2. Pertemuan Tak Terduga

2128 Words
"Apa ini?!" Aku tertegun, ketika laporan itu dibantingkan di atas meja. "Laporan penjualan semakin menurun beberapa bulan ini. Kamu itu becus kerja enggak, hah?!" Kutarik napas, mengembuskannya lewat mulut. Kamu harus bisa, Dinda! Kamu bisa! "Maaf, Bu. Sejak tahun lalu saya sudah mengajukan permohonan untuk pindah divisi. Saya rasa ... saya memang kurang berbakat di bidang pemasaran." "Bakat? Bakat apa?!" Bu Andin berdiri lalu keluar dari meja. "Kerja ya, kerja. Enggak usah bawa bakat. Sama-sama pakai otak!" gertaknya, mengetukan jari di kepalaku beberapa kali. "Ujung-ujungnya 'kan sama, cari duit," lanjutnya. "Maaf." "Hah, maaf saja terus. Perusahaan enggak butuh maaf, butuhnya kontribusi. Biar kamu enggak makan gaji buta!" Nada suaranya kembali tinggi. Aku hanya mampu diam. Tak kuasa melawan perempuan yang jabatannya jauh di atasku. "Ah, atau memang benar gosip yang aku dengar belakangan ini." "Gosip?" Aku mengernyitkan kening. "Iya, gosip. Kalau selama ini, kamu kerja di sini itu cuma sebagai sambilan," ucapnya, lalu menyandarkan pinggul di tepian meja dengan tangan terlipat di d**a. Bahkan Bu Andin tersenyum mengejek setelahnya. "Saya di sini benar-benar berniat bekerja, tidak ada tujuan lain," tegasku. "Oh, ya? Bukannya, selama ini kamu memanfaatkan wajah kamu itu, untuk ... mendekati laki-laki." Bu Andin berdiri tegak, lalu mencondongkan kepalanya ke arahku. "Kamu janda anak satu. Iya, 'kan?" bisiknya. Kedua telapak tanganku mengepal. "Kudengar, ayah dari putrimu saja tidak jelas. Apa ... kamu punya mantan suami? Atau ... memang kamu hamil tanpa menikah?" Aku tertawa mendengarnya. "Kenapa tertawa? Apa itu lucu?!" "Ibu bilang, saya tidak boleh menyangkut pautkan bakat dan pekerjaan di perusahaan ini? Lalu sekarang, apa Ibu lebih mempercayai gosip dari pada kinerja saya selama ini?" "Kamu berani melawan, hah?!" "Kalau memang tentang gosip, saya juga mendengarnya. Karyawan di sini sering menggosipkan Ibu. Ibu, tau? Apalagi, setelah pernikahan Ibu dan Pak Irwan diundur." Kedua mata Bu Andin melebar. "Beraninya kamu berkata seperti itu?!" "Ya, tentu saja. Saya dengar usia Ibu sudah menginjak tiga puluh enam, dan pertunangan kalian sudah hampir empat tahun. Kalau saya jadi Anda, lebih baik saya putuskan dia, dan mencari laki-laki yang mau menikahi saya segera. Agar saya tidak mendapat julukan ... perawan tua. Bukankah tidak baik, menunggu yang tidak pasti? Apalagi selama ini, saya juga mendengar gosip kalau ... Pak Irwan sering keluar masuk hotel bersama gadis muda, usia belasan." "Kurang ajar!" bentak Bu Andin. Satu tangannya terangkat, nyaris mengenai pipiku. Beruntung gerakannya bisa aku tahan. "Orang yang marah ketika mendapat tuduhan, biasanya dia merasa terpojok." Bibirnya menggeram. Tangannya bergetar di samping wajahku. "Saya sering mendengar gosip itu, mereka yang mencibir saya. Saya diam, dan menahannya. Karena saya sadar, apa yang mereka tuduhkan itu tidak benar. Itulah alasannya saya bisa bertahan selama dua tahun di sini. Tapi hari ini saya sudah putuskan, untuk mengakhiri gosip itu." Bu Andin menurunkan tangannya, tapi wajahnya masih terlihat menahan amarah. "Saya keluar, dari kantor ini," ucapku tenang. Beberapa detik aku bergeming, menunggu dia mengatakan sesuatu. Sayangnya, tidak ada sepatah kata pun yang dia lontarkan. Aku pun berbalik, keluar dari ruangannya. . "Fia!" "Bunda?" Anak itu menatap kaget. Tak urung berlari ke arahku. "Bunda mau jemput Fia?" Aku pun berjongkok, mengelus pipinya. "Iya, Bunda jemput Fia." "Kok, jam segini udah pulang, Din?" Opi yang sudah berdiri di belakang Fia ikut terheran. "Iya, Pi," ucapku gugup. "Pulang ... lebih awal." Opi menyipitkan mata. Aku menggelengkan kepala sebagai isyarat. "Mm." Opi pun menganggukkan kepala pertanda mengerti. "Ayo, Fia, Khanza. Kita pulang!" Kami pun berjalan menyusuri trotoar. Kebetulan sekolah Fia dan Khanza tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Itu juga salah satu keberuntunganku, Fia bisa berangkat dan pulang bersama Opi. Untuk beberapa saat aku dan Opi hanya memerhatikan keceriaan Fia dan Khanza. Entah apa yang mereka bahas, yang jelas kami ikut tersenyum ketika melihat mereka tertawa. Aku tahu beberapa kali juga Opi melirikku, tapi aku abaikan. Lebih memilih menikmati waktu yang jarang aku rasakan. Ya, menjeput Fia dari sekolah. Selama ini, aku bekerja dari pagi hingga sore. Senin sampai Jumat, aku hanya bisa melihatnya berangkat ke sekolah, dijemput oleh Opi. Lalu sore hari, ketika aku pulang pun Fia masih bermain di rumah Opi bersama Khanza. Itu bisa disebut keberuntungan ketiga. Fia seumuran dengan Khanza, dan Opi mau direpotkan olehku. Lebih beruntung lagi suami Opi tidak pernah memberikan komentar apapun. Opi bilang, suaminya memaklumi keadaanku. Ah, jika sudah begitu, aku selalu merasa prihatin pada diri sendiri. Fia membuka pagar setinggi satu meter, dengan cekatan dia mengambil kunci yang aku sembunyikan di salah satu pot bunga. "Kita main boneka, Fia!" teriak Khanza girang ketika memasuki rumah. "Aku ganti baju dulu," sahut Fia dari dalam. Sementara aku dan Opi memilih duduk di kursi teras. "Apa ini?" Opi meraih kotak kardus di atas meja. Dia mengambil pigura foto, lalu menyimpannya setelah menatap beberapa detik. Kemudian menyentuh tempat balpoin, jam kecil berbentuk kepala kelinci, juga beberapa map. "Ini ... barang-barang dari kantor kamu?" Aku mengangguk. "Kamu ... dipecat?" Aku menggelengkan kepala. "Aku mengundurkan diri, sebelum mereka memecatku." Opi mengelus pundakku. "Tapi kenapa kelihatan sedih? Bukannya ini yang kamu mau? Berhenti dari sana, lalu mencari pekerjaan sesuai minat kamu." "Iya, tapi sekarang, entah kenapa aku merasa ... salah." Aku merunduk. "Salah kenapa?" "Sepertinya keputusanku terlalu cepat. Aku cuma memikirkan egoku sendiri, tanpa memikirkan ... Fia." "Kalau yang kamu maksud soal biaya sekolah, kamu tinggal cari kerja lagi." "Iya, tapi ... cari kerja 'kan susah. Dulu aja aku terpaksa kerja dibagian marketing, karena terdesak." Kusandarkan punggung, menatap awan yang berarak di langit sana. "Aku yakin, kamu bisa. Kamu, perempuan terhebat dan terkuat yang pernah aku kenal." Terasa tepukan di pundak beberapa kali. "Thanks." Opi mengangguk. "Aku pulang dulu, mau siapin makan buat Mas Gio," ucapnya sambil berdiri. "Khanza, ayo pulang!" Tak lama terdengar suara kaki berlarian. "Fia ikut enggak, Bu?" tanya Khanza polos. Aku dan Opi saling saling tatap. "Gimana Fia aja. Kalau mau ikut sama Tante, boleh." Opi memberi seulas senyum. "Emang Anty enggak kerja lagi?" Khanza bertanya lagi. Kali ini Opi tertawa. "Kok, kamu nanyanya gitu, Sayang?" "Fia yang suruh, Bu ... aduh!" Khanza mengusap pundaknya yang ditepuk Fia. Mereka terlibat cekcok tanpa suara, hanya gerakan bibir dan mata. Aku mengerti apa maksudnya. Fia memang sedikit pemalu, tidak seperti Khanza yang terlihat lebih berani dalam bertindak. Aku pun berdiri, menghampiri Fia lalu berjongkok di depannya. "Untuk beberapa hari ke depan, Bunda libur kerja dulu." Fia tersenyum, lalu mengangguk. "Fia ... di rumah aja, Tante. Nanti kalau Bunda kerja lagi, Fia ke rumah Tante." "Boleh, Sayang." Opi mengelus pipi Fia. Sedang aku, menatap anak perempuan itu dengan mata berkaca-kaca. *** Sudah satu jam aku mencari lowongan pekerjaan di beberapa situs resmi lewat internet. Kebanyakan adalah perusahaan baru yang membutuhkan tenaga kerja berpengalaman. Jelas aku pun berpengalaman di bidang pemasaran, tapi jika harus kembali ke bagian itu ... untuk apa aku berhenti dari pekerjaanku yang dulu? "Bunda." Aku menoleh. Fia berdiri dengan wajah kuyu. "Kok, bangun? Fia mau pipis, atau haus?" Dia menggeleng. "Fia mimpi." Aku melambaikan tangan, menepuk sofa di bagian kiriku. Anak itu menurut. Dia membaringkan tubuhnya, merebahkan kepala di atas pahaku. "Fia mimpi apa?" tanyaku sambil mengelus keningnya. Tak ada jawaban. Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Kugeser pandangan, sebingkai foto di sebelah kanan. Beberapa detik aku menatapnya, dua orang makhluk cantik dengan status ibu dan anak. Tampak bahagia, terlihat dari senyum mereka. Perempuan dewasa dan gadis kecil yang ikut tertawa memperlihatkan gigi kelincinya. Aku mendesah. Merundukkan kembali pandangan untuk melihat Fia yang masih terdiam, dan ternyata, anak itu masih melamun. Menerawangkan pandangan, ke arah yang sama, yang aku pandangi beberapa saat lalu. "Fia, mimpi apa?" Aku bertanya lagi. "Fia mimpi ... Mama," sahutnya lirih. Aku mengusap keningnya lagi. Mengerti arti ucapannya. Mungkin, dia merindukan ibunya. "Bunda, Mama sekarang lagi apa, ya? Apa dia juga kangen sama Fia?" "Pasti, Mama juga kangen sama Fia. Mungkin, sekarang dia lagi lihatin Fia di atas sana." Fia bangkit dari tidurnya, menatapku dalam. "Fia bersyukur, punya Bunda kayak ... Anty. Makasih banyak. Fia sayang sama Anty." Kuraih tubuh itu, memeluknya erat. "Sama-sama. Anty juga bahagia punya Fia." *** Selama menunggu panggilan pekerjaan, aku begitu menikmati waktuku bersama Fia. Kurasa, ini akan jadi momen paling berharga. Setiap pagi aku membangunkannya, menyiapkan sarapan, dan mengantarnya hingga gerbang sekolah. Kadang jika sedang tidak sibuk, aku juga menjemputnya. Entah kapan terakhir kali aku melakukan semua itu. Kurasa, dua tahun lalu. Ketika dia masih duduk di bangku TK. Karena setelah itu, aku terlalu disibukkan dengan pekerjaanku. Jadi, aku harus menikmati waktu ini. Kebersamaan yang jarang aku rasakan. Hari ini, aku menunggunya di halaman sekolah. Lima menit lagi menuju jam sepuluh. Aku bisa sedikit bersantai. Ponsel berdering. Aku memilih duduk di salah satu bangku kayu untuk menjawabnya. Mataku menyipit mengeja nomor di layar ponsel. Siapa? Kutekan segera gambar gagang telepon berwarna hijau. "Halo." "Halo, dengan Dinda Almaira?" "Ya, saya sendiri, Pak." "Saya Bagus, bagian HRD PT Anugerah Indah. Kami mengundang Anda untuk melakukan sesi interview. Besok jam sembilan pagi. Dimohon untuk tepat waktu." "Baik, terima kasih pemberitahuannya." "Ya, sama-sama." Sambungan terputus. Aku menurunkan ponsel dari daun telinga. Menatap layarnya hingga berubah gelap. Ah, kenapa dari sekian banyak posisi yang aku lamar, harus bagian pemasaran lagi? Posisi yang sangat aku harapkan, malah tidak ada kabar sama sekali. "Bunda!" "Fia? Maaf, enggak lihat kamu keluar dari kelas." Kumasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Enggak apa, kok." Seulas senyum dia berikan. "Ibu mana, Anty?" Khanza yang berdiri di sampingnya menoleh ke kanan dan ke kiri. "Ibu masih nyuci. Kan, selama Anty enggak kerja, Anty yang jemput kamu," sahutku. "Ih, kok gitu." Khanza memberi ekspresi kesal. Aku dan Fia tertawa melihatnya. "Fia, Khanza. Hai!" Aku menoleh. Seorang anak perempuan menghampiri. "Hei, Lala!" Fia dan Khanza membalas secara bersamaan. "Teman sekelas Fia dan Khanza?" tanyaku. "Iya, Anty," sahutnya diiringi senyum. "Fia, Khanza, aku duluan, ya. Dah!" Dia melambaikan tangan, lalu berlari ke arah mobil yang ternyata sedang menunggunya. Fia dan Khanza membalas lambaian tangan Lala. "Ayo, kita pulang!" ajakku. *** "Bunda, udah mau kerja lagi?" Fia menatapku yang sedang mematut diri di depan cermin. "Mau interview," sahutku tanpa menoleh. "Oh," timpalnya. Lalu keluar dari kamar dengan langkah lesu. Kenapa dia? . "Bunda langsung berangkat, ya? Nanti siang pulangnya sama Tante Opi. Enggak apa, 'kan?" Fia menganggukkan kepala. Dia meraih tanganku, menciumnya selama dua detik, lalu masuk ke halaman sekolah. Aku menatapnya hingga hilang di antara punggung anak-anak berseragam merah putih. Selama duduk di dalam mobil angkutan umum, aku terus memikirkan Fia. Sejak pagi wajahnya terlihat muram. Terlebih, ketika dia masuk ke sekolah tadi. Apa dia merasa sedih, mengetahui aku akan bekerja lagi? Ah, sudahlah. Jika tidak bekerja, dari mana aku akan mendapatkan biaya hidup? "Aaawww!" Aku terkejut luar biasa. Mendengar jeritan dari pada penumpang. Tak lama, tubuhku terseret ke depan. Kepalaku membentur jok supir bagian belakang. Astaga, ternyata terjadi kecelakaan. Aku yang terlarut dalam lamunan sampai tidak bisa menyadari. Mobil angkutan umum berhenti. Gumaman istighfar terdengar dari penumpang lain, juga tangisan keras dari seorang anak lelaki balita yang ikut bersama ibunya. "Turun semua, turun!" Aku memegang kepalaku. Lumayan membuat pening ternyata. Satu persatu penumpang turun. "Mbak, enggak turun?" tanya lelaki berpakain kumal itu. "Sebentar," sahutku. Ketika aku duduk tegak dan menggerakkan kaki, terasa nyeri di bagian pergelangan. Sepertinya karena sempat terhimpit oleh salah satu penumpang. Aku pun turun segera meski agak tertatih. Bisa kulihat jika angkutan umum yang aku naiki menabrak motor sepeda. Korban tabrakan yang adalah seorang bapak paruh baya segera mendapat pertolongan dari orang-orang sekitar yang melihat kejadian. Sedang aku, hanya berdiri tak jelas. Sekarang harus bagaimana? Pikiranku menjadi linglung seketika. Aku melangkahkan kaki untuk mencari angkutan umum lain. Akan tetapi, ketika kugerakkan, kaki kiriku terasa sakit kembali. Suara klakson terdengar. "Mbak, mau apa di tengah jalan?" teriak si pengendara. Ah, dasar! Akhirnya aku mundur beberapa langkah untuk memberinya jalan. Selagi menunggu, aku berpegangan pada pagar pembatas trotoar. Kakiku benar-benar terasa sakit setelah kugunakan untuk berjalan beberapa langkah saja. Hingga rasanya tak sanggup lagi aku menopang tubuh ini. Sialnya dalam keadaan seperti ini aku masih memikirkan tentang interview itu. Aku harus apa? Tampak angkutan umum yang aku tunggu melaju. Tanpa menunda waktu aku melangkahkan kaki demi menghentikannya. "Bang! Aww ...." Akhirnya aku meringis menahan sakit. "Jadi enggak, Mbak?" tanya Pak Supir itu. "Iya, seben ... ahh ...." Lagi-lagi sakitnya semakin menjadi ketika aku menggerakkan kaki kiri ini. Mau tak mau aku berjongkok demi melihatnya. "Enggak jadi, Pak. Maaf." Aku yang sedang merunduk masih bisa melihat mobil itu melaju semakin jauh. Siapa yang berani mengatakan itu? Apa dia tidak tahu aku sedang terburu-buru? "Bang ... tunggu ...." Aku mencoba menegakkan kepala. Entah kenapa aku malah tak sanggup untuk berdiri. "Kamu baik-baik saja?" Tiba-tiba terasa sentuhan di kedua lengan. Menahanku, agar tidak meluruhkan tubuh. Aku tertegun. Apa ini? Harum ini ... kenapa seperti ...? Aku menoleh perlahan. Lelaki bermata sendu itu menatapku, tanpa ekspresi. Aku mengerjap. Apa yang kulihat sekarang ini benar-benar ...? "Arya." Tanpa sadar aku mengucap namanya. ***** --bersambung--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD