Bab 2

2024 Words
Central Park sore itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang Ibu yang membawa anak-anak mereka bersantai. Padahal biasanya orang-orang ramai mengunjungi taman ini, apalagi para remaja dan pasangan kekasih yang ingin menghabiskan sore mereka bersama. Ethan mendudukkan dirinya di sebuah bangku taman kosong. Ia tak sengaja melewati Central Park setelah pulang dari bekerja. Hari ini ia tidak ke mana-mana, menyelesaikan beberapa berkas laporan saja di kantornya. Besok ia baru akan memulai penyelidikan lagi. Ia sudah meminta bantuan Brian untuk menyelidiki tentang klub malam tempat transaksi penjualan senjata itu berlangsung. Ia juga meminta Brian untuk memeriksa akses agar ia bisa memasuki klub tanpa harus melalui pemeriksaan ketat oleh para petugas keamanan klub. Ethan ragu kalau dirinya tidak dikenali oleh orang-orang Rodrigo. Sepak terjangnya sebagai letnan polisi yang bertugas di jalanan sudah tersohor di kalangan pelaku bisnis hitam. Cuaca sangat cerah sore ini, tak terlihat sepotong awan pun menghalangi sinar matahari yang hangat. Sekarang memang sudah musim semi. Beberapa minggu lagi musim panas akan tiba, pantas saj kalau cuaca lebih hangat dari beberapa hari sebelumnya. Ethan mengedarkan pandangan. Tatapannya jatuh pada seorang perempuan yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Seorang perempuan muda dengan kacamata baca bertengger manis di hidung mancungnya. Ethan memicing, menajamkan penglihatan. Ia merasa pernah melihat perempuan yang berjalan dengan kepala tertunduk. Dia sedang membaca. Mata Ethan melebar sempurna saat perempuan itu duduk di sebelahnya dengan jarak satu meter, tapi mereka masih berada di satu bangku taman yang sama. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan sosoknya. Perempuan ini adalah Melodi Martian. Astaga, benarkah? Ethan mengerjapkan matanya berkali-kali, ia takut salah lihat. Namun, wajah di depannya tidak berubah. Dia memang Melodi Martian. Ethan menggeleng kuat, berusaha menolak kenyataan. Bukankah Melodi sudah tewas empat tahun yang lalu dalam baku tembak mereka? Lalu, siapa perempuan ini? Apakah benar-benar Melodi ataukah hanya orang yang sama? Ethan mencoba mengamatinya lebih seksama. Perempuan ini memang benar Melodi. Dari warna rambut dan bentuk tubuhnya, juga aroma yang tercium dari parfum itu, Ethan sangat hafal. Beberapa minggu mengenal Melodi membuatnya akrab dengan semua kebiasaan perempuan itu. Termasuk aroma parfum dan beberapa kebiasaan yang dilakukannya tanpa sadar. Seperti mengerutkan hidung saat berpikir, dan menaikkan sebelah alis ketika ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya. Wajah perempuan ini tidak hanya mirip dengan Melodi, tetapi sama persis. d**a Ethan berdebar, jantungnya memacu dengan cepat. Ragu Ethan mencoba menyapanya, dengan suara bergetar. "Melo?" Itu bukanlah nama panggilan Melodi. Hanya ia saja yang memanggilnya seperti itu. Panggilan kesayangan. Ethan merasa jantungnya jatuh ke tanah begitu perempuan itu menoleh, dan tersenyum manis kepadanya. "Ethan? Hai!" Ia tidak bermimpi. Ia juga belum mati. Hanya singgah sebentar di taman kota untuk menghilangkan penat tidak akan membuatnya tertidur apalagi tewas. Indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik, setidaknya beberapa saat yang lalu. Sekarang ia merasa pendengarannya bermasalah. Perempuan itu tahu dan memanggil namanya. Apakah dirinya memang seterkenal itu? Tidak mungkin. "Melo? Apa ini benar-benar dirimu?" tanya Ethan sambil menggeser duduknya untuk lebih dekat. "Astaga, aku pasti bermimpi!" "Sebuah kejutan bertemu denganmu di sini." Bukan jawaban yang diinginkan Ethan, tapi membuatnya yakin kalau perempuan ini benar-benar Melodi. "Sungguh, aku tidak menduga." Senyum Melodi masih sama, manis seperti empat tahun yang lalu. Masih membuat kepalanya berdenyut pusing. Tangan Ethan terangkat memijit pelipisnya. "Aku pikir kau tidak akan mengenaliku lagi." Perempuan itu melepas kacamata bacanya, menatap Ethan tepat di mata karamelnya yang bersinar tak percaya. "Aku bahkan mengira kita tidak akan bertemu lagi." "Astaga! Jadi, ini benar-benar dirimu?" Ethan mengusap wajah kasar, kepalanya menggeleng. "Tapi, bagaimana mungkin? Kau sudah tewas empat tahun yang lalu." Melodi tersenyum miring, dia mengangkat bahu seolah tak peduli. "Aku tidak bodoh, Ethan," ucapnya penuh misteri. Sesuatu yang sudah melekat padanya sejak dulu. Melodi selalu penuh misteri, dan ia baru menyadarinya sekarang. Ethan berdecak kesal, menyesali kebodohan dirinya yang sudah tergoda dan masuk ke dalam misteri yang diciptakan perempuan di depannya ini. Melodi Martian. Sekarang sudah tidak diragukan lagi, dia adalah Melodi. Perempuan itu sudah mengakuinya. "Kau masih hidup." Ethan bergumam lirih, seakan kata-kata itu hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. "Bagaimana mungkin?" tanyanya. Namun, gumaman lirih Ethan terdengar jelas di telinga Melodi. Dia tersenyum, mengejek. "Sudah kubilang aku tidak bodoh," jawab Melodi santai. "Aku tidak akan mati semudah itu. Sebagai seorang polisi, kau seharusnya sudah menduga hal itu, bukannya bertindak seperti seorang pengecut yang bodoh." Wajah tampan Ethan memerah mendengar sindiran itu. Kata-kata Melodi terlalu pedas baginya, bahkan untuk pria seperti dirinya. "Aku sudah mempersiapkan semuanya, bahkan sebelum kau datang ke rumahku." Melodi tersenyum. Tatapannya menyapu keseluruhan taman, dan jatuh pada seorang bocah balita laki-laki berambut gelap di sana. Melodi melambaikan tangan membalas lambaian bocah itu. "Bukan hanya dirimu yang memiliki rompi anti peluru, aku juga memilikinya. Setiap dari kami memiliki alat perlindungan diri yang canggih, rompi anti perlu adalah salah satunya." Ethan tercengang. Astaga, ia benar-benar bodoh! Tidak memikirkan semua kemungkinan itu. Seharusnya ia sadar kalau Melodi menggunakan rompi anti peluru. "Sebenarnya Amanda juga mengenakannya. Hanya saja dia bodoh, malah menembak kepalanya." Tawa pelan keluar dari mulut Melodi. Dia seolah menertawakan kematian sahabatnya. Ethan menggeram. Apakah sebuah nyawa tidak ada harganya sama sekali di mata Melodi? "Tapi, jujur saja aku tidak pernah memperhitungkan perbuatan Amanda. Aku tidak berpikir kalau dia akan nekat melakukan permintaan konyolmu." Melodi menatap Ethan sekilas kemudian kembali fokus pada bocah yang tengah berlarian mengejar kupu-kupu. "Amanda memang kurang waras, kalau aku bisa mengatakan begitu. Tapi dia tidak pantas mati." Wajah cantik Melodi berubah. Ethan benar-benar memperhatikannya. Wajah yang tadi terlihat biasa saja sekarang menjadi dingin. Wajah Jade. Ethan mengepal kuat. "Itu adalah kesalahan." Ethan menggeleng. "Aku tidak tahu dengan penyakit yang diidap Amanda, aku ...." "Kalau kau tahu apa yang akan kau lakukan?" tanya Melodi memotong perkataan Ethan. Mata emerald-nya menatap Ethan tajam. "Apa kau akan menerima cintanya?" Ethan menggeleng. "Aku tetap tidak akan menerimanya," jawab Ethan cepat. "Aku tidak mencintainya. Berhubungan dengan orang yang tidak kau cintai tidak akan membawa kebahagiaan. Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup." Melodi memutar bola mata bosan. Kata-kata pernikahan sedikit tidak cocok dengannya. Dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Melodi tertawa kecil. "Kupikir kau tidak tertarik untuk menjalin sebuah komitmen yang lebih serius," ucap Melodi setelah tawanya reda. "Memang tidak!" sahut Ethan. "Maksudku kalau kelak nanti aku menikah." Melodi mengangguk-angguk, mencoba memahami. Namun, dilihat dari cara anggukannya Ethan yakin dia tidak serius atau memahami maksud perkataannya dengan sungguh-sungguh. Seorang anak laki-laki berlari ke arah mereka, dan menubrukkan tubuh pada Melodi. Bocah yang tadi melambaikan tangan pada Melodi. Ethan menatapnya dengan mata terbuka lebar, bagaimana Melodi memeluk dan menciumi bocah berambut hitam itu. Apalagi setelah mendengar anak itu memanggil Melodi. "Mama, aku sudah selesai bermain." Ethan tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Mama? Melodi sudah memiliki anak? Astaga, benarkah ini? Melodi sudah menikah! "Apa kau sudah mencuci tanganmu dengan sabun?" tanya Melodi sambil tangannya mengusap pipi yang kemerahan. Bocah itu mengangguk, kemudian ia berbalik menatap Ethan dengan sepasang alisnya yang berkerut. "Halo." Ia menyapa pria dewasa yang duduk berdekatan dengan ibunya. "Apa kau ayahku?" tanyanya dengan suara khas bocahnya. Ethan tersedak. Pertanyaan polos itu membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Tatapannya yang tadi fokus pada bocah itu sekarang berpindah pada Melodi. Ia bertanya melalui tatapannya itu. "Kata Mama, ayahku adalah orang yang duduk dan berbicara dengannya." Ethan kembali menatap bocah bermata emerald persisi seperti warna mata Melodi. Namun, mulutnya masih bungkam, masih ada yang menyangkut di tenggorokan. Ia masih belum menemukan kata-kata untuk membalas perkataan bocah itu. "Aku melihatmu sejak tadi berbicara dengan Mama. Apakah itu artinya kau ayahku?" Pertanyaan itu lagi-lagi mengusik Ethan. Ia ingat apa yang terjadi padanya dan Melodi empat tahun yang lalu. Mungkinkah anak ini...? Ethan menatap Melodi lagi yang membalas tatapannya dengan senyum menghiasi wajah cantik yang semakin dewasa. Wajah cantik yang dirindukannya. Ethan mengerang dalam hati. Ia.menyesali kebodohannya selama ini. Merasa malu pada dirinya sendiri yang selama ini berbicara pada makam kosong. Ia menggeleng pelan. Berdehem sebelum mencoba menjawab pertanyaan bocah itu sebelum suara Melodi kembali membuatnya bungkam bahkan nyaris pingsan. "Usianya hampir empat tahun beberapa bulan lagi. Namanya Alexander Wolf.' Melodi mengusap pucuk kepala Alex yang bersurai gelap seperti ayahnya. Dia tersenyum. Sudah diduga sebelumnya reaksi Ethan akan seperti ini. Tak mungkin pria itu akan langsung percaya dengan perkataannya. Namun, dia tidak berbohong. Alexander memang anaknya dengan pria itu. Saat baku tembak yang mereka lakoni empat tahun yang lalu itu, saat itu dia sedang mengandung Alex. Dia sudah mengetahuinya, tapi sengaja tak memberitahu Ethan apalagi Amanda, dia tak ingin penyakit Amanda kambuh. Sayangnya, Ethan membuat Amanda bertindak bodoh dengan mengakhiri hidupnya. Seharusnya dia bisa membalas dendam atas kematian Amanda. Rencananya memang seperti itu, membalas Ethan setelah dia melahirkan. Namun, dia tidak bisa. Wajah bayi yang dilahirkannya yang begitu mirip dengan Ethan membuatnya mengurungkan niat. Apalagi Alex yang selalu bertanya tentang ayahnya setelah ia lancar berbicara. Niat untuk membalas dendam sirna, berganti ingin mempertemukan Alex dengan Ayah kandung yang selama ini dicarinya. Sebenarnya dia sudah tahu sejak beberapa bulan yang lalu, kalau Ethan sering menghabiskan waktu di taman ini. Juga kebiasaan pria itu yang selalu mengunjungi pemakaman di akhir pekan setiap minggunya. Namun, kesempatannya untuk mempertemukan Ayah dan anak itu baru kesampaian sekarang. Itu pun secara tak sengaja. "Maksudmu dia ... benar-benar anakku?" tanya Ethan tak percaya. Ia menggelengkan kepala beberapa kali. Rasanya seperti mimpi saja, bertemu dengan Melodi kembali setelah perempuan itu dinyatakan tewas, kemudian juga mengetahui fakta kalau ia sudah menjadi seorang ayah. Semua ini sangat menakjubkan baginya, sulit dipercaya. Ethan menatap Alexander, meraihnya dalam pelukan. Ia seharusnya tidak bertanya lagi, wajah Alexander sangat mirip dengannya. Hanya warna matanya saja yang berbeda. Warna mata itu sama seperti warna mata Melodi, sangat cantik. "Terima kasih, Melodi." Ethan menatap perempuan itu yang juga menatapnya, menatap dirinya dan putra mereka. Tangannya mengusap rambut hitam Alex. "Terima kasih sudah mau melahirkan dan merawat putraku." Melodi tersenyum. "Alex juga putraku, dia bagian dari hidupku. Satu-satunya yang membuatku bertahan selama ini." "Maafkan aku," ucap Ethan. Rasa bersalah kembali memenuhi relung hatinya. Rasa bersalah karena.sudah merenggut nyawa sahabatnya. Melodi mengembuskan napas dari mulut lumayan keras. Tangannya kembali mengusap pipi Alexander yang memerah sebelum memasangkan headphone menutupi telinga putranya itu. Dia tak ingin Alexander mendengar pembicaraan mereka yang tak pantas untuk anak seusianya. D*da Ethan mengangkat melihatnya. Melodi adalah Jade, pembunuh bayaran profesional yang sudah menghabisi banyak nyawa, ternyata sangat manis terhadap putra mereka, dan sangat melindungi. "Alex tidak perlu tahu apa yang dilakukan kedua orang tuanya," ucap Melodi, tersenyum menatap Ethan. "Dia hanya perlu tahu kalau ibunya adalah seorang yang hangat, yang selalu membacakan dongeng sebelum dia tidur." Ethan mengangguk. "Apa kau tahu, seharusnya aku membencimu. Seharusnya aku menahanmu sekarang atas kejahatan yang selama ini kau lakukan." "Lalu, kenapa tidak kau lakukan?" tantang Melodi. Dia tidak pernah takut dengan ancaman pria di depannya ini. Dia yakin Ethan serius dengan perkataannya, tapi dia juga yakin kalau pria itu tidak akan melakukan apa yang dikatakannya tadi. Bukan karena Ethan mencintainya, dia tidak memiliki kepercayaan diri setinggi itu yang menyangka Ethan masih menyimpan perasaan seperti itu padanya setelah emot tahun, melainkan karena putra mereka. Ethan tidak akan memisahkannya dari Alex. "Dan membuat putraku kehilangan kasih sayang ibunya?" Dia benar, bukan? Melodi tersenyum manis. Ethan tidak mungkin membiarkan putra mereka tumbuh tanpa ibunya. Lagipula, sepertinya kasus Jade sudah ditutup. Kasus yang sudah berjalan selama beberapa tahun tanpa ada penyelesaian, tidak akan diteruskan. Apalagi dulu Ethan sempat terpuruk dan memutuskan cuti dari kepolisian, kasus yang ditanganinya otomatis ditutup. Tidak akan dibuka lagi kecuali ada bukti-bukti kuat yang mendukung. "Aku tidak akan melakukannya." Ethan menggeleng. "Cukup aku saja yang dibuang ibuku, jangan sampai hal yang sama terjadi pada putraku." Tidak akan ia membiarkan kejadian buruk yang menimpanya berulang. Ia dibuang ibunya saat berusia empat tahun, ditinggalkan di depan pintu asuhan. Jangan sampai putranya mengalami hal serupa. Ia sudah merasakan saat-saat berat dalam hidupnya, tak akan ia biarkan putranya mengalami hal yang sama. "Lagipula, kasus itu sudah ditutup tanpa ada penyelesaian. Pembunuh Simon Loraine tewas pada malam saat aku terluka." Melodi membuang muka. Dia mengetahuinya, tentang Ethan yang terluka dan apa yang terjadi pada pria itu setelah kejadian di rumahnya yang mengakibatkan tewasnya Amanda. Ethan terpuruk, berada di titik terendah di hidupnya selama ia hidup. Namun, dia tidak berniat untuk menemui. Dia menganggap semua itu adalah hukuman yang harus ditanggung Ethan karena sudah merenggut nyawa sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD