HANTU ISENG BAGIAN 1

1354 Words
Untuk memastikan kalau sudah nggak ada zombie lagi. Semua orang bekerja sama untuk mencari mereka. Badan dibalut sama kardus yang bikin mereka seperti robot, tapi dengan begitu mereka aman dari gigitan zombie. Sementara kaki tangan Mbah Tarno yang sudah berubah jadi zombie pun sudah dibunuh Ki Mengkis. Tubuhnya dibakar sampai jadi abu, nggak ada yang tersisa kecuali tulang-tulang yang sudah kering karena terbakar. Sementara orang-orang membentuk kelompok untuk mencari keberadaan zombie. Aku, peter dan Ki Mengkis berpencar dan ikut dalam kelompok-kelompok kecil yang menyisir setiap sudut desa bahkan ada yang ke hutan untuk mencari mereka. Rumah Pak Hartawan sudah bebas zombie setelah zombie-zombie yang ada di dalam kamar dibakar sampai habis nggak bersisa. Setiap sudut ruangan di rumah itu disisir habis, nggak ada satu tempat pun yang boleh lolos dari pemeriksaan. Kami semua berkumpul di balai desa untuk menikmati kebebasan dari zombie-zombie yang membuat jumlah warga desa berkurang hampir setengah kalinya. Nggak ada yang tampak sangat bahagia meskipun desa sudah bebas dari zombie. Itu semua karena mereka banyak yang kehilangan keluarga. Kampung memang sudah bebas dari zombie, tapi bukan berarti nggak didatangi lagi. Kami juga nggak bisa selamanya di tempat ini. Jadi Ki Mengkis meminta warga harus hati-hati dan tetap waspada. Setidaknya sampai kami bisa menangkap Mbah Tarno yang kemarin sempat bertarung dengan Ki Mengkis. Andai tahu kalau dia sejahat itu, pasti kita nggak main biarin aja dia lepas. Sayangnya kita nggak kepikiran sampai sejauh itu. Aku, Ki Mengkis dan Peter pun akhirnya berpamitan pulang. Pak Parman dan semua warga desa mengantarkan kami sampai mobil. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan ternyata jauh lebih menantang. Aku duduk di samping Peter yang sibuk menyetir mobil. Kukeluarkan kompas penunjuk jin botol untuk melihat apakah jin terakhir sudah masuk botol. Tandanya jarum pada kompas sudah hilang, tapi nyatanya jarum jam itu masih ada. Ya ampun, tinggal sebiji aja susah amat ya. Aku menghela napas berat lalu memasukkan kompas ke tas. Memandang jalanan yang dihiasi pohon jati di kanan dan kiri jalan. Naik turun dan berkelok-kelok khas jalanan di gunung. “Turunin aku di terminal depan,” ujar Ki Mengkis membuatku melihatnya dari spion tengah. Mau bilang kenapa nggak ikut kami, tapi kan tujuan kami mau honeymoon ke sekian. Kalau honeymoon ngajak Ki Mengkis namanya bukan honeymoon dong. Tapi membiarkannya turun ke terminal untuk pulang sendiri kok rasanya nggak enak juga. “Nggak papa, Bunga. Aku kesini karena mendapat penglihatan dari Yang Maha Kuasa,” ujarnya duh bikin baper kan. Ki Mengkis sudah seperti bapak kandungku. Baik banget orangnya. Sayang banget sama aku. Makanya aku jadi nggak enak sendiri kalau ngebiarin dia naik bis buat balik ke Surabaya. Aku memandang Peter dengan mata berkaca-kaca. Jadi males pergi berdua, maunya pulang saja bertiga sama Ki Mengkis. Tiba-tiba Peter memutar balik mobilnya. Membuat senyumku berkembang karena dia tahu pikiranku tanpa memberitahunya. So sweet banget sih. Duh makin cinta sama suami nih. “Lo, ngapain kalian ikutan pulang?” tanya Ki Mengkis, kaget karena bukannya ke terminal yang masih sekilo meter lagi, malah putar balik kembali ke Surabaya. “Ada urusan di Surabaya,” jawab Peter tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. Ki Mengkis nggak bertanya lagi. Ia memandang ke jalanan yang tiba-tiba macet sekali. Mobil berhenti dan nggak bergerak sejak sepuluh menit yang lalu. Bergerak pelan lalu berhenti dua puluh menit. Ki Mengkis meletakkan kepala di sandaran jok dan memejamkan mata. Pasti kecapekan setelah mengeluarkan banyak sekali energi saat bertempur dengan zombie-zombie itu. Peter mencengkeram kemudi dan rahangnya mengeras menahan emosi. Kemacetan ini entah sampai berapa lama namun beberapa orang memberi petunjuk di sebuah jalan kecil. Sebuah jalur alternatif untuk menghindari kemacetan. Peter pun akhirnya banting setir ke kiri bersama beberapa kendaraan lain. Keluar dari jalan utama, masuk ke sebuah jalur alternatif yang jalanannya mulus seperti pipiku. Hari sudah beranjak sore waktu mobil berpindah jalur. Harusnya untuk sampai tol membutuhkan waktu tiga sampai empat jam perjalanan melalui jalan utama. Mobil sudah dipacu sejak empat jam yang lalu tapi nggak ada tanda-tanda tembus jalur utama. Untung saja tadi mobilnya sudah diisi solar full. Anehnya sejak empat jam yang lalu nggak melewati rumah sedikit pun. Padahal harusnya ya seenggaknya melewati rumah-rumah, persawahan bahkan bisa saja melewati ruko, pasar atau malah toko swalayan. Beberapa mobil yang tadi ikut belok pun nggak kelihatan satu pun. Padahal Peter menyetir mobilnya cukup cepat. “Sudah sampai mana?” tanya Ki Mengkis yang akhirnya bangun juga. “Nggak tahu, Ki. Dari tadi kayak muter-muter aja,” jawabku. Hari sudah mulai malam. Jalanan masih saja pohon-pohon dan sawah yang hanya tampak karena kena sorot lampu mobil. “Loalah, kamu ini kenapa bisa kejebak sih,” seru Ki Mengkis membuatku menoleh. Ki Mengkis menggeleng beberapa kali sambil mendecak. Aku jadi penasaran kenapa Ki Mengkis mendecak dan mendesah berat. “Emang ada apa, Ki?” tanyaku jadi penasaran dengan ekspresinya. “Ya udah, jalan aja. Ntar juga keluar-keluar sendiri,” ujarnya sambil membuka tangan. Duh kayaknya ini berita buruk. Aku memandang Peter yang tampak lelah tapi mau gimana lagi, hanya dia yang bisa menyetir mobil. “Kalau capek, berhenti dulu,” ujar Ki Mengkis membuat Peter yang kali ini mendesah. “Berhenti dimana, Ki. Dari tadi muter-muter aja,” jawabnya. “Kayaknya aku harus belajar menyetir mobil deh. Biar bisa gantiin kamu,” kataku. “Nggak perlu. Aku nggak capek nyetir. Aku tuh capek liat pemandangan yang itu-itu mulu,” keluhnya. “Ya kamu sendiri yang salah ambil jalur,” jawab Ki Mengkis membuatku menoleh. La dalah, pas lihat belakang dari spion tengah la kok ada mbak kunti yang matanya putih semua dan hanya setitik bagian hitam. Mukanya menghitam, bibirnya kering mengelupas. Memandang Ki Mengkis tapi Ki Mengkis diam saja. Antara tahu atau pura-pura nggak tahu nih? Dia sadar kalau aku sedang melihatnya, sontak aku mengalihkan perhatian keluar jendela. Lah, ternyata dia muncul di luar jendela, melayang-layang ngikuti mobil yang melaju kencang. Aku pindah memandang ke depan, dia duduk nongkrong cantik di atas kap mobil. Memandangku sambil tersenyum, tapi aku pura-pura nggak liat daripada nanti dia bikin aku susah. Sebuah mobil tua melewatiku dengan kecepatan tinggi. Rasanya senang akhirnya ada kendaraan lain yang melintas. Hanya saja … mobil yang sama lewat lagi beberapa waktu kemudian. Berulang kali berpapasan dengan mobil itu bikin aku penasaran isi orangnya sama atau enggak. Jadi meski sulit melihatnya, tapi aku fokus biar aku bisa melihatnya. Dan ternyata, isinya cewek itu yang duduk di sebelah kemudi. Dengan sengaja membuka jendela dan tersenyum kepadaku. Hadew. Setelah satu jam sejak mobil sedan tua yang melewati kami berulang kali, akhirnya kami ketemu dua jalur. Tanpa pikir panjang, Peter memilih jalur pertama. “Ki Mengkis, bener nggak tuh,” ujarku sambil menoleh ke belakang. Ki Mengkis jadi pendiam sejak bangun tadi, bikin makin tegang saja. “Ya udah, ambil jalur mana pun sama aja. Ntar juga keluar sendiri,” jawabnya bikin aku menghela napas berat. “Peter, kamu nggak capek? Kita istirahat ta?” tanyaku. “Jangan berhenti. Sudah terlambat!” kata Ki Mengkis bikin aku dan Peter saling berpandangan. Kami bertemu dengan dua jalan lagi, kali ini Peter berhenti sejenak karena ragu dengan jalan mana yang akan dia pilih. “Yang mana, Ki?” tanya Peter. “Sama aja, kanan kiri.” Jawaban Ki Mengkis membuat Peter mengembuskan napas berat. Beberapa kali kami bertemu jalan bercabang tapi mau ambil kanan atau kiri ujung-ujungnya sama saja. Sampai akhirnya sebuah ambulance muncul dengan sirine yang meraung-raung. Seorang lelaki yang duduk di sebelah kiri membuka pintu jendela dan memberikan aba-aba kepada kami agar mengikutinya. “Ikuti saja,” ujar Ki Mengkis. Peter pun langsung mengikuti ambulan itu dan kembali bertemu jalan bercabang. Ambulan mengambil jalan sebelah kanan padahal tadi sudah bikin kami tersesat jauh. Awalnya kupikir begitu, tapi rupanya itu jalan yang benar. Nggak sampai dua kilo, akhirnya kami bertemu lampu jalan dan rumah-rumah warga. Bahkan kami melewati mall dan pasar yang sudah tutup. Ambulan tadi sudah nggak kelihatan karena melaju jauh lebih cepat dari Peter. “Sebenarnya tadi kenapa, Ki?” tanyaku akhirnya, penasaran karena baru kali ini menemukan kasus seperti ini. “Jalan yang kalian lalui tadi, jalan yang bikin mobil tua itu kecelakaan masuk jurang. Dia iseng aja bikin orang-orang tersesat kayak kita tadi,” ujar Ki Mengkis. Hadew ada-ada saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD