KABAR (2)

1191 Words
Selesai dengan menelpon sang ibu, Adam kembali hendak menghubungi seseorang. Namun, jemarinya terasa melemas, ia mendadak jadi laki-laki paling pecundang. Adam paksakan, dan akhirnya ia berhasil menghubungi satu nomor ini. Nada sambung terdengar, tanda nomor yang Adam hubungi aktif. Kemudian suara nada sambung itu terhenti, menandakan panggilan yang Adam buat barusan sudah dijawab, tapi tidak ada suara apapun yang bisa Adam dengar. Adam terdiam, begitu juga orang yang tengah Adam panggil barusan. "Assalammu'alaikum?" dengan ragu akhirnya Adam mengucap salam untuk membuka percakapan ini, Adam berharap mendapat jawaban. "..." Tapi rupanya Adam salah, tidak ada jawaban dari si lawan bicara. "Nafisah dengar?" Adam bicara perlahan, ia tau istrinya itu tengah mendengarkan. Adam yakin Nafisah sedang mendengarkan, namun perempuan itu tidak ingin menjawab. Adam paham kalau Nafisah sedang marah padanya. Tidak memberi kabar berhari-hari sudah pasti membuat seorang istri khawatir dan ketakutan. "Maaf Nafisah, mas baru mengabari" Adam kembali bicara, sementara Nafisah benar-benar masih betah membisu. "Nafisah? Kamu marah pada saya?" Adam bertanya, mudah-mudahan Nafisah terpancing untuk bicara. Tapi, lagi-lagi Adam salah. Kini Adam merasa terpojok, ia semakin bingung pada apa yang harus ia lakukan. "Maafkan mas Nafisah... mas menyesal" "Apa yang membuat kamu tidak bisa menghubungi istri mu sendiri mas?" akhirnya Nafisah menjawab. Mendengar jawaban Nafisah membuat Adam melega, namun kembali menjadi beban ketika ia berpikir bagaimana caranya menjawab pertanyaan sang istri. "Maafkan mas" "Saya bertanya mas... apa yang membuat mas begitu betah tidak menghubungi istri mas sendiri?" "Jaringan disini tidak bagus Naf, baru diperbaiki dan stabil kemarin" Adam berbohong. Ini adalah pertama kalinya ia berbohong pada sang istri, sungguh. Seumur hidup ia menikah, ia belum pernah berbohong kepada Nafisah. Tidak ada jawaban dari Nafisah diseberang sana. "Tolong jangan marah Naf" Adam kembali bicara. "Kamu tidak berbohong mas?" Adam terhenyak. "T-tidak Naf, memang seperti itu kenyataannya" "Yasudah... bagaimana keadaan mas disana?" "Alhamdulillah mas sehat... tapi mas rindu Naf" tanpa terasa air mata Adam jatuh meleleh, bisa-bisanya ia bicara seperti ini padahal ia baru saja membohongi istrinya. "Kalau begitu baguslah mas... Naf mau memberi kabar mas" "Apa itu?" "Naf diundang ke acara pernikahan kiyai Akhmad" Adam terdiam. Kiyai Akhmad? Bukannya beliau sudah memiliki seorang istri? Adam cukup mengenal sosok yang disebutkan oleh istrinya barusan, Adam pernah beberapa kali berjabat tangan dengan beliau. "Pernikahan?" Adam meminta penjelasan. "Beliau menikah lagi, menikahi seorang gadis yatim piatu dari Malang" "Oh begitu?" "Iya mas... tapi... beliau sudah lebih dulu menikah sebelum meminta persetujuan umi Zainab" Adam terdiam, seolah lidahnya keluh dan sudah kehabisan kata-kata didalam otaknya. "Lalu bagaimana? Apa ummi Zainab mengizinkan?" "Tidak mas, beliau tidak ikhlas" "Lalu bagaimana?" "Tidak bagaimana-bagaimana mas... pernikahan siri sudah terlanjur terjadi" "Nafisah?" Adam memanggil nama sang istri dengan tenang. "Iya mas?" "Ada sesuatu yang harus saya beritahu" Nafisah tidak menjawab, gadis itu terdiam, ini pertama kalinya ketika nada bicara suaminya seperti ini. *** "Ada sesuatu yang harus saya beritahu" Nafisah mengeratkan pegangannya pada ponsel yang saat ini ia genggam. Tidak tau kenapa perasaannya mendadak takut. Dalam hatinya ia terus beristighfar, memohon kepada Allah agar dijauhkan dari kabar buruk. "Nafisah masih dengar mas?" Suara Adam menyadarkan Nafisah dari rasa takutnya. "I-iya mas... Mas bisa bicara" ucap perempuan bercadar dengan bulu mata lentik itu. "Nafisah Nur Rahma binti Abdul Rahman... Saya Adam suami mu telah melakukan pernikahan yang kedua disini, pada hari kamis lalu... Dengan ini menyerahkan keputusan engkau, apakah engkau masih bersedia bersanding dengan saya, menemani saya, dan membangun surga kita bersama..." "... atau memilih bercerai dari saya, karena saya akui ini adalah kesalahan saya" Nafisah terdiam. Mimpi buruk, mimpi buruk yang paling buruk sudah terjadi. Nafisah mencoba mencerna kalimat yang ia dengar dari ponselnya itu. Ini apa? Siapa yang sedang bicara dengannya di telepon ini? Apa ini benar-benar suaminya? Apa ini benar-benar seorang Adam? Apa yang baru saja ia dengar? Adam sudah menikah lagi? Nafisah lemas, seluruh tubuhnya melemas seolah berubah menjadi jeli. Ia luruh ke lantai, rasanya tubuhnya baru saja dipeluk erat oleh sesuatu, sampai menyesakkan dadanya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Nafisah menerima semua ini? Apa Adam sekarang sudah bisa bercanda sampai sejauh ini? Selama ini yang Nafisah tau Adam tidak bisa bercanda, Adam adalah laki-laki tegas dan juga serius pada ucapannya dan Nafisah menyukai hal itu. Tapi untuk sekali ini, Nafisah ingin Adam bercanda, kalimat yang diucapkan Adam barusan Nafisah tidak ingin mendengarnya, kalaupun ia mendengar ia berharap itu hanya sebuah kalimat candaan dari Adam. "Mas... Apa kamu sedang bercanda?" Nafisah dengan suara bergetarnya mencoba bicara. "Saya serius Naf... Mas serius" Lagi-lagi Nafisah merasakan dadanya sesak. "Mas, Nafisah rindu... bisakah mas Adam segera pulang?" Nafisah malah membahas hal lain. "Naf?" "Bisakah mas masak telur dadar seperti yang biasanya untuk Naf? Bisakah mas mengaji lagi di sepertiga malam bersama Naf? Cepat pulang mas" Nafisah seolah tidak peduli pada apa yang sudah Adam katakan tadi, ia terus membicarakan hal-hal yang sejak kemarin ia pendam. Meski dengan air mata yang terus menerus berderai, Nafisah mengucapkan semua hal manis yang pernah dilaluinya bersama Adam. Adam tidak menjawab, bukan tidak ingin menjawab, tetapi lebih ke tidak bisa menjawab apa-apa. Adam merasa kini dirinya sudah sangat berdosa, ia merasa sangat berdosa karena melakukan hal ini pada istrinya. Adam merasa sangat menyesal. Air mata Adam juga mengalir begitu saja ketika mendengar isak tangis dari istrinya. "Mas? Kamu dengar 'kan? Kamu sudah janji akan membeli roti bakar untuk Naf 'kan? Mas juga sudah janji akan mengajak Naf pergi umrah berdua? Mas ingat 'kan?" "Nafisah... maafkan mas" "..." "Maafkan suami kamu ini Nafisah" "Kenapa mas? Kenapa mas meminta maaf sekarang?" "Karena mas merasa sangat lalai dan bersalah dalam menjalani kehidupan ini" "KENAPA MAS MEMINTA MAAF KETIKA SEMUANYA SUDAH TIDAK BISA LAGI DIPERBAIKI?!" Setelah mengatakan itu Nafisah mematikan ponselnya, sambungan panggilan terputus. Kemudian ia membuka cadarnya, air matanya mengalir dengan derasnya. Rasanya ia tidak bisa bernafas, tubuhnya bergetar karena rasa terkejut dan sakit secara bersamaan. "Astaghfirullahal'adzim" Nafisah berbisik lirih karena sudah tidak lagi sanggup mengucapkan kalimat apapun. "Apa salah hamba ya Allah?" Nafisah meremas gamisnya. Ia mengusap wajahnya, kemudian perlahan berjalan menuju kamar. Tadi sewaktu Adam menelepon, ia baru saja pulang dari mengajar santriwati di pesantren, Nafisah perlahan masuk ke kamarnya. "Naf?" Panggilan dari sang ibu tidak membuat Nafisah menghentikan langkahnya, ia mengabaikan ibunya untuk pertama kalinya. Nafisah menangis di dalam kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya. Tangisnya tidak bisa lagi terbendung, ia luapkan begitu saja. *** Sementara itu di lain tempat Adam termenung, ia merasa sakitnya semakin parah. Nafisah marah, ia takut kehilangan perempuan yang sudah ia cintai itu. Adam benar-benar merasa jadi manusia paling hinas karena sudah menyakiti istri berharga nya. "Adam!?" Panggilan dari luar rumah mengejutkan Adam, ia kemudian beranjak dan membuka pintu. Diandra sudah berdiri didepan pintu rumah dengan plastik kecil di tangannya. "Gimana kondisi kamu?" Tanpa aba-aba Diandra menempelkan telapak tangannya pada kening Adam. "Panas sekali" gumam Diandra. Adam masih diam, matanya menatap wajah Diandra yang kini terlihat sedikit cemas. "Saya bawakan obat... minumlah" Diandra menyodorkan plastik kecil yang ia bawa, kemudian Adam terima plastik berisi obat dan beberapa roti itu. "Terima kasih" Diandra hanya mengangguk kemudian pamit pulang. "Saya pulang dulu" Adam hanya mengangguk, ia tatap punggung Diandra sampai akhirnya perempuan itu menghilang. Adam masih pada pikirannya kepada Nafisah, memikirkan bagaimana kondisi Nafisah saat ini? Ia sangat ingin berada disebelah istrinya itu. ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD