, dan sekarang dia mengingkari apa yang dia ucapkan padaku. Bukankah itu aneh ?” “Ya, ya.. logikamu memang tidak pernah bisa masuk kedalam kepalaku.” “Bersamanya membuatku tambah stress.” “Kau lupa ? disini ada seorang gadis single yang mengejar banyak pria tampan tapi tak mendapatkan satupun dari mereka. Gila, bisa kau bayangkan berapa banyak hal aku korbankan demi sebuah respon ? kau tidak melakukan apa-apa mendapatkan pacar sementara aku yang mengerahkan segalanya belum ada yang mau menempel padaku.” aku menoleh. Menatapnya dengan kedua mataku. Adelia adalah perempuan yang paling sempurna dia terkenal di kampus. Tapi hal yang membuatnya tersandung adalah status kekayaan orang tuanya. Universitas kami diisi oleh orang menengah kebawah. Mungkin para pria disekitar kami minder untuk menyatakan rasa melihat latar belakang keluarganya. Ya, setidaknya dititik ini aku paham jika setiap individu memiliki masalah masing-masing. “Kalau begitu temani aku liburan dan hibur sahabatmu ini. Hmm~” lagi-lagi Adelia menempeliku seperti ini. jika sudah merajuk dan merayuku aku tidak bisa berkata tidak. Pada akhirnya aku Cuma bisa menganggukan kepalaku dan mengabulkan inginnya untuk menghabiskan waktu bersamanya. “Baiklah..” kataku, dan dia melompat kegirangan didetik itu juga. Ya, Adelia memang sesederhana itu. “Kalau begitu sekarang packing. Besok kita berangkat !” katanya lagi.  *** Pria berambut pirang lantas melirik pria gondrong disisinya. Laki-laki kalem itu masih pula duduk dengan posisi yang sama sambil menatap layar ponselnya yang bergambar kekasihnya. Nancy. Nancy adalah satu nama yang telah terkenal seantero negeri. Wanita itu memiliki usia yang terpaut kurang lebih tiga tahun lebih tua dari si gondrong. Untuk beberapa alasan si pirang merasa kasihan dan simpati sebab perjalanan cinta sahabatnya itu tidak semulus wajahnya. Nancy adalah tipikal wanita yang tidak melihat sahabatnya sebagai sosok pria. Karena mereka dekat sejak kecil, pada akhirnya dia hanya dianggap sebagai sosok adik kecil bagi Nancy. Kerap kali ketika sahabatnya menyatakan rasa, selalu dibalas dengan sebuah penolakan. Si pirang juga tidak buta, dia terlampau banyak melihat betapa banyak perjuangan yang pria itu lakukan demi Nancy. Dia memanjangkan rambutnya demi mendapatkan respon dari wanita itu. Jika dipikir lagi apa sih yang tidak si kalem ini punya ? manner pria sejati melekat padanya, belum lagi label pria setia yang hanya mencintai satu wanita saja. Hanya satu yang kurang padanya. Dia tidak pandai menerka rasa, orang kata itulah yang disebut sebagai tidak peka. Dia terlalu dingin dan kaku. Tapi saat jatuh cinta dia jadi bodoh dan tak pantang menyerah padahal telah ditolak dan dianggap sebatas adik lelaki saja. “Lamaranmu ditolak Nancy lagi ?” celetuk si pirang sambil mengeringkan rambutnya yang baru disemir warna baru. Baru kemarin dia mewarnai rambutnya ombre hijau hitam layaknya Billie Eilish versi pria, tapi karena moodnya kali ini lebih cerah. Dia mewarnai rambutnya dengan pirang. “Mulutmu lebih konslet dibanding paman rupanya.” Celetuk si kalem yang merasa tersinggung pada ucapan sipirang yang tak kenal filter. Like father like a son tentu saja, pribahasa itu terlalu melekat untuk si pirang yang over reaktif terhadap sesuatu. Dan satu hal dia terlalu peka pada hal-hal berbau romansa seperti ini. Pantas saja jika dia bisa dengan mudah menggaet siapa saja. Toh, pengetahuannya soal hal-hal berbau cinta sudah hatam sejak sekolah menengah. Pesonanya tak hanya tampan tapi dia juga percaya diri dan ramah. “Oy Dira. Jangan samakan aku dengan ayah. Aku ini lebih mirip ibu.” Si kalem yang dipanggil Dira Cuma bisa menghela napas pasrah seolah lelah mendengar jawaban yang sama keluar dari mulutnya. Tak lama dia kemudian merogoh kantong celananya sembari melempar si pirang dengan dua buah tiket. Yang dilempari Cuma bisa melongo. “Ini kan..” “Untukmu saja. Itu tiket yang akan aku pakai berlibur bersama Nancy, Tadinya. Tapi karena dia menolakku lagi daripada mubazir mending kau yang pakai. Pacarmu banyak kan ?” Dira berkata sembari melempar ponselnya keatas ranjang. Disusul tubuhnya juga tak lama pria itu menutup seluruh kelopak matanya. Si pirang tahu betul jika Dira bekerja keras semalaman hingga begadang untuk menentukan destinasi liburan. Tapi karena penolakan yang dia terima hari ini. Dia rasa Dira sedang proses berpatah hati. Sedari tadi saja dia sudah melamun tak jelas memandangi ponselnya yang berwallpaper Nancy. “Kenapa kau tidak ikut bersamaku saja ? bukannya bagus supaya kau bisa refreshing juga ?” tawar si pirang dengan polos. Dira yang hampir saja diserang kantuk tiba-tiba perlu memaksakan kedua matanya kembali terbuka lebar. Lalu begidik ngeri memandang sahabatnya yang telah memasang cengiran polos dimukanya. “Kau gila ? untuk apa aku pergi bersamamu ? itu liburan yang khusus dipakai untuk sepasang kekasih.” Sembur Dira pada akhirnya. Tapi bukannya berpikir lurus, si pirang malah berbalik menggoda sambil menjilat bibirnya. Memandang Dira dengan kilatan mata yang nakal. “Kau tidak perlu malu mengakuinya sayang~” si pirang tiba-tiba mendekat kearah Dira yang masih berada diranjang. Kontan pria itu diserang ketakutan hebat. Ekspresi ngeri melekat sekali di wajahnya yang tampan. “Farell kuperingatkan jangan mendekat padaku atau aku akan membunuhmu !” seolah menulikan pendengaran si pirang yang bernama Farell ini malah mendekatkan dirinya lebih lagi. Membuat Dira dilanda kecemasan hebat. “Kenapa ? jangan takut, aku akan membuatmu nyaman,” “Berhentilah bertingkah menjijikan seperti itu !” Ketika wajah mereka semakin mendekat. Farell tiba-tiba menjauh dan menyemburkan tawanya kuat-kuat. “Aku suka menggodamu Dira. Respon darimu selalu lucu dan menyenangkan !” katanya lagi disela-sela tawanya. “Cih.. Sialan !” meski begitu Dira tersenyum pula. Ya, dia tahu jika Farell sedang berusaha menghiburanya dan mengubah moodnya yang memburuk karena Nancy. Ya, tidak buruk juga menghabiskan waktu dengan sahabatnya yang rada sengklek ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD