PART. 3 ADIK-KAKAK

1107 Words
Abizar tersenyum, ingat ekspresi wajah Ziya, saat diakui sebagai kekasihnya, di depan kumpulan para mahasiswa di kampus tadi. Hal itu yang sangat diinginkan Ziya dimasa kecil mereka dulu. Bang Ezar harus jadi pacar Ziya! Bang Ezar nggak boleh pacaran sama yang lain! 'Hmmm masihkah hal itu yang diinginkannya?' batin Abizar Menikah dengan sepupu memang tidak dilarang dalam agama, tapi mereka dibesarkan dalam pola pikir bahwa mereka saudara, Saudara ... bahwa mereka adik, dan kakak, tidak boleh ada cinta selain rasa cinta pada saudara. Itulah yang selalu dikatakan pada Ziya kecil, setiap dia meminta Abizar jadi pacarnya saat besar kelak. 'Sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kau mau, Nona Ziya .... Besok, saat kamu tiba di kampus, lihat saja, gadis-gadis seantero kampus akan memandang iri padamu, karena stempel sebagai kekasih Abizar Artaputra Jaya Pratama sudah distempel di dahimu.' Abizar menyungging senyum di bibir, membayangkan hal itu. Bukannya sombong, tapi Abizar tahu persis dirinya selalu jadi topik perhatian, dan perbincangan di tempatnya mengajar. Para gadis di kampus selalu memandangnya dengan pandangan terpesona. Sedang para lelaki di kampus, justru memandang seperti ingin mencabik-cabiknya Untungnya, Abizar tak merasa tertarik dengan para mahasiswinya Bukannya tidak tertarik pada wanita, tapi Abizar lebih tertarik pada wanita dewasa seumurannya. Gadis-gadis seperti Ziya, baginya terlalu banyak menuntut, manja, selalu minta perhatian lebih. Berbeda dengan wanita yang sudah matang. Mereka lebih bisa memahami kesibukan pasangannya. Abizar menyuap makan siangnya. Di seberangnya duduk Melissa Dewi, wanita matang berusia dua puluh lima tahun, seorang artis sinetron, dan penyanyi ternama. Tidak ada yang meragukan kehebatan aktingnya. Tidak ada yang menyangsikan suara merdunya. Perkenalan mereka terjadi setahun lalu, saat Melissa mengisi acara ulang tahun perusahaan. Melissa tahu kapan waktunya untuk agresif, kapan waktunya diam, dan menunggu. Melissa tahu sekali, pria seperti Abizar tidak suka terikat. Melissa harus sabar untuk meluluhkan hati Anizar, ekstra sabar bahkan. Selama ini kedekatan mereka memang tak terendus media. Karena mereka selalu mencari tempat, yang tak terlihat pandangan orang lain saat mereka bersama. Seperti saat ini, mereka makan berdua di ruangan khusus di restoran milik Anggrek, sepupu Abizar. Restoran yang dulu milik Anyelir, mama Anggrek, yang kini dikelola oleh Anggrek. Abizar menyudahi makannya "Zar ...." panggil Ica, sapaan Melissa. "Hmm ...." "Ehmmm, jumat malam bisa temani aku ke resepsi Denava, dan Ray, nggak?" tanya Ica pelan. "Hmmm ... apa tidak takut dengan risikonya?" tanya Abizar, ditatap wajah cantik Ica yang selalu memakai riasan. Ica tertawa kecil, ia mengerti apa yang dimaksud Abizar dengan resiko. "Bukannya kamu yang takut, kalau aku sudah biasa dengan media," sahut Ica. Abizar diam saja. "Bisa ya," mohon Ica. Digenggam jemari Abizar yang ada di atas meja. "Kalo media bertanya apa hubungan kita, aku akan jawab kita hanya sebatas teman saja," bujuk Ica. Abizar menarik jemarinya dari genggaman Ica, ia mengangkat kedua bahunya "Memang seperti itu kan, kita hanya sebatas teman saja." Meski diucapkan dengan nada lembut, namun kalimat itu menusuk hati Ica. 'Sabar, Ica,' batinnya "Mau ya, Zar? Tolong temani aku," bujuk Ica belum menyerah, meski hatinya tersakiti dengan ucapan Abizar tadi. "Oke ... tapi ingat, no comment untuk apapun pertanyaan media," jawab Abizar seraya memberikan syarat. Ica tersenyum puas, kepalanya mengangguk setuju dengan syarat dari Abizar. "Terima kasih, Zar." Melissa menggengam lagi jemari Abizar yang ada di atas meja. Abizar hanya tersenyum memandang Ica. ***** Ziya mengaduk-aduk saja makan siangnya. Ia tidak nafsu makan. Ucapan Abizar yang mengakui dirinya sebagai kekasih, di kampus tadi, membuat hatinya kesal. Kalau dulu, sepulu tahun lalu, ucapan itu terlontar dari mulut Abizar, mungkin ia akan melompat-lompat karena senang. Tapi sekarang, Ziya jadi cemas tidak akan ada pria yang berani mendekati dirinya di kampus. "Huh! Aku minta dia mengakui aku sebagai adiknya, kenapa di mengatakan aku kekasihnya! Apa maksudnya coba, bikin kesal saja!" Ziya menggerutu sendirian. Ziya masih ingat, dulu setiap ia mengatakan ingin jadi pacar Abizar, selalu dijawab. Bang Ezar itu kakak Ziya. Tidak boleh kakak adik pacaran. Ucapan itu terekam dalam ingatan Ziya. Walaupun sekarang Ziya tahu, antara dirinya, dan Abizar tidak diharamkan saling mencintai. Tapi melihat sikap Abizar yang sedingin salju, Ziya tidak yakin kalau ia masih berharap, Abizar jadi kekasihnya. 'Hahaha, Ziya ... Ziya ... jangan geer deh. Abizar juga nggak akan mau jadi kekasihmu,' batin Ziya meledek dirinya sendiri. 'Yaah mungkin benar kata Bang Ezar. Setidaknya para cowok di kampus akan berhenti menatapnya seperti tadi, kecuali ada yang benar-benar berani mendekat. Hitung-hitung seleksi alam. Siapa yang tulus dia yang bertahan,' gumam Ziya di dalam hatinya. **** Abizar tiba di rumahnya. "Assalamuallaikum." Abizar pulang ke rumah, saat jam menunjukan pulul sembilan malam "Wa laikumsalam, jam segini baru pulang, Zar. Ada masalah pekerjaan ya?" tanya Arini yang duduk di ruang tengah "Tidak, Bunda. Tadi pulang dari kantor ketemu sama teman, dia baru buka usaha cafe, jadi aku mampir ke cafenya dulu," jawab Abizar Sambil mencium punggung tangan Arini. "Ayah mana, Bun?" tanya Abizar, karena tidak melihat ada ayahnya di situ. "Ke kamar mandi. Kamu udah salat, Zar?" "Sudah, Bun. Aku ke kamar dulu," pamit Anizar. "Iya." Abizar menuju tangga. Di dasar tangga Abizar bertemu dengan Abi. "Assalamuallaikum, Ayah," sapanya sambil mencium punggung tangan Abi. "Waalaikumsalam, baru pulang, sudah salat, sudah makan?" tanya Abi beruntun. "Sudah semua, Ayah. Aku ke kamar dulu," jawab Abizar. Abi menganggukkan kepala. Abizar melanjutkan langkahnya. Baru saja Abi duduk di sofa, Arini sudah meraih lengannya. Arini bersandar manja di lengan Abi. Tak ada yang berubah meski sudah tua. Abi teringat kejadian subuh tadi, Arini ngambek karena Abi lupa dengan morning kissnya. Flasback Abi baru menyelesaikan salat subuhnya sendirian. Arini lagi halangan jadi Abi tidak membangunkannya. Tiba-tiba Abi mendengar isakan Arini Abi duduk ditepi ranjang "Sayang, ada apa, kangen sama Dilla, dan cucu kita ya?" tanya Abi. "Aku lagi marah sama Om," jawab Arini ketus. Abi menghela nafas Istrinya sudah umur 45 tahun, kalau di depan anak-anak mereka, dia ibu yang tegas, istri yang menurut pada suami, tapi kalau sudah di kamar berduaan, sikapnya kadang seperti gadis manja yang selalu ingin diperhatikan. "Aku salah apa, Yang?" tanya Abi. "Kenapa aku tidak dibangunkan?" tanya Arini "Kamu lagi tidak salat, jadi tidak aku bangunkan," jawab Abi. "Iya, tapi aku ingin morning kiss ku," jawab Arini, wajahnya cemberut. Abi ingin sekali tertawa, tapi ditahan sekuat tenaga. Ia tahu, wanita kalau lagi datang bulan memang lebih sensitif. Hal kecil seperti ini saja bisa jadi marah Abi menangkup pipi Arini dengan kedua telapak tangannya. Ditatap lekat wajah istrinya. Usia yang bertambah belum bisa mengikis wajah cantik Arini. Arini awet muda. Menikah muda, melahirkan muda, sudah memiliki cucu, tapi masih seperti gadis muda. Ia mengecup bibir Arini mesra. "I love you, Sayang," bisik Abi di telinga Arini. "I love you too, Om," jawab Arini. "Saay, Yang," balas Abi dengan senyum menggoda di bibirnya. Flasback END. ***Bersambung***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD