Pagi itu, ulangan semester pertama. Karena tetangga kontrakan yang berisik, alhasil aku tidak bisa belajar dengan tenang. Itu juga membuatku bangun kesiangan.
"Dasar, tetangga enggak tau aturan dalam undang-undang bertetangga! Kalau mau dugeman, ke diskotik, kek," gerutuku.
Aku berdiri di pinggir jalan. Menunggu angkot menuju sekolahan. Sayang, lima menit menunggu tak ada kendaraan yang berhenti. Semua penuh.
"Hei!"
Aku menoleh ke arah suara.
"Udah siang. Masih mau nunggu angkot?"
Aku palingkan wajah.
"Ayo, Dek!" Tiba-tiba supir pribadi Arya sudah membuka pintu mobil dengan tangan memberi isyarat agar aku masuk.
Aku tahu apa artinya. Terdorong rasa kesal menunggu angkutan umum, juga takut jika kesiangan. Aku pun masuk ke dalam mobil hitam itu.
"Terima kasih," ucapku setelah memastikan duduk dengan nyaman.
"Ya," sahut Arya. Tanpa menoleh ke arahku.
"Kenalin, aku Dinda." Kuulurkan tangan ke arahnya.
"Arya," ujarnya, dan tatapannya masih tertuju ke arah buku di tangannya.
Aku mengembuskan napas pendek. Akhirnya, kuputuskan untuk membaca buku juga.
Tiba di parkiran sekolah. Arya turun lebih dulu.
"Silakan, Tuan Muda," ucap Pak Sopir.
Setelah Arya keluar, aku pun segera turun.
"Silakan, Nona Dinda."
"Terima kasih, Pak ...." Aku menggantung kalimat karena tidak tahu siapa nama lelaki paruh baya itu.
"Pak Imran," sahut lelaki itu ramah seakan mengerti kebingunganku.
"Terima kasih, Pak Imran."
"Sama-sama."
Aku menoleh ke arah Arya yang terdiam menatapku. "Kenapa?"
Arya menggelengkan kepala. "Aku duluan. Barang kali aja kamu mau ngobrol lagi sama Pak Imran."
"Dih!" pekikku.
Namun, Arya sudah mulai melangkah. Aku pun segera berlari kecil menuju kelas.
.
Bel berdentang. Pertanda waktu mengerjakan tugas sudah selesai. Aku merutuk dalam hati. Merasa belum puas atas jawaban yang aku tulis. Keluar dari kelas, kuedarkan pandangan. Mana Alisha?
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kantin. Membeli segelas teh manis dingin, mungkin akan meredamkan otakku yang terasa panas.
Sepanjang jalan menuju kantin, semua anak menatapku. Kenapa?
Apa wajahku aneh?
Atau bajuku ada yang salah?
Aku berdiri di depan jendela kelas. Kuperhatikan semuanya. Tidak ada yang salah. Semua sama seperti biasa. Rambut panjang yang kuikat, kemeja putih bersih, rok abu rapi. Sepatu dan kaos kaki juga normal.
"Dinda!"
Aku berbalik. "Alisha? Aku cariin kamu. Kirain di kantin."
Bukannya menjawab, dia malah menarik pergelangan tanganku. Lalu berhenti di sudut koridor menuju toilet perempuan.
"Kenapa, sih?" Aku menarik tangan.
Alisha menengokkan kepala ke kanan dan kiri. Seperti pencuri yang sedang dikejar massa. "Beneran kamu berangkat bareng sama Kak Arya?"
"Iya." Aku menjawab tak acuh.
"Kenapa bisa?"
"Ketemu di jalan. Dia ngajakin bareng."
"Kok, kamu mau, sih?"
"Ya abis, udah siang. Takut kesiangan."
"Beneran itu?"
Aku pun berdecak sebal. "Kenapa harus bohong? Emang ada masalah apa? Kamu kayak yang enggak suka sama dia," tukasku.
Alisha berpaling. Melipat kedua tangan di d**a. "Aku cuma enggak suka sikap sombong dia."
Aku mengusap pundaknya. "Namanya manusia, punya kepribadian berbeda. Sesombong-sombongnya dia, pasti punya sisi baik. Buktinya dia ngajakin aku bareng, karena takut aku kesiangan."
Alisha bergeming.
"Tadinya mau ke kantin beli minum, tapi kayaknya bentar lagi jam kedua ujian. Kelas, yuk!" ajakku, agar perdebatan ini segera selesai.
Alisha tak menjawab, tapi dia mengikuti langkahku menuju kelas.
.
Sejak hari itu, entah kenapa setiap pagi Alisha selalu bertanya. "Bareng lagi enggak?"
Sepertinya Alisha benar-benar tidak menyukai Arya. Dia bilang itu karena sifat sombongnya. Arya sok keren, juga sok tampan. Aku memang bisa membenarkan alasan itu.
Ya, selama hampir enam bulan sekolah di tempat yang sama. Aku memang tidak pernah melihat Arya duduk atau bahkan mengobrol bersama siswa lain. Dia selalu sendirian.
Jika dilihat-lihat, sikapnya memang terlalu angkuh. Hanya saja, pikiranku sedikit berbelok ketika dia mau mengajakku berangkat bersama pagi itu. Bukankah apa yang aku katakan pada Alisha benar? Arya masih memiliki sikap manusiawi.
Jadi itu artinya dia baik, 'kan?
Sejak hari itu pula, setiap berpapasan dengannya aku selalu menyapa atau sekedar memberi senyum pertanda hormat. Walau pun tak pernah dia membalasnya, dan itu membuat Alisha mencercaku habis-habisan.
"Cowok sombong gitu. Mau-maunya aja. Jangan-jangan kamu naksir?"
"Hah, naksir?"
"Iya. Kamu mau kayak mereka-mereka itu, yang berusaha cari perhatian dia!" Alisha menunjuk beberapa orang kakak kelas perempuan yang berdiri di pinggiran lapangan. Mereka sedang memberi dukungan untuk Arya yang bermain basket bersama teman sekelasnya.
"Arya! Arya! Arya!" teriakan itu terdengar seperti yel-yel dari para cheers leader.
Aku pun ikut memerhatikan Arya. Tak bisa dipungkiri, dia memang tampan. Wajar jika para siswi itu berlomba-lomba untuk dilihatnya.
"Ayo!" Alisha mengajak berjalan kembali.
Hampir aku melangkah, tapi terhenti karena mendengar suara teriakan. Aku menoleh segera. "Astaga," gumamku. Terkejut melihat Arya terbaring di tengah lapangan. Sepertinya jatuh.
"Ke mana?" Alisha menahan lenganku.
"Tolongin dia, lah. Kita 'kan PMR."
"Tapi, Din. Dia 'kan ... Dinda! Dinda!"
Aku abaikan panggilan Alisha. Memilih berlari ke arah Arya yang tampak kesakitan. "Kenapa, Kak?" tanyaku setelah berjongkok di sampingnya.
"Aku enggak apa-apa," desisnya.
"Tapi Kakak kayak kesakitan," tukasku. "Ini kenapa enggak ada yang tolongin?!" teriakku pada pemain lain.
Tak ada jawaban.
"Udahlah, bubar. Arya udah kalah," ujar salah satu siswa berseragam olahraga.
Mereka pun pergi meninggalkan lapangan satu persatu. Begitu pun para siswi yang tadi ramai berteriak. Entah kapan perginya.
"Ayo, Kak!" Aku merunduk agar dia bisa menjangkau pundakku.
"Aku bilang, aku enggak apa-apa. Sana pergi!"
"Pergi? Jadi Kakak lebih baik kesakitan di sini sendirian, hah? Please, deh! Songong tuh ada batasnya. Kalau lagi celaka gini, enggak usah belagu segala," sindirku.
"Siapa yang songong dan belagu?" raut wajahnya terlihat tak suka.
"Ya, kamu, lah. Emang aku ngomong sama siapa lagi. Cuma ada kita berdua di sini. Buruan, bangun! Panas tau."
Sepanjang jalan menuju UKS, banyak yang memerhatikan kami. Menatap aneh, juga terkejut. Aku memang membantunya melangkah karena cara berjalan Arya yang agak pincang.
"Duduk di sini," pintaku setelah memasuki ruangan.
Arya pun duduk di kursi. Bisa kudengar suara ringisan kesakitan dari bibirnya, ketika dia mengangkat siku.
"Bilangnya enggak apa-apa," ejekku. Berbalik untuk mengambil kotak P3K.
"Aku bisa obatin sendiri," ketusnya.
"Ada beberapa hal yang tidak bisa manusia lakukan sendiri," ucapku sambil mengeluarkan alkohol dan plester. Meneteskan cairan bening itu pada sejumput kapas, lalu mengusapkan pada luka di sikunya.
"Aku bisa semuanya," sanggah Arya, meringis menahan sakitnya.
Aku meliriknya sekejap, kembali mengusap luka itu. "Bergaul?"
"Bergaul?" Arya balik bertanya.
"Bersosialisasi. Menjalin pertemanan dengan orang lain," terangku.
"Apa itu perlu?"
"Bersosialisasi itu kebutuhan manusia. Kamu bisa berbagi cerita, agar orang lain bisa merasakan kebahagiaanmu, lalu ikut bersedih atas dukamu." Aku mengalihkan tatapan dari siku, berganti ke wajahnya. "Menurutku itu perlu. Selama kita masih hidup."
"Lalu bagaimana, jika tanpa bersosialisasi pun, kita masih bisa hidup dengan baik, bahkan lebih baik tanpa bergaul dengan manusia lain?"
Aku menautkan alis. "Selama hidupku, aku baru lihat satu orang yang hidup seperti itu." Kuraih plester di atas meja. "Kamu," lanjutku sambil menempelkannya di atas lukanya. "Kakinya luka?"
"Enggak, kakinya enggak luka. Cuma agak sakit karena terjatuh."
"Oke," timpalku. Lalu berdiri tegak. Sempat kutatap lagi wajah itu. Arya berbalik menatapku. Akhirnya aku yang menjadi canggung. Kumasukkan alkohol ke dalam kotak untuk menyimpan kembali ke tempatnya.
"Kamu peduli sama aku?"
Aku yang sedang menutup pintu lemari, termangu seketika. Kemudian berbalik ke arahnya. "Kamu pernah menolongku, ketika aku hampir kesiangan. Itu artinya kamu juga peduli sama aku, 'kan?"
Arya tersenyum dengan satu sudut bibir terangkat. "Setiap pagi aku selalu lihat kamu berdiri menunggu angkot. Sendirian. Aku kasihan, karena kamu juga ternyata enggak punya teman."
Aku merunduk, ikut tersenyum. "Aku memang sendirian di kota ini. Orang tuaku sudah meninggal, dan kakakku satu-satunya ... di Bandung." Kuangkat kembali kepala. "Bersyukurlah masih ada orang yang memberimu perhatian."
Arya terdiam. Menatapku selama beberapa detik. Akhirnya, malah aku yang membuang muka ke arah lain dengan raut gugup di wajah.
***
"Bunda, bangun!"
"Astaga! Jam berapa sekarang?"
Fia menunjuk jam weker di meja. Sontak saja itu membuatku melompat dari ranjang.
.
"Maaf, ya. Sarapannya cuma roti sama susu." Kusimpan gelas di atas meja, tepat di depan Fia.
"Enggak apa, Bunda." Fia tersenyum seperti biasa, meraihnya, lalu meneguk isi gelas hingga menyisakan setengah. Diambilnya sarapan yang tersaji di atas piring, memakan roti isi selai anggur kesukaannya.
Melihatnya makan dengan lahap, aku merasa sedikit lega. Namun, juga merasa bersalah.
Ya, ini tentang perintah Pak Indra yang mendadak. Karena ingin terlihat baik di depan bos, akhirnya malah menekan anak buahnya. Aku memaklumi. Mungkin itu cara dia mempertahankan kinerja divisinya. Hanya saja, Fia yang terkena imbasnya. Seharian kemarin aku tidak bisa menemaninya. Beruntung Opi bersedia mengajaknya bermain dan menemani mengerjakan tugas sekolah.
"Nanti Bunda antar ke sekolah," ucapku sambil duduk.
"Enggak usah, Bunda. Bunda berangkat kerja aja. Nanti Fia ke rumah Khanza aja dulu," tolaknya.
"Udah, enggak apa. Cuma sebentar ini," timpalku.
Fia tak berkata lagi. Lebih memilih menggigit roti di tangannya.
.
Selesai mengantar hingga depan gerbang sekolah, aku pun bergegas berjalan kaki untuk mencari angkutan umum.
Aku berdiri di pinggir jalan seperti biasa. Tak lama, lampu merah menyala. Tersenyum ketika melihat ada kendaraan yang sedang aku tunggu. Kuayunkan kaki menghampirinya, lalu naik dan duduk di salah satu sudut. Kebetulan mobilnya tidak terlalu penuh. Hanya ada seorang bapak-bapak berpakaian santai dan dua orang perempuan dewasa berseragam perawat.
Selagi menunggu mobil melaju, kuperiksa kembali isi map di tangan. Hasil disainku untuk contoh proyek perusahaan nanti. Tadi pagi Pak Indra menelepon kembali, mengingatkanku lagi tentang instruksinya tempo hari. Kurasa, Kepala Divisi Perencanaan Kontruksi itu benar-benar sedang tertekan. Ya, tertekan rasa tanggung jawab atau mungkin ketidakpercayaan akan kinerja timnya. Bisa juga, ditekan rasa takut. Pak Indra takut mengecewakan atasannya, mungkin.
Sehebat itukah, aura seorang Arya?
Aku pasti akan mengetahuinya, setelah ikut terlibat di proyek ini. Merasa yakin jika gambarku cukup memuaskan, kututup kembali map. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ketika melihat ke arah belakang, tampak mobil yang tak asing lagi bagiku. Sopir di depannya terlihat sedikit gelisah, gerakan kepalanya yang menengok ke sana ke mari, dan bibirnya yang seperti menggerutu. Terbalik, dengan penumpang di belakangnya.
Lelaki itu, duduk dengan santai di sebelah kanan mobil. Satu tangannya menekuk, dengan siku ditahan di bagian pintu mobil. Jemarinya mengepal, menahan dagu. Tampak rileks sekali. Disertai tatapan datar ke arah jendela di sampingnya.
Arya, caramu menikmati waktu, sepertinya belum berubah. Kuamati wajah itu, menatapnya lekat. Mengingat kembali, pada hari-hari di waktu aku duduk di sampingmu. Indah.
Aku tersentak, kala mendengar suara klakson bersahutan. Astaga!
Kubenahi kembali cara dudukku. Hingga akhirnya mobil itu melintas, menyusul angkot yang aku naiki.
Kutarik napas dalam, mengembuskannya cepat. Sadarlah, Dinda. Dia ... bukan Arya yang dulu.
Angkot pun berhenti, tak jauh dari area perkantoran. Cukup berjalan beberapa meter untuk sampai di parkiran gedung.
"Dinda!"
Aku menoleh. "Pak Arif?"
Lelaki itu turun dari mobilnya. "Ternyata benar kamu pindah kerja?"
"Iya, Pak." Aku mengangguk hormat pada atasanku di tempat kerja dulu.
"Pantas saja, aku jarang lihat. Lalu sekarang kamu kerja di mana?"
"Kantor itu, Bima Anggarajaya Grup," tunjukku.
"Bima Anggarajaya?" Matanya menyipit.
Aku memberi anggukkan. "Maaf, Pak Arif. Bukannya saya bermaksud tidak sopan, tapi saya sedang terburu-buru."
"Ah, ya. Silakan," ucapnya ramah.
"Permisi," pamitku.
"Dinda!"
Aku berhenti, menoleh dengan perasaan setengah terpaksa. "Iya, Pak?"
"Nomor ponselmu, apa masih itu?"
"Iya." Kuberi anggukan sebagai tanda meyakinkan. Kemudian bergegas melanjutkan tujuan ke arah gedung.
Ketika baru memasuki pintu lobi, ponsel dalam tas berdering. Kurogoh segera walau sedang melangkah dengan tergesa. Ternyata Pak Indra. Astaga! Dia pasti sedang menungguku.
"Halo, Pak."
"Belum sampai kantor?"
"Saya baru sampai di lantai dasar," sahutku.
"Ah, ya. Jika sudah sampai langsung temui saya."
"Baik."
Telepon pun terputus. Dengan langkah lebar aku berjalan ke arah lift. Dari jarak beberapa meter, bisa kulihat pintu lift terbuka. Ada rasa lega dalam hati. Kupercepat langkah, tapi ... berhenti. Ketika menyadari siapa laki-laki yang berdiri di sana.
Dia menatapku. Tanpa berkedip. Aku pun menatapnya, selama beberapa detik. Hingga akhirnya aku mengerjapkan mata, melihat pintu itu bergerak. Lalu tertutup rapat.
Tatapannya itu, seperti menyimpan amarah terpendam. Kenapa bisa berubah? Bukankah beberapa hari lalu dia bersedia mengajakku untuk satu lift dengannya?
Atau, jangan-jangan ....
"Bukankah, biasanya di akhir pekan, keluarga kecil selalu pergi bersama?"
"Ke mana ... suamimu?"
Entah kenapa, kalimat itu terngiang kembali di benakku.
Ah, ya. Aku ingat kejadian itu. Arya pasti sudah menduganya. Berpikir jika aku mengkhianatinya.
Arya, seandainya kamu tahu. Tak pernah ada laki-laki lain di hatiku selama ini, selain kamu.
*****
--bersambung--