Six

1249 Words
Jarum jam sudah menunjukan waktu tengah malam saat ini, tapi hal itu tak membuat Austin beranjak dari posisinya. Ia masih duduk diam di samping ranjang rumah sakit dengan mata menatap lurus ke wajah Andrea. Tangannya kemudian bergerak mengusap puncak kepala Andrea. "Cantik," Gumamnya pelan.  Wajah Andrea seperti bayi jika sedang tertidur seperti ini. Membuat Austin merasa gemas. Austin mencium perut Andrea. "Yang sehat disana. Daddy tahu kau pasti kuat." Austin tersenyum sambil merapikan letak selimut Andrea yang berantakan. Diciumnya kening Andrea, kemudian berlalu ke kamar mandi.  Sepeninggal Austin, Andrea perlahan membuka matanya. Sebenarnya dia sudah terjaga saat Austin mengusap perutnya lembut. Mendengar semua apa yang dikatakan oleh Austin tadi, entah kenapa membuat hatinya merasa sakit mendengar nada sendu Austin. Tangan Andrea refleks mengusap perutnya lembut.  Apa sikapnya selama ini keterlaluan? Kenapa Austin terlihat sedih seperti itu? Ia kemudian menggelangkan kepalanya kuat. Tidak-tidak! Itu bisa saja hanya karena Austin kasihan padanya. Dia tidak boleh luluh hanya karena sifat lembut pria itu. Bisa saja pria itu hanya bersandiwara kan? "Kenapa bangun?" Suara Austin yang baru keluar dari kamar mandi mengejutkannya. Pria itu menatap turun ke perut Andrea. "Apa ada yang sakit?" "Tidak!" Austin mendekat, kembali duduk dikursi samping ranjang. "Lalu kenapa kau bangun?" Tanyanya lembut. Setelah kejadian tadi, Austin belajar untuk menahan emosinya. Ia tidak mau kejadian seperti tadi terulang lagi. "Aku tidak bisa tidur." "Kenapa tidak bisa tidur?" Andrea menggigit bibirnya. Sebenarnya ada sesuatu yang sangat diinginkannya malam ini. Tapi dia takut Austin marah seperti tadi. "Kau ingin sesuatu?" Tanya Austin saat Andrea hanya diam. Andrea mengangguk ragu-ragu. "Iya," "Kau ingin apa?" Austin mengusap rambut Andrea. "Ehm...apa kau akan marah lagi?" Ucap Andrea takut. "Untuk tadi...aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membentakmu," Austin menggenggam tangan Andrea yang bebas infus. "Katakanlah, aku tidak akan marah lagi." Austin mengecup punggung tangan Andrea. "Aku ingin...dipeluk." Cicit Andrea. Mata Austin berbinar senang. "Benarkah kau ingin di peluk?" Andrea mengangguk dengan pipi memerah malu. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengannya hingga ingin dipeluk Austin. Tapi dia sangat menginginkannya. Austin tersenyum manis. Dia bangkit berdiri untuk memeluk Andrea. Andrea diam saja saat Austin memeluknya. Ia bahkan merasa nyaman saat Austin memeluknya. Dan saat Austin melepas pelukan, Andrea langsung merasa kehilangan. "Nah, aku sudah memelukmu. Sekarang tidurlah. Ini sudah malam." Austin merapikan selimut Andrea, sementara Austin akan tidur di sofa. Ketika Austin hendak berjalan ke sofa, Andrea menarik ujung baju Austin. Wanita itu menggeleng pada Austin, menolak untuk tidur. "Aku tidak bisa tidur," "Kenapa? Bukankah aku sudah memelukmu tadi?" Andrea menatap Austin. "Aku...ingin tidur dipeluk," "Tapi kasurnya kecil. Kau butuh istirahat." Ucap Austin lembut.  Andrea mencebik. "Aku ingin dipeluk!" Rengek Andrea seperti anak kecil. Bahkan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Austin menghentikan gerakan kaki Andrea. "Oke. Aku akan memelukmu. Ku mohon jangan bergerak berlebihan seperti itu," Ucap Austin lembut. Andrea tersenyum lebar. Dia menggeser tubuhnya, memberikan ruang kosong untuk Austin. "Naiklah," Ia menepuk-nepuk ranjang itu. Austin naik ke ranjang, berbaring menyamping menghadap Andrea. Sedangkan Andrea langsung menyelusupkan tangannya di balik lengan Austin, ia menempelkan wajahnya didada Austin. Menghirup aroma Austin yamg sangat menenangkan.  "Good night," Ucap Andrea sambil tersenyum. Ia pun memejamkan matanya. "Good night too," Balas Austin ikut memejamkan matanya. *** Ketika Andrea membuka matanya, ia melihat jika matahari sudah bersinar terang. Sinarnya yang mengenai wajahnya, membuat matanya menyipit. Ia pun menghalau sinar matahari dengan tangannya.  "Sudah pagi," Gumam Andrea pelan. Ia hendak bangun, tapi terhalang karena sebuah lengan menahan pinggangnya dari belakang. Ia terdiam sejenak sebelum menoleh dan menemukan Austin yang tidur satu ranjang dengannya. Sontak saja ia berteriak dan mendorong Austin hingga terjatuh. "Kenapa kau tidur disini?!" Masih dengan mata mengantuk, Austin menatap Andrea heran. "Bukankah kau yang menyuruhku untuk tidur denganmu semalam?" Ucap Austin sambil mengusap punggungnya yang nyeri akibat membentur lantai tadi. Untung saja ia tidak apa-apa. Mendengar ucapan Austin, Andrea langsung terdiam, mengingat-ingat apa yang terjadi dengannya semalam. Dan ia pun mulai mengingat bagaimana menggelikannya dia saat merengek minta di peluk oleh Austin.  Aish! Apa yang kau lakukan, Andrea?!! "Itu tidak mungkin! Tidak mungkin aku memintamu untuk memelukku saat tidur," Austin tersenyum geli. "Aku tidak bilang tidur sambil memelukmu tadi." Andrea mengerjapkan matanya. "Tidak!! Aku tidak—" Austin menutup mulut Andrea. "Oke aku kalah. Jangan berteriak," Ucap Austin lembut. "Jaga emosimu. Kau tidak boleh banyak marah." Andrea menepis tangan Austin. "Bagaimana aku tidak marah, jika melihatmu saja sudah membuatku kesal." Austin merasa sesuatu seperti menikam jantungnya saat mendengar perkataan Andrea. Apakah ia seburuk itu dimata Andrea?  "Baiklah jika kau kesal padaku. Sebisa mungkin aku akan diam agar kau tidak kesal lagi," Ucap Austin disertai senyuman tipis. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Mendengar itu membuat Andrea sedikit merasa bersalah. Sebenarnya ia tidak bermaksud berkata seperti itu. Ia terpaksa berkata seperti itu karena ia merasa...malu pada Austin. Dan Andrea tak menyangka jika kata-katanya akan membuat Austin tersinggung. Andrea hanya menatap pintu kamar mandi dengan perasaan bersalah. Ia pun memilih untuk turun dari ranjang dan berjalan ke arah kamar mandi. Tangan Andrea baru saja akan mengetuk pintu kamar mandi, tapi ia urungkan saat mendengar bunyi seperti kaca pecah.  Dengan khawatir, Andrea pun menggedor-gedor pintu di depannya itu. "Austin! Kau tidak apa-apa?" Ucap Andrea sambil mencoba membuka pintu di depannya. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Austin muncul dengan raut wajah datar. "Ada apa?" Bahkan nada suara pria itu terdengar dingin. "Aku...mau ke kamar mandi " Ucap Andrea pelan sambil menunduk. Padahal tadinya ia ingin meminta maaf, tapi begitu mendengar nada dingin Austin, Andrea malah berkata lain. "Masuklah!" Austin bergeser, melewati Andrea begitu saja.  Andrea terdiam di depan pintu. Biasanya, jika ia akan ke kamar mandi, Austin akan membantunya tapi kali ini tidak. Pria itu bahkan tak menatapnya.  "Austin aku...." Ia mengamit lengan Austin hendak meminta maaf, tapi ucapannya terputus ketika ia melihat darah menetes dari punggung tangan Austin. "Austin...tanganmu..." Austin menarik tangannya. "Aku tidak apa-apa," Ucap Austin datar. "Tidak apa-apa bagaimana?! Tanganmu berdarah!" "Biarkan saja. Ini tidak terlalu sakit. Lagi pula aku butuh untuk melampiaskan emosiku, Andrea." Ucap Austin lembut. "Lebih baik aku yang terluka, dari pada aku melihatmu terluka." Andrea menatap marah Austin. "Dasar bodoh!" Maki Andrea. Ia berjalan menjauhi Austin. Tapi sebuah lengan sudah memeluknya dari belakang.  "Tahan emosimu, Andrea. Kau tidak boleh emosi," Ucap Austin di telinga Andrea. Andrea melepas paksa pelukan Austin, berjalan menuju ranjang dan menekan tombol di samping ranjang.  Tak lama seorang perawat masuk ke ruang rawat Andrea. "Ada yang bisa di bantu?" Tanya perawat itu. Andrea melirik Austin. "Tangannya terluka. Bisa tolong obati?" Ucap Andrea pada perawat itu. Perawat itu mengangguk. Dia keluar lalu tak lama masuk kembali dengan membawa kotak P3K. Austin mengikuti perawat itu duduk disofa.  Ketika perawat itu mengobatinya, Austin terlihat beberapa kali mengerang sakit.  Andrea ikut meringis saat mendengar rintihan sakit Austin. Bodoh! Benar-benar bodoh! Apa yang pria itu lakukan sehingga membuat tangannya berdarah seperti itu? Bukankah kau yang membuatnya seperti itu? Setidaknya dia cukup jantan untuk tidak melampiaskan emosi karena ucapanmu! Andrea merengut kesal. Dasar suara hati sialan. Itu bukan salahku! Salahnya sendiri yang membuatku kesal! "Saya permisi," Andrea menatap perawat itu hingga menghilang di balik pintu. Hening melanda keduanya. Austin masih duduk disofa sambil menatap Andrea. Diam-diam dia tersenyum saat melihat ke-khawatiran Andrea tadi. "Terima kasih." Andrea menoleh. "Hm?" Austin menggeleng. "Maafkan aku sudah membuatmu khawatir." Andrea melotot. "Aku tidak khawatir!!" Sentaknya. "Aku hanya tidak mau kau menyusahkanku nantinya." Austin mengerdikan bahunya, tahu jika Andrea terlalu gengsi untuk mengakuinya. Tapi tidak apa-apa. Lambat laun, Austin yakin jika perlahan-lahan Andrea akan berubah nantinya.  Kau seyakin itu dia akan berubah? Austin mendesis kesal. "Suara hati sialan!" Gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD