Pelampiasannya

1011 Words
    Seseorang mengetuk pintu kamar Nares.     "Masuk!" seru empunya kamar.     Nares melongok untuk melihat siapa yang datang. Rupanya Roland. Cowok itu menghampirinya. Jangan lupakan senyuman yang awet menghiasi wajahnya. Seperti diformalin saja.     "Lagi sibuk, Res?" tanyanya begitu melihat Nares sedang asyik berkutat dengan laptop. Ya ... meskipun adik sepupunya itu melakukannya sambil berbaring di ranjang.     Nares bersandar pada mahkota ranjang. Meletakkan laptop di pangkuan. "Nggak kok, Mas. Nyicil tugas." Nares segera menutup laptopnya.     "Lho, kok ditutup? Diterusin nggak apa-apa kok."     "Nggak, deh. Besok aja aku lanjut lagi. Udah sepet mata aku. Udah dari tadi soalnya."     Roland mengangguk mengerti. "Rajin juga kamu, ya." Roland perlahan menyusul Nares naik ke atas kasur. Ikut-ikutan Nares bersandar di mahkota ranjang. Mereka berbaring berdampingan dengan nyaman.     "Sekolah zaman sekarang kalau nggak rajin bakal ketinggalan jauh, Mas."     "Huum, sih. Tapi aku bukan tipe siswa yang rajin kayak kamu dulu. Aku super cuek. Kalau sempet ya ngerjain tugas. Kalau nggak, ya aku santai aja. Dihukum ya dijalani."     Nares terpingkal mendengar jawaban dablek Roland. "Aku pikir Mas ini rajin lho. Habisnya sekolah di Jepang terus dari lahir. Di sana kan orang-orangnya pekerja keras dan disiplin."     Roland menggeleng. "Kebanyakan emang gitu. Tapi banyak juga yang kayak aku. Segala sesuatu tetep tergantung yang jalanin, kan. Apalagi sekolahku dulu kayak semacam sekolah internasional gitu. Jadinya kultur Jepang nggak terlalu ditonjolkan. Lebih umum."     Nares mengangguk mengerti. "Mas Roland liburan semester ini kegiatannya apa? Kerja atau bikin usaha? Atau malah udah magang di perusahaan keluarga?"     Roland tertawa. "Duh ... kegiatan sehari-hari aku masih abstrak, Res. Masih mengawang-ngawang."     "Lho, gimana maksudnya?"     "Aku udah nyusun rencana libur semester. Tapi realitanya, tiap hari cuman luntang-lantung. Papa maksa aku buat segera magang. Mama bebasin aku mau langsung magang atau kerja atau bisnis sendiri. Tapi akunya malah pasif. Tiap hari diem-diem bae."     "Kenapa emangnya?"     Roland menatap Nares. "Karena ngerasa masih ada tanggungan."     Muncul kerutan di dahi Nares. "Tanggungan apa?"     Roland masih menatap Nares. Rautnya berubah murung. "Sebenernya inilah kenapa aku di sini sekarang, Res. Kamu tahu sendiri, kan, aku seumuran sama Atha. Dulu saat Atha mengalami kejadian itu, aku tahu. Aku ada di Florida juga waktu itu. Semua ceritanya aku tahu sedetailnya. Aku pernah ngobrolin hal ini sama almarhum Oom Moreno beberapa tahun yang lalu. Kami bahas tentang bagaimana Atha. Juga tentang kamu yang terpaksa dikorbankan.     "Aku sama Oom Moreno pengin ngasih tahu ke semua orang tentang kondisi Atha. Agar kamu nggak terus-menerus tertekan. Namun karena aku sama Oom Moreno terpisah jarak, jadinya rencana kami hanya sekadar wacana. Sampai kami bertemu lagi saat makan malam di kediaman Rakajuang dua bulan lalu. Aku mulai mengamati interaksi kamu dengan Atha.     "Sebelum Oom Moreno nyamperin kamu ke balkon malam itu, beliau udah lebih dulu ngobrol sama aku tentang kamu dan Atha. Rencananya kami mau melanjutkan niatan kami. Tapi keesokan harinya kecelakaan itu justru terjadi. Oom Moreno meninggal. Dan aku ... menjadi satu-satunya orang yang tertinggal, yang bertanggung jawab mengemban tugas untuk membebaskan kamu dari ketertekanan. Juga membebaskan Atha dari iblis dalam dirinya itu."     "M-Mas Roland ...."     "Apalagi setelah aku melihat interaksi kalian tadi. Benar-benar ...." Roland bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Waktu Ara bilang kangen Atha, aku langsung saranin dia buat minta izin Mama Papa. Aku bilang bakal kawal dia sama Mas Ronald. Padahal itu cuman alibi aku agar aku bisa kembali ke sini dan menyelesaikan tugasku. Aku semakin merasa bertanggungjawab atas semuanya. Karena aku akan ceritain semuanya ke kamu, Res. Kamu tenang aja. Aku akan menyelesaikan semuanya. Selanjutnya baru aku akan bisa menghabiskan liburan semester dengan tenang."     Nares diam seribu bahasa. Pikirannya tertuju pada banyak hal. Ternyata ada orang selain Moreno yang tahu tentang penderitaannya. Nares merasa ia memiliki harapan. Ada orang yang mengerti dan akan menolongnya.     Namun pikirannya juga dipenuhi banyak dugaan. Masa lalu Atha .... Masa lalu macam apa yang membuat Atha memiliki iblis dalam dirinya? Juga ... kenapa Atha menjadikan Nares sebagai pelampiasan? Nares benar-benar tak mengerti. ***     "Alhamdulillah ... jadi kamu sudah bikin keputusan, Sayang?" Hana terdengar begitu lega dan bahagia di seberang sana.     "Iya, Bu. Roland udah bikin keputusan. Roland bakal magang di perusahaan keluarga aja kayak Mas Ronald."     "Alhamdulillah ...." Sekali lagi Hana mengungkapkan rasa syukurnya.     "Tapi, Bu ...."     "Tapi kenapa, Sayang?" Kekhawatiran terdengar jelas dalam suara Hana.     "Aku magangnya nggak dalam waktu dekat."     "Maksud kamu?"     "Untuk sementara aku mau tinggal di Indonesia. Di rumah Tante Wanda."     "T-tapi kenapa, Sayang?"     "Aku nggak bisa jelasin alasannya, Bu. Yang jelas aku punya sesuatu untuk diselesaikan."     "Apa itu, Sayang?"     "Maaf banget, Bu. Aku belum bisa kasih tahu. Tapi aku janji, begitu kembali ke Tokyo, aku bakal langsung magang. Aku akan kerja dengan baik."     "Tapi, Roland ...."     "Tolong, Bu .... Tolong izinin, Roland. Ya?"     "Tapi Ibu nggak bisa ngasih izin begitu saja tanpa kamu mengatakan alasan secara gamblang, Roland!"     "Untuk saat ini belum bisa, Bu. Tapi nanti Ibu akan tahu. Roland janji. Tolong, Bu. Ini demi keselamatan seseorang. Demi keluarga besar kita juga."     Hana tak segera menjawab. Lama Roland menunggu. Pemuda itu setia menanti sampai sang ibu kembali siap untuk berbicara dan membuat keputusan.     "Ibu nggak bisa ngasih keputusan sendiri, Sayang. Ibu harus ngobrol sama ayahmu dulu. Lagian emangnya kamu udah bilang sama Tante Wanda dan Oom Sandi?"     Roland menggeleng, meski ia tahu Hana tak bisa melihatnya. "Ibu yang bilangin ke Tante Wanda, ya. Please ...."     "Aduh ... Roland ... Roland .... Kamu ngomong seakan-akan kamu sudah siap tinggal di sana. Eh, ternyata ngomong aja belum! Mana ngomong sendiri nggak berani! Nyuruh Ibu! Kamu ngomong sendiri sana!"     Roland cemberut maksimal. "Yah ... Ibu .... Pokoknya Roland nggak mau tahu! Ibu yang harus kasih tahu Tante Wanda! Titik!"     "Tapi, Land .... Ibu harus kasih alesan apa ke Tante Wanda? Wand ... Mbak titip anak bontot Mbak, ya. Bentar aja. Nanti dia balik sendiri ke Tokyo kalau udah selesai urusannya. Gitu?"     "Yah ... ngarang alesan yang bagus dikit kenapa, sih, Bu?"     "Aduh ... alesan apa, Land? Kamu nyuruh Ibu bohong?"     "Bohong dikit demi kebaikan, kan, nggak apa-apa, Bu! Ibu pikirin dulu alesannya, ya. Pokoknya ntar Roland tinggal terima jadi. Makasih, Bu. I love you. Muah."     "ROLANDDDDD!"     Roland menjauhkan jarak ponsel dari telinganya, sebelum pemuda itu memutus sambungan telepon secara sepihak. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD