Red - 56

2078 Words
Secara kompak, seluruh penonton bergemuruh heboh, menyoraki Paul yang telah mematahkan dua tangan Lizzie yang merupakan salah satu pahlawan bimbingannya di hadapan semua orang. Sangat brutal, kejam, dan mengerikan. Setiap mentor yang menonton pertandingan itu jadi meneguk ludahnya dalam keheningan, tidak menyangka Paul dengan gilanya menyakiti pahlawannya tanpa ampun sama sekali, gaya dan watak lelaki beringas itu tidak mirip dengan para mentor pada umumnya, sehingga mereka semua jadi merasa aneh menyaksikan mentor ganas yang berasal dari Madelta tersebut. “SIAPA SANGKA PAUL BAKAL MELAKUKAN ITU PADA PAHLAWANNYA SENDIRI,” Roswel kembali bersuara setelah dari tadi hanya menonton dalam diam. “BAGAIMANA MENURUT ANDA-ANDA SEKALIAN? APAKAH CARANYA TERLALU BERLEBIHAN? ATAU MEMANG SEHARUSNYA BEGITU? MARI KITA LIHAT APA YANG AKAN TERJADI SETELAH INSIDEN MENGERIKAN INI, MUNGKINKAH AKAN ADA AKSI BALAS DENDAM?” Roswel mengatakan itu sembari melirik ke arah Colin, menyindir lelaki berambut biru itu untuk segera melakukan sesuatu untuk dijadikan sebagai serangan balasan pada Sang Mentor, tapi sayangnya— Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, Colin memundurkan langkahnya. “Paul, kau sudah sangat berlebihan! Kau sudah gila! Mengapa kau melakukan hal sejahat itu pada pahlawanmu sendiri! Lagipula ini hanyalah sebuah permainan! HANYA SEBUAH PERMAINAN!” Lizzie langsung ambruk dengan mulut yang masih menjerit-jerit kesakitan, badannya meringkuk di permukaan tanah dengan air mata yang mengalir deras, tidak kuat merasakan rasa nyeri yang terus menggigit-gigit area tulang-tulangnya yang telah patah. “Sebuah permainan?” Setelah berhasil menumbangkan Lizzie, Paul mulai memfokuskan diri untuk memandangi Colin, melihat seberapa marahnya orang itu pada dirinya saat melihat pasangannya di hancurkan di depan matanya. “Kalau kau menganggap ini hanya sebuah permainan, maka kau akan mati, Colin Sialan.” Tegas Paul dengan menggertakkan gigi-giginya sekencang mungkin. “Seram sekaliiiiiiii!” Cherry memeluk badannya sendiri dengan dua tangannya saat menonton pertandingan Colin dan Lizzie melawan Paul yang semakin brutal setiap detiknya. “Kalau Paul tega melakukan itu pada Lizzie, itu artinya dia akan melakukan hal yang lebih kejam lagi pada kita nanti! Cherry jadi takut bertarung melawan Paul! Paul jahat sekali!” “Memang seperti itulah Paul,” jawab Abbas yang duduk di samping kanan Cherry, yang terhalang dua kursi. “Tapi kau tidak perlu takut, karena aku akan melindungimu.” “Yeay! Hihihi!” Mendengarnya, ketakutan Cherry jadi sirna dan gadis mungil itu kembali riang gembira. “Hati Cherry jadi tenang! Cherry memang beruntung bisa berpasangan dengan Abbas!” “Tapi tetap saja,” Isabella menimpali omongan Cherry dan Abbas dengan menghela napasnya sembari memijit-mijit keningnya. “Kita tidak bisa menghentikkan Paul saat dia sedang dalam mode liarnya. Paul itu seperti hewan buas yang bisa memangsa siapa saja yang membuat dirinya jengkel dan muak, tidak peduli siapa saja yang jadi lawannya. Jadi, kita harus berhati-hati agar kita tidak berakhir seperti Lizzie.” “KALAU KAU TERUS MENGHINDARIKU! AKU AKAN MEMATAHKAN TULANG-TULANGNYA LAGI! SAMPAI KAU MAU BERHADAPAN DENGANKU SECARA JANTAN!” ancam Paul dengan menampilkan seringaian jahatnya pada Colin yang gemetaran jauh di depannya. Tentu saja, mendengar ancaman yang dikatakan oleh Paul, membuat Colin jadi kesal, tapi di sisi lain dia tidak mau mendatangi mentornya karena ia masih bergidik ngeri jika harus berhadapan dengan orang sekejam Paul. “K-Kumohon, Paul! Bisakah kau tidak sekeras itu pada kami!? Kami tidak bisa bertanding dengan cara kejam seperti itu! Itu terlalu berlebihan! Kau tidak perlu sekejam itu pada kami, Paul! Ingatlah! Kami adalah pahlawan-pahlawan bimbinganmu! Kalau tulang-tulang kami dipatahkan, bagaimana cara kami berperan sebagai seorang pahlawan!? Kau membuat situasinya jadi semakin memburuk, Paul!” Sambil mengatakannya, Colin terus dan terus berjalan mundur, ingin pergi dari arena ini, meski nuraninya mengatakan tidak karena Lizzie masih terbaring di dekat Paul. Jika Colin meninggalkan pasangannya di dekat lawannya, itu bisa menyebabkan hal yang lebih mengerikan terjadi. Dan dugaan Colin benar, karena Paul langsung— “Baiklah! Aku tidak peduli kau mau berteriak-teriak terus seperti itu! Tapi yang jelas, jika kau tidak melakukan sesuatu, aku akan terus menghancurkan tulang-belulangnya sampai kau mau bergerak mendatangiku!” bentak Paul dengan terkekeh-kekeh dan langsung menginjak betis Lizzie yang tergeletak di dekatnya. “AAARGH! ITU SAKIT! BAJINGAAAAN!” Lizzie meronta-ronta, merasakan nyeri yang bergejolak di bagian betisnya yang baru saja ditekan dan diinjak oleh kaki Paul. “Bagaimana!? Kau masih mau diam saja melihat pasanganmu diperlakukan begini olehku, hah!?” Sembari mengatakan itu, Paul kembali menginjak Lizzie di bagian lehernya, lalu tertawa-tawa dan melakukan hal yang sama berulang-ulang kali di setiap area tubuh si gadis tomboi itu yang kini sedang terbaring lemas di permukaan tanah dengan kondisi dua lengannya melengkung ke posisi yang tidak wajar. Menggigit bibir bawahnya, Colin bersuara dengan nada yang bergetar. “P-Paul! K-Kumohon! J-Jangan melakukan itu! K-Kau bisa membuatnya kesakitan!” “Kalau begitu, datanglah padaku! Dan bertarunglah denganku di sini! Sebelum pasanganmu semakin hancur diinjak-injak oleh kaki-kakiku, Colin!” “Pertandingan yang barbar sekali,” cetus Lolita dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dia menyaksikan pertarungan mentor dan pahlawan yang jadi super kejam begitu. “Satunya kejam, satunya pemberontak, dan satunya lagi penakut. Tapi mereka punya kesamaan, yaitu sama-sama barbar saat melakukan pertarungan,” Lalu Lolita melirik ke arah Roswel yang juga menonton pertandingan ini dari atas tiang. “Sebenarnya apa yang dipikirkannya hingga membiarkan pertandingan kejam ini terus berlanjut? Padahal Sang Mentor sudah sangat keterlaluan. Si Roswel itu, dasar tidak berguna.” “Ya, aku setuju padamu, Lolita,” Kali ini Gissel sepaham dengan pelayan pendampingnya, dia mengangguk sembari matanya memandang ke tengah lapangan. “Jika aku yang bertanding di sana, aku tidak akan sejahat itu pada pahlawan-pahlawanku. Apalagi sampai mematahkan tulang-tulang pahlawanku, seperti yang tadi kau katakan, itu terlalu barbar dan berbahaya." Senang mendengar perkataan Gissel yang akhirnya satu pendapat dengannya, Lolita tersenyum. "Benar, kan? Nona?" Lolita terkikik-kikik dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika saya menjadi Roswel, saya pasti akan menghentikkan pertandingan ini karena berbahaya jika terus dilanjutkan, terutama ini menyangkut keselamatan seorang pahlawan. Sungguh, aku tidak mengerti bagaimana pikiran dari lelaki pucat itu sampai teganya membiarkan pertandingan barbar ini terus berlanjut." "Mungkin," sambung Gissel dengan menghela napasnya. "Dia sedang menunggu sampai ada yang benar-benar tewas di sana, agar pertandingannya resmi dihentikan." "Barbar sekali, ya, pemikirannya, Nona?" Lolita kembali terkikik-kikik sambil menikmati pertandingan tersebut. Sementara itu, di tengah lapangan, Colin sedang sangat gelisah dan kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, bagaimana cara agar ia bisa menghentikan kebrutalan Paul dan menyelamatkan Lizzie. Pikirannya benar-benar buntu. Colin tidak bisa memikirkan hal lain selain ngeri dan ketakutan. "J-JANGAN PEDULIKAN AKU! KAU KALAHKAN SAJA SI b******n INI, COLIN!" Mendadak Lizzie berteriak, mengatakan itu pada Colin agar lelaki berambut biru itu melakukan sesuatu. "KAU HARUS MEMBUAT KITA MENANG! JANGAN BIARKAN DIA SEENAKNYA MENGUASAI PERTANDINGAN, COLIIIIIIIIN!" Baru saja bilang begitu, mulut Lizzie langsung ditendang oleh Paul hingga lecet dan berdarah-darah, membuat si gadis tomboi tidak mampu untuk mengeluarkan teriakannya lagi selain mengerang-gerang dalam penderitaan yang menyakitkan. "Jangan banyak omong kau!" bentak Paul sambil menendang-nendang mulut Lizzie yang tidak mau diam. "Gadis lemah sepertimu tidak berhak berbicara sekeras itu di sini, b******k!" "Aku tidak kuat melihat Lizzie diperlakukan sekejam itu oleh Paul," Victor merengut dengan ngeri, menyaksikan kelakuan brutal yang dilakukan oleh mentornya. "Semoga aku bisa melindungi Koko jika giliran kami telah tiba, aku tidak mau melihat pasanganku diinjak-injak begitu oleh Paul." Sontak, Koko merasa tersinggung mendengarnya. "Victor, tolong jangan berbicara begitu," kata Koko dengan suara lembutnya yang begitu halus. "Kamu tidak perlu melindungiku, karena aku bisa melindungi diriku sendiri." "Tidak, Koko!" Entah kenapa, kali ini Victor tidak mau mematuhi permintaan Koko dan jadi keras kepala. "Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu!" "Tidak, Victor," Koko menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak memerlukan perlindungan darimu." "Walaupun begitu, aku akan tetap melindungimu!" seru Victor dengan mata yang terbuka lebar, menunjukkan keseriusannya yang membara di setiap bola matanya. "Aku. Akan. Melindungimu. Apa pun yang terjadi." tekan Victor disetiap kata yang diucapkannya. Akhirnya Koko menyerah dan menundukkan kepalanya, membuat untaian-untaian ungunya berjatuhan ke pangkuannya. "Kalau begitu, terima kasih, Victor." "Kalian ini berisik sekali," ucap Nico, yang melirik ke arah Victor dan Koko. "Lihatlah ke depan, jangan sampai kalian melewatkan sesuatu yang menarik di lapangan, bodoh." "B-b******k!" Kini, di tengah lapangan, tubuh Paul tergantung di tangan kanan Colin, karena lehernya sedang dicekik kencang oleh si pelayan kedai itu hingga dua kakinya tidak menapaki tanah. Namun, meskipun tubuhnya sedang berada di genggaman Colin, Paul masih bisa mengeluarkan suaranya yang meraung-raung, dan dibarengi dengan badannya yang mulai memberontak. "JANGAN KIRA KAU BISA MENANG HANYA KARENA MENCEKIK LEHERKU, COLIN SIALAN!" "Diamlah, Paul!" Cekikannya semakin kuat, Colin benar-benar marah terhadap mentornya sendiri karena jengkel melihat Lizzie ditendang-tendang sebegitu parahnya. "Seharusnya kau menyadari kesalahanmu! Aku melakukan ini bukan untuk membuatmu kesakitan! Aku hanya ingin membuatmu sadar bahwa yang tadi kau lakukan, bukanlah tindakan yang benar!" "JANGAN MENCERAMAHIKU, k*****t!" Tidak terima dinasehati oleh Colin disaat lehernya sedang dicekik, Paul jadi memberingas tak mau diam. "AKU TIDAK MAU DICERAMAHI OLEH PECUNDANG SEPERTIMU!" Seketika kelopak mata Colin membulat, matanya jadi melotot sangat lebar, bahkan bola-bola matanya nyaris keluar. "Aku bukan pecundang." Semakin kuat dan kuat, leher Paul jadi memerah, darahnya menggumpal-gumpal sangat tebal di area kerongkongannya. Warna merahnya jadi menyebar ke seluruh wajah Paul, membuat kepala Sang Mentor jadi merasa pening dan mabuk, hingga mendadak, ia tidak bisa menahan rasa pusingnya dan akhirnya memuntahkan semua yang ada di dalam kerongkongannya tepat ke muka Colin yang kebetulan ada di hadapannya, masih sedang mencekik lehernya. Semua penonton tersentak menyaksikannya, ada yang jijik, ada yang kaget, ada pula yang terkagum melihat seluruh tubuh Colin jadi tertimpa muntahan dari Paul, membuat sekujur badannya jadi dilumuri oleh warna merah, yang merupakan darah, dan hijau, yang tidak lain adalah muntah-muntahnya Sang Mentor. "Ewwww." "Menjijikan sekali." "Aku jadi ingin mandi melihatnya." "Bukankah itu terlalu..." "Jangan melihatnya, sayang!" "Aku jadi mual." "Bisakah kita ke toilet dulu?" "Ya ampun..." Satu-persatu dari para penonton bergidik ngeri dan jijik menonton kondisi badan Colin yang diselimuti oleh air muntahan dari lawannya. Para pahlawan Madelta yang juga menyaksikan kejadian itu pun, tak henti-hentinya terkaget melihat salah satu temannya tertimpa muntahan dari Sang Mentor, mereka tidak menyangka kalau pertandingan ini bisa semenjijikan itu. "Semoga pertandingan kita tidak seperti itu, ya, Jeddy?" tepuk Isabella pada Jeddy yang duduk di dekatnya, yang juga merupakan pasangannya dalam pertandingan selanjutnya. "Hahahaha!" Jeddy terbahak-bahak dan menjawab omongan Isabella. "Tenang saja, kalau pun Paul bakal muntah, dia pasti bakal memuntahiku! Hahahahaha!" Isabella mencibir dengan bosan. "Aku tidak mau kau juga terkena hal seperti itu, Jeddy." "Tapi, bukankah itu gawat!?" Tiba-tiba Naomi melengking dari bangkunya, membuat semua temannya jadi menoleh ke arah si gadis berkerudung itu. "Maksudku, lihatlah Paul! Wajahnya sudah sangat memerah! Jika dia masih terus dicekik seperti itu, dia bisa tewas!" "Eh?" Cherry terkaget. "Kita harus meminta Roswel untuk cepat-cepat menghentikkan pertandingan ini!" pekik Naomi dengan ekspresi yang sangat serius. "Jangan sampai kita biarkan Colin tidak sengaja membunuh Paul!" "Kau terlalu berisik, Naomi," Nico langsung angkat suara dengan menekan kaca matanya yang berkilat. "Tidak ada yang bakal tewas di setiap pertandingan, karena di sini kita dikelilingi oleh orang-orang sakti. Tewasnya Paul pun, tidak berarti apa-apa karena dia pasti langsung disembuhkan oleh Roswel atau orang-orang sakti lainnya. Mengingat Paul berperan sebagai lawan kita di setiap pertandingan, tidak mungkin dia tewas begitu saja hanya dalam sekali pertandingan, bukan?" Menentang pendapat Nico, Naomi langsung menimpalinya. "Ya, saya mengerti itu! Paul pasti bakal dibangkitkan dari kematiannya kalau pun dia tewas dalam sebuah pertandingan! Tapi, apakah kita terus membiarkan dia seperti itu tiap kali melakukan pertandingan!? Meski dia bakal disembuhkan dan dibangkitkan kembali! Bukan berarti rasa sakit yang saat ini dirasakannya, adalah hal yang wajar! Jangan biarkan Paul atau siapa pun itu, merasakan rasa sakit yang membuat dirinya bisa mati! Karena itu pasti sangat menyakitkan!" "Sudah kubilang, kan?" Nico bangkit dari kursinya, berdiri dengan menatap tajam wajah Naomi. "Kita tidak perlu ikut campur pada pertandingan mereka!" "Kita harus ikut campur jika pertandingannya dapat membahayakan nyawa seseorang!" teriak Naomi pada Nico dengan wajah yang menindas. "Kau sebaiknya diam saja, Naomi!" bentak Nico yang sangat kesal pada gadis berkerudung itu. "Anda lah yang seharusnya diam, Nico!" balas Noami, tidak kalah kerasnya dari si lelaki berkaca mata itu. "Hey? Ayolah? Jangan--" baru saja Isabella hendak melerai pertengkaran antara Nico dan Naomi, suara terompet tiba-tiba terdengar sangat kencang, menandakan pertandingan telah usai. Semua penonton langsung bergemuruh gembira karena di lapangan, hanya Colin seorang lah yang berdiri tegak di sana, dengan mengangkat satu tangannya ke udara, menunjukkan bahwa dialah pemenangnya. Paul dan Lizzie tergeletak lemas di permukaan tanah, mereka berdua sudah tidak punya tenaga untuk sekedar bangun dan berdiri, tapi kesadaran mereka masih aktif, dan dua orang itu diam-diam tersenyum bangga mendengar Colin diberikan tepukan tangan yang meriah oleh seluruh penonton di arena pertandingan. Paul dan Lizzie benar-benar bangga melihat punggung Colin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD