Red - 58

2262 Words
Setelah berakhirnya pertandingan antara Lizzie dan Colin melawan Paul, kini Roswel secara langsung mengumumkan pertandingan selanjutnya yang akan diisi oleh Jeddy Griggory dan Isabella Melvana melawan Paul Cozelario. Mendengar penjelasan dari Roswel, sontak, seluruh penonton kembali bergemuruh riuh saking gembiranya karena langsung dihibur dengan pertandingan selanjutnya. Setiap penonton sangat bersemangat ingin melihat bagaimana pertandingan kedua akan berjalan, apakah sebrutal dan seseru pertandingan pertama? Atau akan berbeda? Apa pun itu, para penonton benar-benar tidak sabar ingin segera menyaksikannya. Sontak, mendengar namanya disebut, Isabella dan Jeddy saling memandang dari bangkunya masing-masing dan akhirnya mengangkat pantatnya secara bersamaan dan berdiri sempurna, sampai mereka pun mulai berjalan pelan menuju ke tengah arena untuk mengisi pertandingan kedua. Tepuk tangan begitu ramai saat dua orang itu muncul ke tengah gelanggang, menunjukkan rupa mereka di hadapan para penonton, dan mereka pun disambut dengan sangat meriah oleh semua orang. “Kayaknya pertandingan kedua akan lebih seru, deh!” oceh Cherry dengan menepuk-nepuk dua tangannya, memberikan tepuk tangannya seperti para penonton lainnya. “Soalnya, yang akan bertanding adalah Isabella dan Jeddy! Mereka berdua kan orang-orang paling konyol di kelompok kita, hihihi!” Tersenyum lembut, Koko menganggukkan kepalanya. “Ya, kamu benar,” balas Koko, sependapat dengan omongan yang barusan Cherry lontarkan. “Sepertinya kita akan dihibur oleh kekonyolan mereka.” Di tengah lapangan, Isabella dan Jeddy mengangkat kepala dan melambai-lambaikan dua tangannya, menyapa para penonton dengan senyuman dan tawa yang sangat lebar untuk memberikan kesan akrab pada semua orang. Membalas sapaan Isabella dan Jeddy, para penonton pun bersorak-sorak, memanggil-manggil nama mereka dengan semangat, menampilkan kegembiraannya karena bisa diperhatikan oleh dua peserta yang akan bertanding tersebut. “Wah, ternyata kalau dilihat dari sini, penontonnya banyak sekali, ya!” ungkap Jeddy dengan tersenyum sangat lebar, menunjukkan betapa bahagianya dia bisa berdiri di tengah arena bersama Isabella sebagai peserta yang akan bertanding di sini. “Aku saja sampai tidak tahu harus melakukan apa setelah sadar bahwa kita sedang disaksikan oleh orang sebanyak ini,” ucap Isabella dengan terkikik-kikik geli. “Tapi Paul mana, ya? Apakah dia tidak bisa melanjutkan pertandingan karena sebelumnya terluka sangat parah?” “Entahlah, mungkin dia masih sedang dirawat, tapi siapa pun yang akan jadi lawan, aku akan bersedia berhadapan untung bertarung dengannya, kau juga begitu, kan? Isabella?” “Ya, ya, tentu saja,” jawab Isabella dengan menganggukkan kepala. “Siapa pun itu, kita pasti akan memenangkan pertarungan ini.” Namun, baru saja mereka bilang begitu, terdengarlah suara terompet yang melengking begitu nyaring, menandakan bahwa pertandingan secara resmi telah dimulai, dan keterkejutan Isabella dan Jeddy semakin meningkat saat sesosok laki-laki berjalan gagah dari ujung yang berlawanan menuju ke tengah lapangan, mendatangi mereka berdua yang sepertinya merupakan seorang lawan yang akan mereka hadapi di pertandingan ini. Tentu saja, sama seperti kemunculan Isabella dan Jeddy, seluruh penonton pun memberikan tepuk tangan yang begitu meriah saat sosok laki-laki itu datang ke tengah arena, sangat gaduh dan berisik dalam menyambut orang asing tersebut. Sayangnya, ketika sosoknya semakin dekat dan semakin jelas, Jeddy dan Isabella tersenyum senang karena sosok tersebut tidak lain tidak bukan adalah Paul Cozelario, mentor mereka sendiri, yang seluruh tubuhnya sudah baik-baik saja seperti sedia kala, tidak ada luka lecet atau tulang yang patah. Semuanya tampak baik-baik saja, membuat Jeddy dan Isabella begitu bahagia memandangi sosok Sang Mentor. “Woah! Aku kira kau masih sedang sakit, Bro!” Jeddy langsung mendekat dan menepuk-nepuk bahu Paul dengan bersemangat. “Aku tidak tahu kau bisa sembuh secepat ini, Bro! Aku senang karena lawan kami masih dirimu! Hehehehe!” “Ayolah Jeddy~” Sama seperti Jeddy, Isabella pun mendatangi Paul dan membelai-belai leher mentornya dengan sangat manja dan menggodanya, sengaja agar Sang Mentor jadi terangsang oleh tingkahnya. “Kau ini seperti tidak tahu Paul saja? Dia itu kuat sekali, tidak mungkin dia terluka hanya karena bertarung melawan Lizzie dan Colin, kan? Yang kau bicarakan itu adalah Paul, loh~ seseorang yang sangat tangguh dan perkasa.” Dengan kasar, Paul langsung menepis sentuhan-sentuhan dari tangan Jeddy dan Isabella, lalu mulai mengangkat suaranya dengan lantang. “Jangan banyak tingkah! Aku benci orang-orang seperti kalian! Daripada membuang-buang waktu dengan menanyakan keadaanku, lebih baik kalian segera pikirkan bagaimana cara mengalahkanku, karena aku tidak akan mengulangi kecerobohanku di pertandingan pertama. Aku akan bersungguh-sungguh melawan dan menghancurkan kalian berdua. Jadi bersiap-siaplah!” Memundurkan langkahnya sejenak, Jeddy tersenyum lebar dan Isabella terkikik renyah, menertawakan sikap Paul yang masih saja tidak bisa diajak bercanda. Setelah itu, Roswel melemparkan tiga mikrofon pada mereka bertiga, kemudian mereka pun segera memakainya dengan cepat sebelum akhirnya memulai pertandingan dengan sesuatu yang mengejutkan. “Ehem! Ehem! Apa sekarang suaraku sudah bisa didengar oleh kalian semua?” Mendadak Isabella meminta perhatian pada para penonton setelah mikrofon mungil yang diberikan oleh Roswel terpasang sempurna di dekat bibirnya, membuat para penonton bertanya-tanya tidak paham pada apa yang akan dilakukan oleh gadis berambut merah panjang itu, sementara Jeddy terbahak-bahak dan Paul mengernyitkan alisnya. “Ah, sepertinya sudah terdengar jelas, ya?” Isabella menepuk-nepuk pelan mikrofonnya dan tersenyum ketika suaranya sudah menggema di seluruh arena. “Ah, gawat,” Cherry jadi tersenyum kikuk saat mendengar Isabella akan melakukan sesuatu di tengah arena. “Isabella akan melakukan sesuatu yang sangat konyol di sana.” “Konyol?” Naomi penasaran pada perkataan Cherry yang masih terdengar belum jelas. “Apa maksudnya itu? Kekonyolan apa yang akan dilakukan oleh Isabella?” “Pokoknya kalian harus melihatnya ke depan! Ini akan sangat seru, hihihi!” “Seru apanya?” Tiba-tiba Nico muncul di dekat teman-temannya untuk bergegas duduk ke bangkunya yang sebelumnya kosong. “Eh? Nico? Kau baru dari mana?” tanya Victor pada lelaki berkaca mata itu yang sepertinya terengah-engah habis berlari dari suatu tempat yang lumayan jauh. “Aku baru dari tempat Colin dan Lizzie, memeriksa keadaan mereka,” tegas Nico sebelum akhirnya duduk dengan sempurna di bangkunya sendiri, yang berdekatan dengan Victor di samping kanannya, dan Naomi di samping kirinya. “Dan ternyata mereka sedang bersantai ria di kolam air hangat, yang konon katanya air dari kolam itu bisa menyembuhkan segala luka.” “Benarkah!?” Naomi sangat terkejut mendengarnya. “Itu artinya kita tidak perlu khawatir jika nantinya kita terluka parah di pertandingan, ya?” “Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk berleha-leha dalam menjalankan pertandingan karena kita di sini juga sedang dinilai oleh semua pahlawan dari berbagai negara, jika kita menunjukkan hal yang memalukan, itu juga akan mempermalukan nama kelompok kita. Jadi sebisa mungkin, kita tidak boleh membuat nama kelompok kita jadi jelek oleh tingkah kita di lapangan.” “Kalau mengenai itu,” Koko ikut bergabung ke dalam percakapan sambil menunjuk ke tengah arena. “Sepertinya mereka sudah mempermalukan nama kelompok kita, soalnya…” Tidak mau menjelaskannya lebih lanjut, Koko hanya ingin teman-temannya segera melihat ke tengah lapangan dan di saat itulah Nico, Victor, Naomi, Cherry, dan Abbas terbelalak menyaksikan hal yang sedang terjadi di sana. “Baiklah,” Tiba-tiba Isabella melucuti baju dan rok pendeknya satu-persatu dengan gaya yang sangat pelan dan mendesah, hingga akhirnya hanya menyisakan bra dan celana dalamnya yang semuanya berwarna merah cerah. “Ini sudah waktunya untuk betarung habis-habisan melawan Paul~” Melakukan hal yang sama, Jeddy juga meloroti semua baju dan celana yang dipakainya, dan cuma menyisakan celana dalam hijau gelapnya saja yang begitu pendek. Mereka berdua menampilkan lekukan tubuhnya masing-masing pada para penonton, Isabella dengan badan seksinya yang persis seperti biola, sedangkan Jeddy dengan tubuh kekarnya yang seperti binaragawan. Sampai akhirnya, seluruh penonton jadi bersorak-sorai dengan sangat berenergi, menunjukkan keterkejutannya masing-masing di sana. Tidak paham pada yang sedang mereka berdua lakukan, Paul terheran-heran dengan mata berkedip-kedip dan menggertakkan gigi. “BODOH! APA YANG MAU KALIAN LAKUKAN DENGAN MELUCUTI PAKAIAN DI SINI!” Tentu saja Paul langsung meraung-raung marah melihat Jeddy dan Isabella melakukan hal yang tidak lazim di arena yang seharusnya diisi dengan pertarungan yang sengit, para penonton pun sebenarnya masih belum memahami tujuan dua orang itu sampai melucuti seluruh pakaian yang dipakainya. “Apa-apaan mereka itu?” Gissel saja sampai bingung melihat tingkah Isabella dan Jeddy di tengah lapangan. “Apa mereka tidak malu telanjang di depan banyak orang seperti itu?” “Madelta sepertinya diisi oleh pahlawan-pahlawan super aneh, ya.” Dari bangkunya, Lolita menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mungkin mereka tidak sadar, tapi kelakuan yang sedang mereka lakukan saat ini, sama saja mempermalukan nama kelompok mereka sendiri. Semoga kelompok Nona Gissel tidak melakukan hal sekonyol itu, ya.” “Tentu saja, aku akan sangat marah jika pahlawan-pahlawanku mempermalukanku seperti itu!” Kembali ke tengah arena, Isabella malah terkikik-kikik melihat Paul yang sedang marah, sedangkan Jeddy langsung segera bicara. “Jangan khawatir, Bro! Ini adalah cara kami bertarung melawanmu! Kami akan membuktikan pada semua orang bahwa kami berdua tidak kalah hebatnya seperti Colin dan Lizzie! Hahahahah!” Dan perkataan Jeddy diakhiri dengan tawa yang menggelegar-gelegar. “Tidak kalah hebatnya, kau bilang?” Paul benar-benar jadi sangat gemas mendengar omongan Jeddy yang ngawur. “APANYA YANG ‘TIDAK KALAH HEBATNYA’, b******k! JUSTRU, YANG KALIAN LAKUKAN INI TELAH MEMPERMALUKANKU! BAHKAN MEMPERMALUKAN NAMA KELOMPOK KITA DI HADAPAN MEREKA SEMUA!” “Tenanglah, Paul, kau tidak perlu marah-marah begitu.” goda Isabella dengan mengedipkan sebelah matanya. “CEPAT PAKAI BAJU KALIAN ATAU AKU TIDAK AKAN MELAYANI KALIAN UNTUK BERTARUNG DI SINI! CEPAT!” “Kau ini tidak bisa diam sekali, ya?” Isabella menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menyenggol lengan Jeddy dengan lembut. “Lakukan strategi A sekarang, Jeddy.” Menganggukkan kepalanya dengan semangat, Jeddy langsung menjulurkan dua tangannya ke arah Paul, dengan jemarinya membentuk seperti sebuah pistol, lalu, “Dor!” Menembakkan peluru yang seolah-olah mengenai Paul. “Hah? Kau ini sedang apa, b******k!?” Paul memelototkan dua matanya dengan tatapan yang begitu menindas saat Jeddy berpura-pura menembakinya dengan sebuah pistol, padahal jelas-jelas tangan orang itu sedang kosong. “Jangan main-main denganku!” “Main-main?” Isabella menyunggingkan senyuman tipisnya pada Paul, saat mentornya bilang begitu. “Siapa yang sedang main-main di sini, Paul?” Menoleh ke sosok Isabella yang kini sedang berjalan pelan memutarinya dengan jarak sekitar 5 meter dari posisinya, Paul masih tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan saat ini, begitu juga dengan para penonton. “Sekarang apa dengan kau berputar-putar di sekelilingku? Kau mau melakukan apa, Isabella b******k!?” “Nanti kau juga pasti mengerti sendiri, kok.” Jawab Isabella dengan masih berjalan-jalan pelan, melunggak-lenggokkan pantatnya secara seksi, memutari mentornya yang sedang kebingungan. “Jeddy, lakukan lagi.” “Oke!” Sama seperti sebelumnya, Jeddy mengacungkan dua tangannya yang membentuk seperti sebuah pistol dan menembakkannya pada Paul. “Dor! Dor! DOR!” teriak Jeddy, dengan bersuara seperti sebuah pistol yang ditembakkan ke arah Paul. “Aku sudah mengenai titik-titik vitalnya, Isabella!” “Hah?” Paul yang tentu saja tidak kenapa-kenapa, tidak paham mengapa dua orang itu bertingkah seperti sedang melancarkan serangan pada dirinya. “Kalian ini sudah sinting, ya?” “Kerja bagus, Jeddy,” Seketika, Isabella menurunkan pantatnya dan duduk bersila di hadapan Paul, sambil merapatkan dua tangannya di depan d**a dan memejamkan matanya. “Sekarang, serahkan sisanya padaku.” “Oke!” Jeddy pun berlari kencang ke tepi arena, seakan-akan memberikan Isabella ruang untuk memberikan serangan terakhir pada Paul. “Semoga berhasil!” Dengan sangat serius, Isabella menggerak-gerakkan mulutnya dalam mata yang masih terpejam, seperti sedang merapalkan sesuatu, membuat Paul makin bertanya-tanya apa yang sedang dua orang itu lakukan pada dirinya. “Kubilang, jangan main-main di sini! Kalian membuat semua orang keheranan dengan tingkah aneh kalian berdua! Cukup sudah!” Paul mengepalkan dua tangannya dan menghentakkan kakinya, untuk melangkah dan mendekati Isabella yang sedang duduk bersila di depannya. “AKU MUAK!” Namun, ketika Paul hendak menendang muka Isabella, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan pistol yang sangat nyata di telinganya, membuat dia jadi menghentikkan pergerakannya dan menoleh-noleh ke segala arah untuk melihat siapa yang tadi membunyikan benda itu. “Hey! Jeddy! Kau membawa pistol di tanganmu!?” “Tidak, Bro! Lihat saja! Aku tidak membawa benda apa pun, bahkan pakaianku saja tidak kupakai! Hehehehe!” ungkap Jeddy dengan mengangkat dua tangannya pada Paul, membuktikan bahwa dirinya sama sekali tidak menyimpan senjata apa pun. “Lalu, suara pistol siapa, tadi!?” tanya Paul dengan bersungut-sungut, tidak begitu mempercayai omongan Jeddy. “Suara pistol?” “Kurasa aku tidak mendengarnya!” “Aku juga!” “Apa kau mendengarnya?” “Tidak sama sekali.” “Lalu, mengapa dia mendengar suara pistol?” Sontak, karena suara Paul terdengar ke sepenjuru arena, membuat para penonton jadi ikut-ikutan bertanya-tanya perihal suara pistol yang didengarnya, dan mereka jadi saling memastikan pendengarannya satu sama lain, tapi semua orang sama sekali tidak mendengar suara tembakan apa pun. Sampai akhirnya, Paul sendirilah yang memucat. “Hah? Apa maksudnya itu? Jelas-jelas—“ Baru saja Paul berseru-seru, suara tembakan pistolnya terdengar lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Kali ini tiga tembakan yang didengarnya, dan itu sangat mengerikan saat sadar bahwa hanya Paul lah yang mendengarnya. “Hey Paul?” Tiba-tiba Isabella membuka matanya dan beranjak bangun dari posisi silanya dan berdiri tegap menghadap ke arah Paul dengan tersenyum senang. “Kau mendengar suara pistol, ya? Lalu, apa lagi? Apa kau mendengar suara-suara lain?” Mendadak, sebuah jeritan perempuan yang sangat kencang terdengar dari langit, membuat Paul secara refleks mendongakkan kepalanya ke atas, memandangi langit yang cerah. “JERITAN! AKU MENDENGAR SUARA JERITAN DARI LANGIT!” “Hah? Jeritan?” “Apaan, sih?” “Dia itu kenapa?” “Belakangan jadi semakin aneh, ya?” “Apa mungkin dia gila?” “Yah, bisa saja.” Mendengar suara-suara penonton yang meragukan omongannya bahkan sampai merendahkannya, membuat Paul jadi muak. “DIAM KALIAN SEMUA! JANGAN SAMPAI AKU JADI—“ Terdengar lagi suara tembakan-tembakan pistol yang berulang-ulang dan jeritan-jeritan menyeramkan dari langit, membuat Paul jadi menutup telinganya rapat-rapat dan menggigil ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD