Red - 37

2200 Words
Setelah Vardigos lenyap dari hadapan mereka, dengan cara menghilangkan diri dengan asap berwarna merah, persis seperti yang biasa Roswel lakukan, Nico, dan teman-temannya yang normal—tidak kerasukan—berniat untuk mencari keberadaan Sang Penguasa demi meminta bantuan agar penyebaran ilusi ini bisa dihentikkan dengan menggunakan kekuatan saktinya. Abbas yang baru saja tersadar dari pingsannya, setelah sebelumnya terjebak di dalam ilusi sampai mencekik leher Cherry, langsung berdiri dan ingin ikut membantu teman-temannya dalam mencari keberadaaan Sang Penguasa. Menganggukkan kepalanya, mereka pun langsung berpencar ke setiap bangku penonton, demi menemukan sosok anak kecil yang penampilannya sangat bercahaya. Mereka memencar dengan dibagi dua, yang artinya, setiap dua orang mencari ke tempat yang sama, dan dua orang lainnya ke tempat yang lain. Kebetulan, Nico berpencar dengan Abbas, dia beruntung karena pasangannya cukup kuat untuk melindunginya jika terjadi hal yang tidak memungkinkan dan juga bisa sambil bertanya soal hal yang barusan terjadi pada lelaki tinggi nan kekar tersebut. Nico dan Abbas menelusuri ke bangku para penonton di sebelah utara. “Abbas! Apakah kau sadar kau barusan terkena ilusi?” Sembari berlari-lari, Nico bertanya pada Abbas yang ada di sampingnya, yang juga sama-sama berlari. Mendengar itu, Abbas hanya menganggukkan kepala dengan hening, mengisyaratkan bahwa dia sadar bahwa dirinya sebelumnya terkena ilusi dari Isabella yang telah menyebar ke sebagian besar para penonton. Mendapatkan respon tersebut, membuat Nico kembali bertanya lagi terkait hal tersebut, tanpa peduli kalau segala pertanyaannya hanya akan direspon dengan keheningan. “Apa kau masih mengingatnya? Saat kau masih terjebak di dalam dunia ilusi itu?” “Ya, aku masih mengingatnya.” jawab Abbas yang tampaknya mulai mengeluarkan suara baritonenya yang lumayan ngebass dan seksi. “Apa kau keberatan jika menceritakan pengalamanmu padaku? Saat kau masih berada di dunia itu?” “Tidak masalah, aku akan membagikannya pada siapa pun,” tutur Abbas yang sepertinya tidak begitu mempermasalahkan kalau orang lain ingin mengetahui pengalamannya saat masih terjebak di dalam dunia ilusi itu, karena baginya itu wajar jika seseorang ingin tahu soal sesuatu yang tidak pernah dialaminya, dan itu sama sekali tidak mengganggunya. “Terima kasih, tolong ceritakan pengalamanmu padaku, aku ingin mendengarnya.” Masih sedang berlari di setiap jalan di bangku-bangku para penonton untuk mencari keberadaan Sang Penguasa, Nico mencoba untuk mendengar apa yang akan Abbas ceritakan soal pengalamannya karena itu sangat penting dan bagus untuk menambah ilmu pengetahuannya tentang hal-hal yang diluar nalar dan bersifat paranormal. “Saat itu pikiranku kosong, meski aku menyaksikkan pertandingan Isabella dan Jeddy melawan Paul, tapi kefokusanku tidak terpusat ke sana, sehingga pikiranku sama sekali tidak memikirkan apa-apa. Mungkin bisa disebut sebagai melamun,” ucap Abbas, menjelaskan awal mula ketika dirinya masuk ke dalam dunia ilusi ciptaan Isabella. “Aku melamun cukup lama dan kesunyian di kepalaku membuatku tidak mendengar atau pun menyadari bahwa saat ini ada suatu kejadian yang gawat di tengah lapangan. Aku melihatnya, tapi aku tidak melihatnya. Begitulah, hingga akhirnya aku merasa sesuatu yang dingin dan gelap datang ke dalam pikiranku, dan jiwaku terasa ditarik oleh bayangan itu untuk masuk ke dalam dunia yang asing. Di situ lah aku merasa panik dan akhirnya aku meraung-raung karena di situ, aku diceburkan ke dalam lautan yang sangat luas dan tenggelam di sana. Aku tahu meski jiwaku berada di sini, tapi wujud fisikku masih sedang meraung-raung dengan gila di arena, aku tidak bisa mengendalikan keduanya. Jiwa dan fisikku terasa terpisah menjadi pribadi yang berbeda sampai akhirnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini, dan mencoba pasrah untuk menerima semua ini. Dan beruntungnya, aku berhasil diselamatkan oleh pria berkulit merah itu, dia benar-benar telah menyelamatkanku dari kesesakan dan kesunyian yang bisa membuatku gila. Aku sangat berterima kasih pada orang itu.” Menganggukkan kepalanya, Nico tersenyum setelah mendengar penjelasan dari Abbas yang menceritakan soal pengalamannya saat ikut terjebak ke dalam dunia ilusi tersebut. “Dan nama orang yang menyelamatkanmu adalah Vardigos, katanya dia juga seorang pelayan pendamping, sama seperti Roswel.” “Jadi namanya Vardigos, ya? Baiklah, aku akan berterima kasih secara langsung padanya nanti.” “Tapi aku tidak mengira kalau penyebab mengapa kau ikut terkena ilusi itu, hanya karena pikiranmu kosong,” Nico menggelengkan kepalanya dan terkekeh-kekeh. “Kukira ada hal yang lebih keren lagi, ternyata cuma karena itu, ya?” “Sepertinya memang begitu.” balas Abbas dengan singkat. “Itu artinya, mereka yang sekarang sedang kerasukan itu, adalah para penonton yang pikirannya juga kosong, ya,” Mendecik-decikkan lidahnya, Nico jadi merasa kasihan. “Seandainya pikirannya tidak kosong, mungkin mereka tidak akan terjebak di dalam ilusi menyeramkan itu.” “Apakah kau tidak pernah mengalami itu?” Abbas seketika mengajukan sebuah pertanyaan pada Nico, membuat si lelaki berkaca mata itu jadi keheranan mendengarnya, tidak paham pada apa yang sedang ditanyakan olehnya. “Mengalami apa?” ucap Nico, mengulangi pertanyaan Abbas yang belum terlalu jelas. “Pikiran kosong,” jelas Abbas dengan menyaringkan sejenak suaranya agar dapat terdengar oleh Nico. “Apa kau tidak pernah mengalaminya?” “Tentu saja, aku sering mengalaminya, pemikiran kosong adalah bentuk penyembuhan agar mentalmu tidak sakit atau tegang, tapi belakangan ini aku selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan kepahlawanan seperti ini, kau tahu? Jadi, pikiranku tidak bisa dikosongkan karena selalu berisik dengan segala tugas yang diberikan oleh Paul,” kata Nico dengan mengedikkan bahunya, cukup yakin dengan perkataannya. “Makanya aku lebih heran padamu, mengapa kau sempat-sempatnya berpikiran kosong saat teman-temanmu sedang mempertaruhkan nyawa dan jiwa melawan Paul di tengah lapangan. Kau tahu sendiri, kan? Paul itu sangat kejam dan brutal pada siapa pun, mereka bisa saja mati jika tidak bisa melindungi diri dari serangan-serangan Paul. Aku saja sampai tidak bisa santai saat menyaksikan pertandingan Lizzie dan Colin.” Entahlah, mendengar segala omongan yang Nico lontarkan, terasa seperti sedang menyudutkkannya, tapi dia paham betul watak dari seorang Nico Walcott yang selalu kritis dan dingin dalam memperlakukan seseorang, karena itulah Abbas mencoba memakluminya dan tidak mengambil hati. “Ya, aku juga sama tegangnya sepertimu, setiap melihat teman-temanku bertarung di tengah lapangan, hanya saja, aku selalu termenung dalam sesaat dan akhirnya kekosongan memenuhi pikiranku dengan sekejap, dan itu terjadi secara otomatis. Aku tidak bisa mengendalikannya sesuka hati, sebab itu sudah menjadi bagian dari diriku.” Jawaban Abbas mengindikasikan bahwa dia sama sekali tidak mengabaikan perjuangan teman-temannya yang sedang bertarung melawan Paul di tengah lapangan, pemikiran kosongnya itu disebabkan karena energinya selalu mudah sekali habis, apalagi kalau berada di sekitar banyak orang yang sangat berisik, terkadang Abbas harus mengisi energinya dengan mengosongkan pikirannya. Begitulah, poin yang ditemukan oleh Nico pada jawaban yang Abbas lontarkan, dan lelaki berkaca mata itu mulai mengerti dengan keadaan salah satu temannya itu. “Jadi begitu rupanya,” Nico mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda sudah mengerti. “Aku paham sekarang. Terima kasih sudah menjelaskannya padaku, Abbas.” Sudah berlari cukup lama, mereka terkejut karena tidak ada satu pun sosok yang mereka lihat sebagai Sang Penguasa, padahal mereka berdua yakin bahwa sebelumnya anak kecil itu ikut duduk di bangku penonton untuk menyaksikan setiap pertandingan yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan dari Madelta. Tapi mengapa dia tidak terlihat di mana-mana? Apakah karena wujudnya mungil, menyebabkan dia tertutupi oleh badan-badan besar dari orang lain? Atau bisa saja Sang Penguasa tidak menunjukkan diri saat menyaksikan pertandingan agar dia tidak menjadi pusat perhatian di antara para penonton, mengingat penampilannya yang cukup eksentrik dibandingkan orang-orang pada umumnya. “Sepertinya kita istirahat saja dulu di sini, aku lelah.” ajak Nico pada Abbas agar duduk sejenak di bangku kosong para penonton untuk mengistirahatkan tubuhnya sambil mengisi stamina. “Sebenarnya ada di mana dia? Menyusahkan saja, dasar anak kecil menjengkelkan.” “Bukankah dia sudah kakek-kakek? Umurnya 5000 tahun, kan?” tanya Abbas, mencoba memastikan ucapan Nico yang tidak tepat dalam menyebut sosok Sang Penguasa. “Siapa peduli? Mau umurnya berapa pun, selama wujudnya seperti anak kecil, maka dia pantas disebut sebagai anak kecil,” desis Nico dengan melirik tajam mata Abbas. “Lagipula, jika dia adalah Sang Penguasa, mengapa dia diam saja saat melihat arena ini ricuh karena penyebaran dunia ilusi? Seharusnya dia bisa mengatasi ini? Jangan bilang dia juga ikut terpengaruh dan terjebak di dunia ilusi itu karena pikirannya kosong. Kalau memang begitu, itu artinya dia sosok Sang Penguasa yang sangat payah.” “Roswel juga sepertinya tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya.” Ungkap Abbas dengan memandangi tiang tinggi yang ada di depan bangku penonton sebelah barat, yang dipuncak tiangnya ada Roswel sedang berdiri santai di sana. “Jangan andalkan orang seperti Roswel, dia tidak bisa memahami situasi, yang dia pikirkan hanyalah tetap patuh pada aturan dan tetap melakukan tugasnya di sana sebagai pembawa acara, meski dia sama sekali tidak menjelaskan apa pun di sana, yang dia lakukan hanya diam dan berdiri, benar-benar menjengkelkan.” “Roswel hanya menjelaskan ketika awal pertandingan dan akhir pertandingan, mengungkapkan siapa yang akan bertanding dan siapa yang memenangkan pertandingan.” “Ya, kau benar, cuma itu yang dia jelaskan pada para penonton, selebihnya, dia hanya membiarkan penonton menyaksikan pertandingan dalam keheningan.” terang Nico dengan mendecih kesal pada sikap Roswel yang tidak tahu diri. Sementara itu, di bangku tempat Leo dan para pahlawannya duduk, Vardigos telah kembali duduk di kursinya dan hanya diam saja di sana dengan menyenderkan punggungnya di punggung kursi, membuat Sang Mentor dan pahlawan-pahlawan bimbingannya yang berasal dari Megasta, jadi terheran-heran pada tingkah pelayan pendamping mereka yang mencurigakan. “Tuan Vardigos, Anda baru dari mana?” tanya Leo, lelaki berambut cokelat yang memberanikan diri untuk bertanya secara langsung pada Vardigos, meski ketegangan menyelimuti dirinya. Tidak mendapatkan respon, Leo mencoba mengulangi pertanyaan untuk yang kedua kalinya. “T-Tuan Vardigos, maaf jika saya mengganggu waktu istirahat Anda, tapi kalau boleh tahu, Anda dari mana saja?” Vardigos langsung menoleh dan menatap dalam-dalam mata Leo dan para pahlawannya yang duduk berjejer di sebelahnya. “Untuk apa kau bertanya hal yang tidak penting itu padaku?” ucap Vardigos dengan membalikkan sebuah pertanyaan baru yang cukup tajam pada Leo dan pahlawan-pahlawannya. “Jika kalian punya waktu sesenggang itu untuk bertanya hal yang tidak penting begitu padaku, lebih baik isi waktu kalian dengan menyelamatkan orang-orang di sekitar yang kini sedang terjebak di dalam dunia ilusi. Jangan sebut diri kalian sebagai mentor atau pahlawan jika melakukan hal seperti itu saja, kalian masih merasa gengsi dan enggan.” Sontak, mendengar ceramah yang dikemukakan oleh Vardigos, langsung menyadarkan sikap mereka dalam berperan sebagai mentor dan pahlawan, sehingga mereka langsung bergegas untuk menyelamatkan para penonton yang kerasukan di sekitar arena. Walau sejujurnya, ada kekecewaan yang cukup besar karena Leo tidak mau diperlakukan kasar seperti itu oleh Vardigos, tapi dia juga tidak bisa membantah segala perintah dari pelayan pendampingnya karena dia dan pahlawan-pahlawan bimbingannya sangat menghormati dan mengagumi Vardigos, layaknya seorang dewa yang begitu dipuja-puja oleh umatnya. Ikatan seperti itulah yang terjadi antara Vardigos dengan Leo dan para pahlawannya. Sedangkan ikatan antara Lolita dengan Gissel dan para pahlawannya, terkesan seperti saudara kandung yang saling melindungi dan menghormati. Itu bisa dibuktikan dari sikap Lolita yang begitu lembut pada Gissel, serta sikap Sang Mentor yang sangat merangkul pahlawan-pahlawan bimbingannya. “Sebelah selatan, sebelah utara, dan sebelah timur, tenangkan mereka semua!” suruh Gissel pada pahlawan-pahlawannya dengan tegas. Setelah pahlawan-pahlawan bimbingannya bergegas pergi ke lokasi-lokasi yang diperintahkannya, Gissel, gadis keriting berambut perak panjang itu, mendekati Lolita yang berdiri tegak di tepi garis pembatas antara bangku penonton dengan tanah lapangan. “Lolita, aku sudah memerintahkan mereka untuk pergi ke lokasi-lokasi itu, sekarang, apa yang mesti kulakukan di sini?” tanya Gissel dengan d**a yang kembang-kempis karena lelah berlari ke sana-kemari dari tadi. “Maaf, Nona,” kata Lolita dengan menoleh dan tersenyum kikuk pada Gissel. “Apakah Anda keberatan jika Anda turun ke lapangan untuk menenangkan perempuan yang bernama Isabella Melvana itu? Kelihatannya dia jadi stress karena kekacauan yang disebabkan oleh kemampuannya itu, sepertinya dia jadi merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya, jadi bagaimana menurut Anda, Nona?” Menganggukkan kepalanya, Gissel dengan sigap, mematuhi permintaan Lolita. “Baiklah, aku akan menenangkannya, meski dia masih menjadi seorang peserta di pertandingan ini, tapi sebagai seorang mentor, aku tidak bisa membiarkan dia menjerit-jerit sendirian di tengah lapangan. Kalau begitu, aku pergi, Lolita!” Dengan berani, Gissel langsung melompat dan mendarat di tanah lapangan yang merupakan lokasi pertandingan yang sedang berlangsung, gadis keriting itu pun segera berlari mendekati seorang perempuan berambut merah yang sedang terduduk dalam isakan pilu sembari memangku kepala temannya, di sana juga ada Paul yang terbaring lemas di permukaan tanah. Sepertinya jiwa Paul masih sedang terjebak di dalam dunia ilusi, pikir Gissel. Ketika jarak Gissel tinggal beberapa langkah lagi sampai akhirnya dia menyentuh rambut Isabella, sebuah dinding es tiba-tiba tercipta di hadapannya, membuat dirinya jadi dipisahkan dengan perempuan berambut merah itu oleh tembok es tersebut. “E-Eh!? Apa ini?” Gissel kaget dengan kemunculan dinding es tersebut, bahkan dia jadi terjatuh ke tanah saking terkejutnya. Bukan hanya Gissel, Isabella juga terbelalak dengan tembok es itu, begitu juga dengan Lolita, yang tidak percaya kalau tugas mentornya dihalangi oleh sebuah tembok yang terbuat dari es. Menyadari itu perbuatan siapa, Lolita pun segera memutar lehernya untuk memandangi orang tersebut. “MAAF, NONA GISSEL,TAPI ANDA DI SINI TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK MENGGANGGU PERTANDINGAN YANG SEDANG BERLANGSUNG,” ucap Roswel dengan menggunakan mikrofonnya, sehingga suaranya jadi terdengar ke seluruh penjuru arena. “KARENA ANDA ADALAH BAGIAN DARI PENONTON, MAKA ANDA HARUS KEMBALI DUDUK DI BANGKU ANDA. JIKA ANDA KERAS KEPALA, MAKA TIDAK ADA YANG BISA SAYA LAKUKAN SELAIN MENGUSIR ANDA SECARA
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD