One

1533 Words
Ditengah lampu yang temaran dan juga ditemani oleh musik yang menghentak-hentak, Andrea duduk di kursi bar, menuangkan alkohol ke dalam gelas, dan meminumnya dalam sekali tegukan.  Rasa hangat langsung menyerang tenggorokannya saat dia meminum alkohol itu—entah untuk ke berapa kalinya. Ia pun tidak peduli berapa banyak alkohol yang sudah diminumnya, yang penting malam ini ia bisa melupakan bayang-bayang pria b******k itu dari dalam kepalanya. Klub malam sudah menjadi tempat yang tak asing bagi Andrea sejak berbulan-bulan yang lalu. Jika biasanya ia akan minum hanya satu atau dua gelas, tapi tidak untuk malam ini. Semua ini karena mantan kekasih sialannya itu! Pria b******k itu tiba-tiba saja datang padanya dengan membawa kekasih barunya. Hal itu tentu saja membuat luka dihati Andrea yang hampir mengering, kembali terbuka. Mengingatkannya pada pengkhianatan yang di lakukan Steffan padanya. Meski sudah berbulan-bulan mencoba melupakan mantan kekasih brengseknya itu, nyatanya selama itu pula bayang-bayang Steff—Ah! Pria b******k itu tetap berputar di kepalanya.  Sialan! Disaat kesadarannya sudah semakin berkurang, hal itu tak membuat bayangan Steff—Bastard itu hilang dari kepalanya. Malah membuatnya semakin mengingat pria b******k itu! Andrea menghela nafas kasar, baru saja dia akan meminum kembali alkohol itu, tapi seseorang tiba-tiba merebut gelasnya. "Apa-apaan kau!" Sentak Andrea. Tapi orang itu tak menghiraukannya. *** Berusaha untuk mengikhlaskan ternyata tidak semudah seperti yang diucapkan banyak orang. Apalagi jika harus mengikhkaskan orang yang sudah ada di sebagian kehidupanmu. Apa saja yang di lakukan pasti akan membuatmu mengingat orang itu. Itu juga lah yang dirasakan oleh Austin, saat menyadari jika ia menyayangi Olin lebih dari menyayangi seorang adik. Tapi sayangnya ia baru menyadari perasaanya itu disaat Olin sudah menemukan pendampingnya.  Hah! Ausin menghela nafas panjang. Setelah mematikan mesin mobil dan mengantongi dompetnya, Austin turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam klub malam di depannya ini.  Untuk malam ini ia ingin melupakan rasa sakitnya, walaupun ia tahu jika itu hanya sementara. Sebab, setelah dia sadar nanti, rasa sakit itu masih ada. Atau bisa saja bertambah parah. Dengan santai kaki Austin melangkah memasuki klub malam itu, dan langsung di sambut oleh bunyi musik yang menghentak. Ia terus melangkah menembus kerumunan orang yang tengah berjoget dengan tak tahu arah.  Tinggal beberapa langkah lagi sampai di meja bar, Austin menghentikan langkahnya begitu matanya menangkap siluet seorang perempuan yang tak asing di matanya. Austin memicingkan matanya. Di penerangan yang minim ini, membuatnya tidak bisa melihat jelas siapa perempuan itu. Tapi saat perempuan itu menoleh ke samping, Austin langsung tahu siapa dia.  Dia Andrea Sanchez! Sekertaris Olin. Tidak salah lagi. Itu pasti Andrea, karena Austin mengenali postur tubuh mungil perempuan itu. Tapi tunggu dulu, apa yang dilakukan perempuan itu disini? Belum lagi baju kerja yang dipakai perempuan itu, sangat tidak kontras dengan tempat ini. Dengan langkah ringan, Austin mendekati Andrea, berdiri tepat di belakangnya. Kemudian ternganga saat melihat jika Andrea yang sudah meminum satu botol setengah alkohol.  Wah! Austin tidak percaya bahwa Andrea sanggup meminum sebanyak itu! Dan sepertinya perempuam itu masih belum puas untuk berhenti.  Saat Andrea akan meminum kembali alkohol itu, Austin refleks merebut gelas alkohol dan meletakannya dimeja.  "Apa-apaan kau!" Sentak Andrea. Mata perempuan itu memicing ke arahnya, seakan mencoba mengenali.  "Oh ternyata kau! Berikan gelasnya padaku!" Pinta Andrea dengan mata yang sudah sedikit terpejam. Austin menggeleng, menjauhkan gelas dari jangkauan Andrea. "Kau terlalu banyak minum." Andrea mendelik tajam pada Austin. "Apa urusannya denganmu?!" Ia mendesis kesal saat mencoba merebut gelas yang dijauhkan Austin. Tapi pria itu malah memberikan gelas Andrea pada bartender. "Ayo kuantar kau pulang!" Tanpa peduli dengan delikan tajam Andrea, Austin menggenggam tangan Andrea, tapi langsung di tepis. "Memangnya kau siapa?! Seenaknya menyuruhku pulang," Andrea memegangi kepalanya. Ah sial! Kepalanya pusing sekali. Austin tak perduli dengan ucapan tajam Andrea. Pria itu menarik pelan lengan Andrea dan menyeretnya keluar.  Andrea berontak, ia memukul-mukul lengan Austin tapi itu tidak berpengaruh bagi Austin. "Lepas!!" Cekalan di tangan Andrea baru terlepas begitu sampai di parkiran. Andrea pikir, Austin benar-benar melepaskannya. Tapi ternyata ia salah, karena Austin malah menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil di sebelahnya. "Masuk!" "Aku tidak mau!" Tanpa menghiraukan Austin, Andrea melangkah sempoyongan menjauhi Austin. Di langkah kelima, ia hampir saja terjatuh tapi untung saja Austin menahannya. "Dasar keras kepala!" Karena kesal, Austin akhirnya menggendong Andrea dan mendudukkannya di jok mobilnya. Beruntung kali ini perempuan itu tidak keras kepala seperti tadi. Austin kemudian menyusul masuk ke dalam mobil. Ia menghidupkan mesin mobil dan mengendarainya dengan santai. "Di mana rumahmu?" Sambil menyetir, Austin melirik Andrea sekilas. Tapi perempuan itu tak menjawab. Sepertinya dia sudah terlalu mabuk untuk menjawab. Untuk itulah, Austin memberhentikan mobilnya sejenak dan menelpon Olin. Butuh beberapa detik sebelum Olin menjawab panggilan Austin.  "Kenapa, As?"  God! Hanya dengan mendengar suara Olin saja, mampu membuat Austin berdesir. Tapi untungnya ia cepat menyadari jika ia tidak boleh seperti ini. "Ehm..Lin. Apa kau tahu dimana Andrea tinggal?" "Andrea? Memangnya ada apa dengan Andrea? Apa terjadi sesuatu padanya?"  Austin tanpa sadar tersenyum saat mendengar Olin yang banyak bertanya. Oh Ya Tuhan! Suara Olin benar-benar terdengar indah ditelinganya. "Andrea tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengantarnya pulang. Dia mabuk." "Astaga, Andrea! Padahal aku sudah mengatakan padanya untuk tak ke klub. Kenapa dia masih kesana juga?!" "Jadi...apa kau tahu dimana Andrea tinggal?" Austin tidak mau berlama-lama mendengar suara Olin. Bisa-bisa ia malah semakin tidak bisa melupakan wanita itu. "Ya ampun! Aku sampai lupa," Olin terkekeh. Wanita itu kemudian menyebutkan alamat Andrea pada Austin. Dan setelah mendapatkan alamat Andrea, Austin mematikan sambungan telponnya dan kembali menjalankan mobilnya menuju apartemen Andrea. Tak butuh waktu lama untuk sampai di apartemen Andrea, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dan jalanan yang sedang tidak macet. "Andrea...bangun!" Austin menepuk-nepuk pelan pipi Andrea.  Andrea melenguh. Matanya perlahan-lahan terbuka, dan begitu matanya bertatapan dengan Austin. Tiba-tiba saja mata Andrea langsung berkaca-kaca. "Kenapa kau mengkhianatiku? Kau benar-benar jahat!" Racau Andrea yang tentu saja mengundang kebingungan bagi Austin. "Aku tidak mengkhianatimu, Andrea. Lagi pula sejak kapan kita menjalin hubungan?" Cibir Austin. Ah sial! Seharusnya ia memang tidak usah mengantar Andrea pulang. Beginikan jadinya! Jika sudah seperti ini, terpaksa dia harus mengantar Andrea sampai unitnya, ia tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu pada perempuan itu.  Austin kemudian turun dari mobil, ia membuka pintu mobilnya, kemudian menyelipkan tangannya di leher dan lipatan paha Andrea—mengangkat perempuan itu ke dalam gendongannya. "Astaga! Beratnya!" Keluh Austin. Tidak pernah ia sangka, jika tubuh mungil Andrea akan seberat ini.  Setelah memastikan Andrea aman di gendongannya, Austin melangkah memasuki apartemen dan menaiki lift. Dan Austin hanya tersenyum saat melihat beberapa orang menatap ke arahnya. Belum lagi racauan tak jelas Andrea yang mengundang perhatian beberapa orang. Oh sial! Ting! Ketika mendengar pintu lift terbuka, Austin langsung melangkah keluar—karena kebetulan sekali lift berhenti di lantai lima. Ia langsung berjalan menuju unit apartemen Andrea.  Sesampainya di depan pintu apartemen, Austin menghela nafas saat melihat jika ia masih harus membuka pintu apartemen di depannya. Karena tak mungkin ia meninggalkan Andrea begitu saja di depan pintu apartemen. "Andrea, berapa kode apartemenmu?" Austin menggerakkan tangannya, berusaha untuk membuat Andrea sadar—setidaknya untuk membuka pintu apartemen ini saja.  "Apa?" Ucap Andrea.  Austin memutar matanya malas. "Berapa kode apartemenmu?" Ulang Austin geram.  Untungnya, ditengah kesadaran Andrea yang tinggal sedikit. Perempuan itu masih bisa mengingat kode apartemennya. "7956." Dengan usaha keras, Austin akhirnya bisa menekan kode apartemen Andrea. Dan begitu pintu apartemen terbuka, Austin langsung masuk menuju kamar, membaringkan Andrea di atas ranjang perempuan itu.  "Aku pulang," Ucap Austin pada Andrea. Entah perempuan itu mendengar atau tidak apa yang ia ucapkan. Austin baru akan berbalik, tapi tangannya dicekal. "Steffan...jangan tinggalkan aku lagi. Aku...akan melakukan apapun agar kau tak meninggalkanku," Andrea terisak dengan menyedihkan di depan Austin. "Aku...aku menyetujui permintaanmu waktu itu." Tambahnya. Helaan nafas lelah terdengar dari Austin. Ia duduk di pinggir ranjang Andrea, menatap tepat ke perempuan itu. "Lebih baik kau tidur," Ia menaikkan selimut yang di pakai Andrea. "Jangan tinggalkan aku, Steffan." Pinta Andrea. Perempuan itu menggenggam tangan Austin erat. "Aku bukan Steffan, Andrea. Aku Austin." "Bohong! Kau itu Steffan." "Aku akan pulang jika kau tidak tidur," Ancam Austin. Setidaknya ia bisa pergi jika perempuan di depannya ini sudah tidur. Andrea menggeleng keras. Tanpa bisa dicegah, perempuan itu langsung merangkak naik ke pangkuan Austin.  "Turun, Andrea! Apa yang kau lakukan?" Austin berusaha menurunkan Andrea dari pangkuannya. Tanpa mendengarkan ucapan Austin, Andrea langsung mencium bibir Austin. Melumatnya dengan lembut, seakan ingin menikmati waktu. Sementara Austin terbelalak kaget saat Andrea menciumnya. s**t! Austin berusaha mendorong Andrea, tapi sekuat apapun ia menolak, Andrea terus menciumnya.  "Andrea berhenti!" Ia menahan kedua bahu Andrea. Sementara matanya menatap Andrea tak terbaca. Sialan! Munafik jika ia bilang tidak terangsang karena Andrea. Tapi ia harus berhenti jika tak ingin menyesal nantinya. "Kenapa? Aku sudah menyetujui permintaanmu waktu itu, Steffan. Kenapa sekarang kau menolakku?" Lagi. Mata itu kembali berkaca-kaca. "Aku bukan Steffan, Andrea. Sadarlah!" "Aku tak peduli! Entah kau Steffan atau bukan. Tapi bagiku kau tetap Steffan-ku." Ia kembali mencium Austin. Tangannya memeluk leher Austin erat, sesekali jarinya meremas rambut Austin. Gairah Austin yang tadinya sempat padam kembali menyala karena bibir lembut Andrea yang kini membelai lembut bibirnya. Tak peduli apapun lagi, Austin membalas sama lembutnya setiap kecupan yang diberikan Andrea. Membuat perempuan itu melenguh karena permainan bibir Austin. Ya Tuhan! Austin tahu, jika ia akan menyesali hal ini nantinya. Apa lagi saat ia tahu jika Andrea masih perawan. God! Terkutuklah dia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD