Four

1707 Words
Kali ini, untuk kesekian kalinya, Austin melewatkan jam makan siangnya dan memilih untuk menghampiri Andrea di apartemen wanita itu. Ia berdiri di depan pintu apartemen Andrea, sementara jarinya menekan bel di samping pintu. Tapi sialnya, setelah beberapa saat menunggu, wanita itu tidak pula muncul. Austin menghela nafas panjang. "Sebenarnya kemana dia ini?" Gumam Austin pelan. Ia tidak tahu lagi, harus menemui Andrea dimana.  Belakangan ini dia memang selalu menunggu di depan apartemen Andrea. Entah itu saat jam makan siang atau setelah pulang bekerja-berharap ia akan bisa bertemu dengan Andrea dan membicarakan tentang masalah mereka berdua. Tapi ternyata harapannya tak pernah terkabul karena Andrea tak pernah terlihat pulang ke apartemen. Entah dimana wanita itu tidur. Austin tidak pernah tahu. Meskipun Andrea pernah mengusirnya dan memintanya untuk tak muncul lagi di kehidupan wanita itu, Austin tak pernah bisa diam saja. Ia tidak bisa bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.  "Ehm...permisi." Sapa Austin sopan pada seorang wanita paruh baya yang baru saja lewat. "Apa Anda melihat orang yang tinggal disini? Aku sudah menunggunya sejak tadi. Tapi dia tidak juga keluar," "Apa yang kau maksud itu Andrea?" "Iya," "Dia baru saja pergi," "Pergi kemana?" "Aku tidak tahu dia pergi kemana. Aku melihatnya pergi menggunakan taksi tadi," Austin tersenyum tipis. "Terima kasih sudah memberi tahuku. Kalau begitu, aku pergi dulu," Setelah mengucapkan terima kasih, Austin langsung berlalu dari sana.  Ia memasuki mobilnya, dan hendak menuju kantor tempat Andrea bekerja, barangkali wanita itu ada disana.  Saat dipertengahan jalan, tiba-tiba saja perasaannya jadi tak enak. Ia mencoba menelpon Andrea, tapi tidak diangkat. Ia terus mencoba, tapi tetap saja tak diangkat. Itu tentu saja membuat perasaannya semakin takut.  Panik karena telponnya tak diangkat, Austin memilih untuk mengirimkan pesan pada Andrea, dan ketika melihat jika pesannya sudah dibaca, Austin langsung mencoba menelpon Andrea. Dan ia benafas lega ketika panggilannya dijawab, tapi kelagaannya tak bertahan lama ketika tahu jika bukan Andrea yang menjawab panggilannya. "Siapa kau?" Tanya Austin. "Saya suster Anna," Mata Austin membelalak saat itu juga. "Su-suster? Apa yang terjadi dengan Andrea? Kenapa dia-" Dan ketika telinganya mendengar apa yang diucapkan oleh suster itu, Austin merasakan jika langit seakan runtuh menimpanya. *** Sampai dialamat yang diberikan suster tadi, Austin langsung bergegas masuk ke klinik dan bertanya dimana Andrea. Keributan hampir saja terjadi ketika beberapa petugas keamanan mencoba menghalanginya. Untungnya Dokter Sofia dan suster Anna datang disaat yang tepat. "Dimana Andrea, Dok?" Tanya Austin ketika petugas telah melepaskan cekalannya. Dokter Sofia tersenyum. "Mari ikut saya," Austin mengikuti langkah dokter Sofia. Dan ketika ia sampai di tempat Andrea berada, ia langsung berjalan mendekat dan menggenggam tangan Andrea erat. "Andrea...Andrea bangunlah," "Anda tenang saja. Ia hanya berada di bawah pengaruh obat bius." Austin menoleh. "Bayinya....bagaimana dengan bayinya? Apa...apa..." "Bayinya masih ada, hanya keadaannya saja yang lemah. Dan juga itu karena Andrea yang terlalu stres," Austin bernafas lega. "Terima kasih, terima kasih karena telah mempertahankan bayi saya." "Tidak perlu berterima kasih, itu semua berkat suster Anna yang memberitahuku tadi." Austin mengalihkan pandangannya ke suster Anna. Ia pun tersenyum dan berterima kasih pada suster Anna. "Apa saya boleh membawa Andrea pulang, Dok?" "Saya sarankan untuk membawanya ke rumah sakit saja. Kondisi Andrea sedang lemah, saya takut itu bisa berimbas pada bayinya." Austin mengangguk. Ia kemudian langsung menggendong Andrea, tak lupa pula membawa tas dan baju Andrea. Ia berjalan keluar dari klinik dan menuju mobilnya.  Dengan pelan dan penuh kehati-hatian, ia mendudukkan Andrea di kursi penumpang mobilnya. Ia kemudian menyusul dan duduk di balik kemudi. Bersiap menuju rumah sakit. *** Setelah Andrea berada di ruang rawat dan mendapat penanganan dari dokter, Austin berjalan menuju ruangan dokter. Hendak menanyakan keadaan Andrea dan juga bayinya. "Siang, Dok." Sapa Austin ketika telah berada di ruangan Dokter Sam. Dokter paruh baya yang dikenalnya, karena dulu ia sempat dirawat di rumah sakit ini. Dokter Sam tersenyum. "Siang, Austin. Ada apa?" "Aku ingin bertanya mengenai keadaan Andrea dan juga...bayinya," Dokter Sam tersenyum. "Apa dia kekasihmu?" "Bukan!"  Dokter Sam mengernyit bingung. "Maksudku, dia itu calon Istriku." Ralat Austin. Mata Dokter Sam membelalak terkejut. "Oh ya? Selamat kalau begitu." Ia tersenyum. "Selamat juga untuk kehamilan calon Istrimu," "Terima kasih, Dok." Ucap Austin lega. "Lalu...bagaimana keadaan Andrea, Dok?" Dokter Sam menghela nafasnya. "Kondisinya lemah, Austin. Itu karena Andrea yang terlalu banyak pikiran, dan juga karena Andrea yang tidak menjaga pola makannya." Austin terdiam sejenak, nampak merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Andrea. "Lalu berapa lama Andrea harus dirawat di sini, Dok?" "Mungkin sampai kondisi kandungannya benar-benar stabil," Austin mengangguk. "Terima kasih, Dok. Kalau begitu aku permisi," Ucap Austin sebelum keluar dari ruangan Dokter. *** Kembalinya dari ruangan Dokter Sam, Austin masuk ke dalam ruang rawat Andrea. Ia meletakan beberapa obat untuk Andrea di meja, kemudian duduk disamping ranjang, mengamati wajah pucat wanita itu. Seketika itu juga ia sadar jika tubuh Andrea bertambah kurus tak seperti saat terakhir kali mereka bertemu.  Rasa bersalah langsung membanjiri benak Austin. Ia kemudian menundukkan kepala, menghela nafasnya panjang sambil mengusap wajahnya frustasi.  Ini semua salahnya. Andai saja malam itu ia bisa menahan dirinya lebih kuat lagi, semua ini tidak akan terjadi.  "Bodoh! Kau bodoh, Austin!" Gumam Austin menyalahkan dirinya sendiri. Ia menarik nafasnya panjang, kemudian matanya menelusuri tubuh Andrea dan berhenti tepat di perut wanita itu. Hatinya terasa menghangat saat mengetahui bahwa ada calon anaknya yang sedang tumbuh disana. Tangannya terulur untuk mengusap lembut perut Andrea. Bayangan anak kecil yang akan memanggilnya Daddy mulai menari-nari dipikiran Austin. "Maafkan Daddy, sayang," Austin mengusap pelan perut Andrea, seakan takut melukai anaknya. "Maaf karena membuatmu terluka. Mulai sekarang, Daddy berjanji akan selalu menjagamu..." ia beralih menatap wajah Andrea. "...dan juga Mommy." Tambahnya. Andrea melenguh, merasa tidurnya terganggu. Ia pun membuka matanya, berusaha untuk memfokuskan pandangannya. Ia menghela nafas saat sadar sedang berada di mana ia sekarang. Bagus! Ia di rumah sakit! Ia berusaha untuk bangun, tapi sepasang lengan kekar langsung menahan bahunya. Memaksanya untuk kembali berbaring. "Jangan banyak bergerak dulu, Andrea," Andrea menoleh, langsung menepis lengan yang menahannya saat tahu jika itu adalah lengan Austin. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau bisa ada di sini?!" Sentak Andrea berusaha duduk. "Kenapa kau tidak bilang padaku jika kau hamil, Andrea? Apa itu karena kau benar-benar membenciku?"  "Kata benci tidak cukup untuk menggambarkan betapa muaknya aku melihatmu!" Ucap Andrea sambil menggertakan giginya. "Aku benar-benar benci padamu, Austin. Pria yang sudah membuat hidupku berantakan!" Setetes air mata jatuh dari pipi Andrea, tapi dengan cepat langsung di hapusnya. "Apa kau puas? Sudah menghancurkan hidupku?" Austin memandang Andrea nanar. Ada sedikit rasa sesak ketika tahu jika Andrea benar-benar membencinya. "Aku minta maaf, Andrea. Kau memang berhak membenciku," Austin mendekati Andrea. "Tapi aku mohon jangan biarkan bayi itu pergi." Pinta Austin lirih. "Aku memohon padamu, Andrea. " "Pergi kau dari sini!" Andrea mendorong tubuh Austin menjauh. Ia mulai mengambil barang apa saja yang ada di dekatnya. "Aku tidak mau melihatmu!" Dan melemparkan barang yang di ambilnya pada Austin. "Andrea! Andrea! Stop! Kau tidak boleh banyak bergerak dulu." Austin berusaha menghindari lemparan Andrea. Andrea menghentikan aksi melemparnya saat perutnya terasa keram. "Sa...kit..." Melihat itu, Austin bergegas mendekat dengan panik. "Andrea, apa yang sakit?" Ia membantu Andrea berbaring di ranjang.  Andrea tak menjawab dan memilih untuk berbaring miring, membelakangi Austin sambil menahan keram diperutnya. "Andrea..." "Pergi!" "Tapi-" "Tinggalkan aku sendiri, b******k!" Sentak Andrea. Karena tak ingin membuat Andrea kembali marah, Austin akhirnya memilih untuk keluar. Meninggalkan Andrea yang kini menangis meratapi hidupnya. *** Malam harinya, setelah memastikan Andrea tertidur, Austin diam-diam kembali masuk ke dalam ruang rawat Andrea. Duduk dengan tenang di kursi samping ranjang. Seperti sebelumnya, Austin lagi-lagi mengamati Andrea yang tertidur pulas. Ia juga menemukan bekas air mata di pipi Andrea. Melihat itu, Austin mengeluarkan sapu tangannya dan menghapus bekas air mata di wajah Andrea. "Maaf," Bisik Austin pelan sebelum mengecup lembut kening Andrea. "Engh..." Andrea melenguh dalam ketika perutnya terasa keram. Wanita itu meringis tak nyaman sambil mengusap-ngusap perutnya, berusaha mengurangi rasa sakit. Tapi sepertinya percuma karena rasa sakit itu tetap terasa. Ia hampir saja menangis jika tidak ada tangan juga ikut mengusap perutnya. "Apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit?" Andrea menghela nafas panjang ketika tahu jika Austin masih bersamanya. Ia pun menyingkirkan tangan Austin tadi, meskipun tak di pungkiri, ia sempat merasa nyaman untuk sejenak. "Kenapa kau masih di sini juga?" Tanya Andrea lemah. Sungguh ia sedang tidak ingin melihat Austin untuk sekarang ini. Mood-nya jadi semakin memburuk. "Apa kau ingin sesuatu? Bagaimana jika kau makan dulu? Kau belum makan sejak tadi siang," Tanpa menjawab pertanyaan Andrea, Austin mengambil makanan rumah sakit yang sudah di siapkan untuk Andrea. Melalui sudut matanya, Andrea melirik apa yang dilakukan Austin. Ia hanya diam saja saat Austin menaikkan ranjang rumah sakit agar mempermudahnya untuk makan. Dan ketika melihat pria itu hendak menyuapinya, Andrea langsung menolaknya. "Aku masih bisa makan sendiri, jadi tidak perlu di suapi!"  Austin hanya bisa diam. Membiarkan Andrea untuk makan sendiri, meskipun ia ingin sekali membantu wanita itu. Sementara Andrea, sedikit demi sedikit ia mulai memakan makanan rumah sakit itu. Mengernyit tak suka saat tak mendapatkan rasa apapun pada bubur itu. Ugh! Benar-benar hambar! "Andrea?" Panggil Austin lembut. Andrea hanya melirik, menunggu Austin untuk melanjutkan ucapannya. "Maaf karena sudah membuatmu seperti ini. Tapi aku mohon jangan sakiti anakku," Austin menggenggam tangan Andrea yang tak lagi memegang sendok. "Aku akan bertanggung jawab. Aku akan segera menikahimu, Andrea." Mata Andrea membelalak tak percaya. "APA?! Me-menikah? Bukankah aku sudah bilang jika aku tidak mau menikah denganmu! Aku-" "Dengarkan aku dulu," sela Austin. Pria itu mengambil mangkuk bubur di pangkuan Andrea dan meletakkannya di meja. Kemudian ia berdiri dan duduk di tepi ranjang, menghadap Andrea. "Kita akan segera menikah. Seperti apa yang aku katakan tadi. Hanya sampai bayi itu lahir, setelah itu...kau bebas mau bagaimana. Biar aku yang merawatnya." Austin menatap mata Andrea bergantian. Berharap Andrea akan setuju. Andrea menghela nafas. "Entahlah! Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sudah berjanji pada Ibuku untuk menjaga kehormatanku sampai aku menikah," isak Andrea. "Tapi kau datang dan menghancurkan segalanya!" ucapnya tajam. Austin semakin merasa bersalah. Ia pun mengusap ragu rambut Andrea. "Jangan menangis. Biar aku yang akan mengatakan semuanya pada Ibumu." Austin ganti mengusap air mata Andrea. "Yang aku butuhkan sekarang adalah persetujuanmu, untuk menikah denganku. Bagaimana?" "Baiklah. Tapi hanya sampai bayi ini lahir." Austin mengangguk pelan. Ia menghela nafas panjang. Setidaknya untuk sementara ia bisa bernafas lega, karena Andrea sudah setuju untuk menikah dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD