Kecelakaan Kereta Api

1611 Words
Gerbong berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi terbalik. Leherku rasanya mau patah karena harus jadi tumpuan badan. Steve melepas pelukannya. Ia merenggangkan dua tangannya, aku memeluknya erat saat ia mengeluarkanku dari kursi. Kakiku masih lemas, badanku masih gemetar sewaktu aku berdiri. Steve menahanku, beberapa lama aku dalam keadaan bingung. Kejadian ini benar-benar gak pernah ku bayangkan bakal terjadi padaku. Gerbong dalam kondisi porak poranda. Tas-tas dan barang-barang milik para penumpang berserakan dimana-mana. Bercak-bercak darah yang masih basah juga menyebar di kursi penumpang, lantai yang sebenarnya atap gerbong, di kaca-kaca yang sudah pecah dan pecahannya berserakan dimana-mana, menyebarkan bau anyir yang membuat perutku sangat mual. Sama sepertiku, sebagian besar penumpang juga mengalami kekagetan luar biasa. Dua pria berdiri dengan pandangan kosong, tatapan mereka tertuju pada kursi paling belakang yang sudah menyatu dengan warna merah darah memenuhi tempat itu. Empat orang diantaranya tergencet dan sudah gak sadarkan diri. Aku rasa mereka sudah meninggal mengingat luka berat yang mereka alami. “Ayah ... Ibu....” Seorang cewek mungkin umurnya sekitar tiga belas sampai empat belas tahun, sedang menangis sesenggukan. Ia jongkok di depan dua orang yang sudah gak sadarkan diri. Kepala mereka bersimbah darah. Kaki dan tangan mereka menekuk sampai terlihat menyatu. Rascal menarik cewek itu, ia memeriksa kondisi orangtua cewek itu tapi melihat gelengannya, aku tahu kalo perkiraanku benar. Cewek itu menangis histeris, ia berusaha menarik badan orangtuanya tapi Rascal menarik cewek itu dan mengajaknya keluar. Aku dibantu Steve yang memapahku, berjalan gontai menyusuri kursi-kursi dimana beberapa diantaranya berisi orang-orang yang sudah meninggal. Aku mencengkeram pergelangan tangan Steve, meminta kekuatan untuk bisa melewati tempat ini dan aku harap bisa melupakan pemandangan mengerikan ini. Dua tangan seorang wanita terulur, menyentuh kakiku. Separuh badannya tergencet kursi. “Tolong! Tolong!” Suaranya lemah tapi masih bisa ku dengar. “Tunggu sebentar!” Steve memeriksa keadaan wanita itu. Ia memanggil dua orang yang gak terluka parah untuk membantunya menolong wanita itu. Pada bagian depan gerbong, Seorang pria duduk di tengah kursi yang menyatu, ia merintih tapi sangat lemah jadi aku hanya bisa melihat rintihan dari gerakan bibirnya.Seorang pria kurus, ada di tengah lorong gerbong dalam keadaan telungkup. Ia sedang merayap, berusaha keluar dengan sisa tenaganya. Kedua kakinya terluka parah, darah merubah warna celana panjangnya yang berwarna kopi s**u. Hanya Steve dan Rascal yang masih dalam kondisi prima, Rascal sudah berkeliling gerbong untuk melihat keadaan penumpang lain. Steve juga sibuk membantu orang-orang yang terjebak diantara kursi-kursi. “Honey. Sebaiknya kamu keluar! Tunggu aku disana.” Diantara kesibukannya, Steve masih ingat padaku. Tapi aku ingin tetap disini dan membantunya. Aku mendengar suara anak kecil menangis tersedu-sedu. Aku jongkok, mencari sumber suara itu. Seorang anak kecil duduk menelungkup di sebelah seorang wanita yang badannya menekuk dan gak sadarkan diri. Tangis anak itu semakin lama semakin kencang sambil mengguncang badan ibunya biar mau bangumn. d**a wanita itu tertembus pecahan kaca yang cukup besar. Dari sela kaca itu, darah keluar dengan cukup deras. Aku berlutut, memeriksa nadinya tapi saat tahu gak ada detak nadi disana. Ku rasa perempuan ini sudah meninggal. Aku menarik anak itu dari ibunya, perasaanku seperti dicabik-cabik melihatnya. Anak ini terlalu kecil untuk kehilangan orang yang paling menyayanginya. Tapi dalam kondisi seperti ini, gak ada yang bisa ku lakukan selain mengajak anak kecil itu keluar dari tempat ini. Anak itu berdiri di depanku, ia mengguncang pundakku sambil terus sesenggukan. “Tolong Ibuku, Kak. Ibuku ... Ibuku....” Anak laki-laki yang ku perkirakan berumur delapan sampai sepuluh tahun ini kembali menangis dengan kedua mata ditutup lengannya. Aku memeriksa kondisinya. Ada lecet di lengan kanannya, memar di lengan kirinya. Dahinya berdarah tapi sudah gak mengalir. Lukanya gak terlalu serius tapi hatinya pasti hancur mengetahui ibunya sudah tiada. “Honey. Kita harus cepat keluar dari sini!” Steve menyentuh bahuku. “Nama kakak, Bunga. Ini suami kakak, Steve. Siapa namamu?” Aku akan membujuknya untuk keluar bersamaku. “Aku ... Herlambang. Kakak, tolong Ibuku.” Lagi-lagi Herlambang menangis. Aku memeluknya, berusaha untuk menenangkannya. “Orang-orang akan datang menolong kita dan ibumu. Tapi sekarang, kamu ikut Kakak keluar dari tempat ini.” Aku melepas pelukan, menangkup wajahnya dengan kedua tangan. “Tempat ini berbahaya. Kamu mau kan keluar sama Kakak?” “Tapi Ibuku...” “Ibumu nanti pasti ditolong. Sekarang ayo keluar dan mencari bantuan!” Aku berdiri, mengulurkan tangan kiri untuk membantunya keluar. Herlambang kembali terisak, walaupun kali ini ia berusaha menahan tangisnya sendiri. Mengalami kejadian seburuk ini, melihat ibunya meninggal dan melihat begitu banyak orang terluka parah. Aku yakin, masalah ini cukup berat dihadapinya. Di ujung gerbong, ada beberapa mayat yang berlumuran darah tergencet badan gerbong. Mata mereka melotot bahkan ada satu bola mata baru saja jatuh dan menggelinding sampai tepat di dekat kaki Herlambang. Herlambang memelukku erat, menyembunyikan wajahnya di perutku. “Gak papa, Herlambang. Ada Kakak sekarang. Semua baik-baik saja.” Aku ingin mengajak Herlambang keluar tapi dia terlalu takut sampai badannya membeku. Lebih cepat kalo aku menggendong Herlambang dan membawanya keluar. Aku mau jongkok, mau menggendong Herlambang tapi Steve tiba-tiba sudah ada di dekatku. “Kita harus cepat keluar dari sini!” Steve gak banyak bicara, ia mengangkat badan Herlambang dalam gendongannya. Merebut satu tanganku dan mengajakku keluar dari gerbong secepat mungkin. Di luar gerbong, beberapa orang yang selamat sedang berkumpul di bawah pohon yang sangat besar. Steve mengajakku bergabung dengan mereka. Aku memandang dua gerbong yang kondisinya rusak parah. Aku mendongak, melihat tebing yang cukup tinggi. Sebelum jatuh ke jurang sempat bertubrukan dengan gerbong di depan dan di belakangnya. Aku meneliti tempat ini, hanya dengan bantuan bulan separuh dan ratusan bintang, aku bisa melihat kondisi tempat ini. Steve menyalakan handphone, ia memandangnya sebentar sebelum menyalakan senternya. Melihat kondisi orang-orang disini, aku aku hanya bisa menghela napas berat. Kami sama-sama masih kaget dan sama-sama butuh pertolongan segera. “Honey. Kamu tetap disini! Aku dan Rascal membantu orang-orang di dalam untuk keluar.” Steve menurunkan Herlambang dari gendongannya. Bocah itu langsung memelukku erat, ia kembali menangis tersedu-sedu. “Pergilah Steve. Hati-hati!” Steve berlari masuk ke dalam gerbong. Gak lama kemudian, Rascal keluar sambil membopong seorang wanita. Ia menurunkan wanita itu di dekatku. Memintaku mengurus wanita itu sebelum ia kembali masuk ke dalam gerbong. Aku memeriksa kondisi wanita itu. Kaki kanannya disangga kayu dan dibalut dengan kemeja yang berlumuran darah. “Mas Rascal bilang. Kakiku patah,” kata wanita itu. “Iya, Bu. Sebentar lagi bantuan pasti datang. Ibu tenang saja,” hiburku. “Iya. Aku benar-benar gak nyangka bisa mengalami kejadian seperti ini.” Kami pun terlibat obrolan mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Sama halnya orang-orang disini yang juga membahas kejadian ini. Dari gerbong lain, lima orang keluar dengan langkah gontai. Mereka mendekati tempat kami berkumpul dan menjatuhkan badan mereka di atas tanah. Pria yang paling ujung kanan berkata. “Ini benar-benar kecelakaan besar.” “Parahnya lagi. Kita terjebak di hutan. Apa kira-kira bakal ada orang yang menolong kita?” Pria lain menyahut. “Ini kejadian besar. Aku yakin gak lama lagi bakal ada yang membantu kita,” imbuh pria yang suaranya gede banget. Steve dan Rascal kembali sambil memapah seorang pria berbadan tambun. Satu kakinya diangkat, berjalan pelan sampai akhirnya berada di dekatku. “Dia yang terakhir,” kata Steve. Steve menjatuhkan badan di sebelahku. Ia memberiku sebotol air mineral dan langsung ku minum lalu ku bagikan ke Herlambang. Aku diam, hanya mendengarkan pembicaraan orang-orang disini yang semakin lama justru semakin heboh. Aku mengamati orang-orang yang ada disini. Menghitung semua orang baik yang sehat maupun yang terluka. Jumlahnya sekitar tiga puluh orang termasuk aku, Steve dan Rascal. Terdiri dari perempuan, laki-laki, anak-anak, tua dan muda. “Kita harus menunggu disini sampai bantuan datang!” kata seorang pria dengan luka di lengan yang terlihat cukup parah. Rascal mengeluarkan handphone dari dalam saku celananya. Ia menyalakannya dan mengusapnya berkali-kali kemudian ia berdiri, mengangkat handphone-nya tinggi-tinggi. “Sial,” umpatnya. Rascal kembali menjatuhkan pantatnya di tanah yang dingin. “Tadi aku sudah mengeceknya,” kata Steve. “Kenapa, Ras?” Aku memandang handphone Rascal yang masih menyala. “Tidak ada sinyal. Sepertinya kita memang harus menunggu bantuan datang,” kata Rascal. Berjam-jam kami duduk, menunggu bantuan datang tapi kenyataannya gak ada siapapun yang kelihatan batang hidungnya. Dua orang laki-laki berdiri, mereka menengadah lalu mulai berteriak minta tolong, “TOLONG ... ADA ORANG DISINI. TOLONG....” Berkali-kali berteriak, tapi tetap gak ada yang datang. Mereka pun akhirnya berhenti dan menjatuhkan badan lemas mereka di atas tanah. “Aargh...” Suara seorang pria yang terdengar menggumam, membuat pandangaku beralih kepadanya. Sebuah pantulan cahaya melintas melalui seberkas sinar. Gak lama kemudian, sinar itu bergerak cepat sebelum menghilang. “Bu Sofyan ... Bu Sofyan. Tolong! Tolong!” Seorang wanita berteriak sambil mengguncang bahu temannya. Aku berlari mendekatinya, seorang wanita terbaring telentang dengan leher menyemburkan darah. Seseorang sudah menggoroknya, membuat wanita yang dipanggil Bu Sofyan meninggal dunia. “Aargghh.” Suara lenguhan terdengar dari sisi lain. “Pandir! Pandir!” Seorang pria memanggil temannya. Aku langsung menoleh, berlari ke arah seorang pria yang sudah jatuh telungkup. Lagi-lagi lehernya dalam kondisi disayat dengan sangat rapi. Mengalirkan darah pekat dan membuat orang itu juga meninggal dunia. Steve jongkok di sebelahku, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ada kejadian aneh seperti ini? “Sebaiknya kita pergi dari sini!” Rascal beraksi. “Kita akan kemana? Kalo bantuan datang dan kita semua gak ada. Kita bisa....” “Jika kita menunggu disini. Kejadian seperti ini bisa terulang. Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi kita tidak bisa mengalami hal seperti ini lagi. Jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah ... pergi dari sini!” Steve menggendong Herlambang, ia juga menggandeng tanganku. Ini hal mengerikan dan masih sangat misterius. Aku gak yakin ini ulah setan tapi manusia apa yang bisa melakukan hal segila ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD