Red - 45

1714 Words
MINERVO 204 Menahan amukannya sejenak, Paul mengambil napas banyak dan dihembuskan secara perlahan, dia benar-benar mudah sekali meledak jika sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi, apalagi ini menyangkut sepuluh nyawa dari orang-orang yang sangat berharga baginya, tentu saja ia tidak bisa diam. Masih berada di tempat penghukuman Para Pelayan Pendamping yang ruangannya menyerupai studio patung karena banyak sekali kepingan-kepingan patung yang berceceran di lantai, Paul mencoba mengamati gelagat Roswel yang ada di depannya, sedang berdiri sambil tersenyum tipis padanya, setelah sebelumnya ia sempat menghajar si pria berwajah pucat itu sebelum aksinya berakhir gagal karena berhasil ditahan oleh satu jari telunjuk Roswel. “Maaf, Tuan,” ucap Roswel dengan tersenyum manis pada Paul. “Anda tidak boleh melakukan kekerasan pada pelayan pendamping Anda sendiri. Lagipula, saya belum tuntas menjelaskan keberadaan murid-murid Anda, jadi tahan amarah Anda sejenak dan dengarkan baik-baik perkataan saya, Tuan.” Paul mendecih jengkel. “Kalau begitu, katakan langsung pada intinya!” Hening sejenak, sebelum akhirnya Roswel kembali melanjutkan penjelasannya dengan nada yang lembut dan menenangkan. “Memang benar, sebelumnya saya bilang penglihatan saya tidak dapat menemukan keberadaan mereka di lautan, tapi sepertinya saya melewatkan suatu area yang kemungkinan terkunjungi oleh mereka karena mau bagaimana pun pasti akan selalu ada kemungkinan mereka tidak sengaja menyentuh dan masuk ke area terlarang itu, Tuan.” “Sudah kubilang, katakan langsung pada intinya!” Paul benar-benar muak mendengar segala celotehan Roswel yang selalu berbelit-belit dalam menyampaikan sesuatu, baginya itu cuma buang-buang waktu dan sangat menyebalkan. Apalagi pembahasannya menyangkut nyawa sepuluh pahlawan bimbingannya, tentu saja Paul ingin mendengar keadaan mereka sambil berharap mereka baik-baik saja. Senyuman Roswel jadi tersungging semakin tipis sebelum akhirnya lelaki pucat berjubah hitam itu mulai membuka mulutnya. “Yang saya maksud adalah Zona Laut Mati, Tuan.” Mengerutkan kening dan dua alisnya, Paul terkejut dan kebingungan di saat yang bersamaan, ia tidak begitu mengerti apa yang disebutkan oleh Roswel dengan nama ‘zona laut mati’ tapi dari namanya saja itu terdengar menyeramkan. Sebetulnya Paul tidak mau berasumsi buruk, tapi tetap saja rasa khawatirnya jadi semakin menjadi setelah mendengar nama itu, seakan-akan ia baru saja mendengar lonceng kematian yang baru saja dibunyikan. Ini sangat buruk jika sesuatu terjadi pada sepuluh orang itu karena Paul memiliki tanggung jawab penuh dalam membimbing dan mendidik mereka menjadi pahlawan sejati, jika mereka gagal dan tewas di tengah laut, tidak ada yang bisa dilakukannya selain meratapi kesedihan dan kegagalannya secara bersamaan karena telah ditinggalkan oleh sepuluh orang itu serta tidak mampu mengemban tugas sebagai mentor. “Apa itu Zona Laut Mati!? Jelaskan padaku, sekarang!” Napasnya terasa menderu lebih kencang dari sebelumnya, Paul kelihatan gusar dan ketakutan, keringatnya bercucuran membasahi wajah dan lehernya, begitu pula seluruh badannya sehingga pakaian yang dikenakannya jadi tampak basah kuyup seperti tertimpa rintikan air hujan yang deras. “Zona Laut Mati, atau biasa disebut sebagai Kawasan Maut, adalah salah satu wilayah yang memiliki kandungan air yang cukup berbahaya sehingga tidak ada satu pun makhluk hidup yang dapat bertahan di daerah itu. Bukan hanya itu, Kawasan Maut juga selalu dikelilingi oleh bencana yang mematikan, kemungkinannya sangat rendah untuk sekelompok manusia bisa bertahan hidup di sana sebab tekanannya terlalu tinggi, bahkan saya saja tidak mau mengunjungi daerah itu, mengingat tingkat bahayanya yang besar.” Sudah dipastikan kalau sekarang perasaan Paul tengah gundah gulana layaknya seseorang yang mendengar kematian anggota keluarganya, itu benar-benar membuatnya jatuh ke dalam lubang kehampaan dan kengerian. Sungguh, Paul lebih baik mati jika harus mendengar sepuluh orang itu tewas di tengah laut, dia tidak mau hal mengerikan apa pun menimpa mereka. Ini adalah kecemasan dari seorang mentor yang menyayangi pahlawan-pahlawannya. “Lalu, mengapa kau diam saja di sini?” Paul mengepal dua lengannya, dua kelopak matanya ditutup dengan hening, giginya bergelemetuk dengan diiringi deruan napasnya yang kian meningkat. “Kenapa kau cuma menjelaskan itu padaku sambil tersenyum tanpa sedikit pun pergi ke zona sialan itu untuk membantu mereka?” Menggeleng-gelengkan kepalanya, Paul tidak sangka Pelayan Pendampingnya tidak mempedulikan para pahlawannya, bahkan Roswel kelihatannya sama sekali tidak memikirkan itu. “Jika kau keberatan melakukannya, maka aku saja yang pergi, tapi kau harus mengirimkanku ke sana, aku ingin menghajar wajah mereka semua sebelum mereka tewas di sana. Jadi cepatlah,” Perlahan-lahan, kelopak mata Paul terbuka, menampilkan warna hitam dari bola matanya yang terlihat kosong. “LEMPARKAN AKU KE SANA!” Terkaget dengan teriakan itu, Roswel menghela napasnya. “Tidak, Tuan,” jawabnya dengan menatap tenang sorot mata Paul yang terkesan kosong dan hampa. “Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Anda tidak diperbolehkan mencampuri urusan mereka lagi. Biarkan mereka menghadapinya sendiri secara mandiri, sebab seorang pahlawan harus selalu kuat pada setiap tekanan dan kesulitan. Ini juga akan menjadi pengalaman bagus untuk—“ “Berhentilah mengoceh dan lemparkan saja aku ke sana, b******k!” Tidak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi, akhirnya Paul meledak lagi, meskipun kali ini dia cuma berteriak sambil berdiri hening, tidak melakukan upaya kekerasan lagi terhadap Pelayan Pendampingnya. Namun, dari ekspresinya, emosi Paul lebih dalam dari sebelumnya, bahkan suaranya jadi sangat pilu dari biasanya. “Saya tidak bisa melakukannya, Tuan.” “Mengapa?” “Karena ini diluar kesepakatan, jika saya melakukannya, saya bisa membuat Sang Penguasa marah dan itu bisa mempengaruhi keberhasilan sepuluh pahlawan.” Tidak ada harapan. Itulah yang Paul rasakan saat mendengar perkataan Roswel yang terkesan seperti anjing yang patuh pada majikannya, ia tidak bisa mengandalkan keselamatan sepuluh pahlawan pada pria pucat itu. Satu-satunya cara hanyalah tergantung pada bagaimana Paul mengambil keputusan dan tindakan, tapi saat ini ia tidak bisa sembarangan bertindak karena Roswel masih ada tepat di hadapannya, kalau ia mendadak kabur dari istana ini, pasti akan dihadang oleh pria sakti itu, bahkan kemungkinan terburuknya, seluruh pelayan pendamping yang ada di istana ini bakal mengepungnya. Ini benar-benar membingungkan. Tanpa disadari, Paul menjatuhkan dua lututnya ke lantai, wajahnya terlihat sangat bimbang, matanya meredup, kelopak matanya menggantung di bagian tengah bola mata, bibirnya melengkung ke bawah, badannya jadi tampak begitu lemas, dan deruan napasnya terasa lebih lambat dari sebelumnya, seolah-olah seperti orang yang telah menyerah menghadapi rumitnya kehidupan. Memandanginya dari depan, tentu saja Roswel terheran melihat tingkah Paul yang tampak sangat menyedihkan, membuatnya jadi sedikit merasa bersalah, tapi ia tidak bisa membantu mentornya lebih dari ini karena sekarang kondisinya sangat berbeda dari biasanya. Sebenarnya Roswel bisa saja melanggar peraturan dan membantu Paul untuk menyelamatkan sepuluh pahlawannya di tengah laut, tapi dia tidak mau melakukan itu karena efeknya bisa menyebabkan Sang Penguasa menilai bahwa mereka semua, termasuk juga dirinya, gagal mengemban tugas dan perannya masing-masing sebagai pelayan pendamping, mentor, dan juga pahlawan. Apalagi Sang Penguasa sangat menjunjung tinggi ‘kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan’. Jika Roswel melanggar perjanjian untuk mengabulkan permintaan Paul, itu sama saja dia berkhianat pada tiga kata junjungan yang Sang Penguasa buat. “Saya paham perasaan Anda, Tuan,” ucap Roswel, memecahkan keheningan yang menusuk relung, membuat Paul dalam sekejap terbangun kembali dari keterpurukannya. “Saya sangat mengerti pada apa yang Anda rasakan dan pikirkan. Namun, saya tidak bisa melakukannya, meski sejujurnya saya ingin sekali melakukannya. Maka sebaik-baiknya tindakan kita di sini hanyalah mempercayakan semuanya pada mereka.” Roswel berjalan mendekat dan mendaratkan dua telapak tangannya di dua bahu Paul yang begitu lemas. Sambil tersenyum dan menatap mata mentornya, Roswel melanjutkan perkataannya, “Percayalah, mereka tidak selemah yang Anda pikirkan, Tuan.” Entah kenapa, setelah mendengar nasehat dari Roswel,segala kegelisahan, kebimbangan, kekhawatiran, kecemasan, dan keraguan, lenyap begitu saja secara perlahan, seperti desiran ombak yang mulai surut dari tepi pantai, membuat perasaan Paul—walau hanya sedikit—bisa merasakan kepercayaan yang kuat terhadap sepuluh orang yang sedang berjuang di luar sana. Tertatih-tatih, Paul mengangkat kembali dengkulnya untuk berdiri tegak, memandang Roswel dan menghela napas lega. “Padahal sebentar lagi aku nyaris terpuruk seperti seorang pengecut, tapi kau malah menyiramiku dengan perkataan tololmu itu, dasar brengsek.” Meskipun omongannya terdengar kasar, bibir Paul tampak menyunggingkan senyuman tipis. Sepertinya, Paul tidak lagi mengkhawatirkan mereka dan mencoba untuk mempercayakan nyawa sepuluh orang itu pada masing-masing diri mereka, sebab ia tahu mereka tidak selemah yang dipikirkannya. “Syukurlah,” Roswel senang melihat Paul telah kembali ceria seperti sedia kala.”Kalau begitu, mari kita—“ Baru saja Roswel hendak mengajak Paul mengunjungi ruangan lain di istana ini, tiba-tiba saja pria pucat itu jadi terdiam sembari mendongakkan kepalanya ke langit-langit. “Dengungan ini. Sepertinya memang sudah waktunya,” Mendadak Roswel kembali menurunkan dagunya dan memandangi wujud Paul yang berdiri di depannya. “Maaf, Tuan. Saya baru saja mendengar dengungan di telinga saya, itu adalah tanda Sang Penguasa memanggil para pelayannya agar segera berkumpul di hadapannya. Saya harus pergi sekarang, Anda tidak perlu khawatir, jika Anda ingin keluar dan berjalan-jalan, Anda bisa melakukannya dari pintu itu,” Roswel menunjuk pintu besi yang ada di pojok sebelah kanan dari ruangan ini. “Maaf karena tidak bisa menemani Anda, Tuan. Kalau begitu, saya permisi.” Asap hitam yang lumayan tebal mulai mengerubungi seluruh tubuh Roswel hingga akhirnya wujudnya menghilang begitu saja dari hadapan Paul, begitu juga dengan sisa-sisa asapnya. Setelah Roswel lenyap dari pandangannya, Paul hanya memiringkan kepalanya dan berkata, “Hah?” Dua alisnya jadi berkedut secara berbarengan. “Mengapa bisa begitu, b******k!?” Membuang amarahnya, Paul hanya bisa pasrah dan mulai menuruti omongan Roswel untuk berjalan-jalan sendirian. Keluar dari ruangan patung melalui pintu besi yang ditunjukkkan Roswel, Paul dikejutkan dengan lorong panjang yang basah dan minim cahaya. “Entahlah, aku merasa tempat ini penuh dengan misteri. Meski Roswel bilang ini adalah sebuah istana, tapi kupikir tempat ini sama sekali tidak menggambarkan perwujudan dari istana, malah sebaliknya.” Tidak mau mengungkapkannya pemikirannya lebih jauh, Paul memilih membungkam mulutnya dan mulai berjalan menyusuri lorong panjang itu sendirian. Lantainya basah dipenuhi dengan genangan air, rasanya seperti kau melangkah di ubin kamamr mandi. Tiap langkahnya menimbulkan suara gemericik yang khas, ditambah ruangannya yang minim cahaya, Paul tidak bisa melihat apa-apa selain sedikit sinar yang terpendar dari ujung lorong. “Aku harap mereka tidak mati di tengah laut,” gumam Paul ketika otaknya kembali mengingat wajah-wajah dari sepuluh pahlawan bimbingannya. “Semoga saja mereka bisa datang kemari dengan jumlah yang lengkap, aku tidak ingin salah satu dari mereka hilang.” Saat Paul sedang berjalan hening sambil berbicara sendiri, tiba-tiba dia merasakan hawa kehadiran seseorang di belakangnya yang cukup kuat. “Hey kau,” ucap suara misterius itu dari belakang, membuat Paul secara refleks menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD