Red - 33

1487 Words
Sadar tinggal dirinya yang belum maju memperkenalkan diri ke hadapan Sang Penguasa, Abbas hanya menghela napas sebelum akhirnya mengangkat kakinya untuk melangkah, mendatangi anak kecil itu yang menyebut dirinya sebagai Sang Penguasa. Menampilkan wajahnya yang begitu datar, Abbas memandangi wujud Sang Penguasa dalam hening, lalu dia pun mulai mengeluarkan suara beratnya yang begitu halus. "Aku Abbas Jorell," kata Abbas dengan menghembus napasnya, tampak berusaha menyunggingkan senyuman tipis pada Sang Penguasa. "Aku orang yang pasif dan jarang berbicara, jadi aku minta maaf jika aku tidak bisa berlama-lama berdiri seperti ini di depan Anda." "Ya, tidak apa-apa," timpal Sang Penguasa dengan memberikan senyuman hangatnya pada Abbas. "Jangan terlalu dipikirkan, aku juga kadang malas berbicara, jadi itu bukan hal yang patut dipertanyakan, Abbas Jorell." Setuju pada opini yang dikemukakan oleh Sang Penguasa, Abbas menganggukkan kepalanya. "Ya, terima kasih." Abbas lega karena Sang Penguasa tampaknya bisa mengerti pada keadaannya. Kembalinya Abbas ke posisinya bersama teman-temannya yang lain, telah mengakhiri sesi perkenalan diri dari para pahlawan, membuat Sang Penguasa jadi merasa puas karena telah mengetahui dan mengenali nama-nama dari anak-anak remaja yang berdiri di depannya. Masing-masing dari mereka memiliki perbedaan dan ciri khasnya sendiri, itu sangat unik dan fantastis. Jarang sekali Sang Penguasa bertemu dengan kelompok pahlawan yang sepuluh anggotanya memiliki gaya dan watak yang berbeda-beda, bahkan bisa saling berlawanan. Sungguh, itu benar-benar menakjubkan. Sebab, dari semua kelompok pahlawan generasi baru yang kemarin ia temui, tidak ada satu pun kelompok yang masing-masing dari anggotanya punya perbedaan dan keunikannya sendiri. Kebanyakan dari mereka lebih tampak sama dan seragam, entah itu penampilannya, sikapnya, bahkan tujuannya menjadi seorang pahlawan. Dan, yah, berbicara soal tujuan, Sang Penguasa sedikit penasaran akan seperti apa sepuluh anak yang ada di hadapannya ini dalam menggapai tujuannya masing-masing. Dan juga, bagaimana caranya agar mereka bisa saling terkoneksi dan berkomunikasi karena dari yang ia lihat, ada beberapa anak yang kelihatannya keras kepala dan sulit diatur. Tapi sepertinya ia tidak perlu berlebihan memikirkannya, sebab mentor yang membimbing mereka adalah Paul Cozelario, yang merupakan perwujudan dari segala emosi negatif manusia. Kemarahan, kekecewaan, kekerasan, kedengkian, dan kesengsaraan. Semua itu hadir di dalam diri Paul, dan Sang Penguasa tahu bahwa lelaki berambut hitam dan berwajah galak itu mampu membimbing sepuluh pahlawannya dengan benar, meski cara pembimbingannya, mungkin agak sedikit kasar, mengingat kepribadian dari Sang Mentor cukup buas. "Senang rasanya bisa mengenali kalian dengan nama-nama yang tadi kalian sebutkan, itu sangat indah dan menghangatkan. Nama-nama yang kalian sebutkan adalah nama dari pemberian orang tua kalian, yang artinya itu merupakan wujud dari kasih sayang orang tua kalian yang telah membesarkan kalian,” kata Sang Penguasa dengan sedikit kaget karena ada beberapa anak yang jadi termenung. “Tapi nama kalian juga bukan hanya sekedar penggambaran dari kasih sayang orang tua, itu juga termasuk dari salah satu takdir kalian sebagai manusia yang harus bertahan hidup dengan nama pemberian tersebut. Tentu, kalian bisa menggantinya sesuka hati dengan nama-nama lain yang kalian suka, tapi apa pun itu, sama sekali tidak mengubah inti dari diri kalian. Sejauh ini, paham?” Terlalu rumit dan membosankan, itulah yang dipikirkan oleh Lizzie. Sementara teman-temannya yang lain hanya mengangguk paham dengan santai, meski beberapa dari mereka tidak begitu memperhatikan makna dibalik perkataan dari Sang Penguasa karena mereka sudah tidak sabar ingin menuju pokok dari pertemuan ini. Pokok yang dimaksud, tentu saja adalah alasan dari Sang Penguasa menemui mereka, mereka benar-benar ingin mengetahuinya dan penasaran pada apa yang akan mereka hadapi nantinya. “Oke, sekarang, mari kita mulai fokus pada apa yang mau kusampaikan pada kalian semua, termasuk juga pada dirimu,” Sang Penguasa menolehkan kepalanya ke samping kanan, melirik Paul yang berdiri di sana. “Jadi, lebih bagus kalau kamu ikut bergabung bersama mereka, Paul Cozelario.” “Baik.” Jawab Paul, yang kemudian berjalan mendekat dan berdiri bersama para pahlawan bimbingannya. Mentornya datang mendekat, masing-masing dari sepuluh pahlawan terlihat gembira karena Paul akhirnya tidak lagi berdiri di depan mereka, melainkan berdiri di samping mereka, yang membuat suasananya jadi hangat dan menyenangkan. Rasanya seperti ditemani oleh seorang penjaga dan pelindung yang baik hati, itulah yang membuat mereka merasa nyaman berada di dekat Paul, meskipun Sang Mentor memiliki watak yang cukup mengerikan. “Tidak ada lagi yang perlu kalian khawatirkan jika kalian sudah berada di istana ini, karena di sini adalah tempat yang aman. Sebab, istana ini juga merupakan rumah kalian, kalian dapat melakukan segala hal di sini, tidak apa-apa, bersenang-senanglah selama itu tidak menyakiti siapa pun. Istana ini selalu terbuka untuk orang-orang terpilih seperti kalian,” jelas Sang Penguasa, membuat sepuluh pahlawan, dan juga Paul, jadi tersentuh mendengar perkataan anak kecil itu. “Lalu, ada satu hal yang perlu kalian ketahui tentang nilai dari seorang pahlawan. Yaitu adalah tujuan. Ya, tujuan sangat penting untuk mereka yang terpilih dan bersedia menjadi seorang pahlawan. Tanpa tujuan, kalian akan merasa hampa. Tidak masalah jika tujuan yang kalian inginkan hanyalah hal sepele atau mungkin hal yang terlalu besar sampai orang-orang mengira terlalu mustahil untuk diwujudkan. Tidak apa-apa, itu sama sekali bukan masalah. Seperti yang tadi kuucapkan, tanpa tujuan, seorang pahlawan akan merasa hampa. Apa pun yang dilakukannya terasa sia-sia dan membosankan. Tapi, jika seorang pahlawan telah menetapkan tujuan di benaknya, dia akan merasa bersemangat dan berenergi dalam menjalani perannya sebagai pahlawan. Tujuan itu sangat penting dan harus kalian tentukan dari sekarang. Jadi, pertanyaannya adalah, apa tujuan kalian menjadi seorang pahlawan? Tolong jelaskan sesingkat mungkin, bisa?” Mengangguk secara serentak, para pahlawan bimbingan Paul langsung bersedia untuk mengungkapkan tujuannya masing-masing pada Sang Penguasa, yang juga akan didengarkan oleh Roswel dan Sang Mentor. “Tujuanku adalah ingin menyetarakan derajat perempuan di dunia!” seru Lizzie dengan mata yang melotot. “Tujuanku ingin membuat semua agama dan kepercayaan di dunia saling merangkul dan damai!” pekik Naomi dengan napas yang terengah-engah. “Tujuanku yaitu membuat orang-orang tertawa berbahagia setiap harinya agar tidak ada lagi kesedihan dan penderitaan di dunia ini!” Jeddy tersenyum cerah saat mengatakannya. “Tujuan Cherry adalah ingin menciptakan bumi yang bersih dari sampah!” jerit Cherry dengan melompat-lompat. “Tujuanku ya? Hmmm, mungkin ingin memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.” ucap Isabella dengan mengedikkan bahunya, tampak tak mau ambil pusing. “Tujuanku ingin membuat kakakku bangga melihatku menjadi seorang pahlawan!” teriak Victor dengan suaranya yang menggelora. “Aku… tujuanku cuma ingin membuat orang-orang minoritas tidak diibenci hanya karena berbeda orientasi seksual, identitas gender, ras, warna kulit, dan hal-hal lainnya.” Gumam Koko dengan sedikit malu-malu. “Aku ingin membuktikan pada keluargaku bahwa aku ini bernilai.” kata Colin dengan tersenyum tipis. “Simpel. Tujuanku ingin mendapatkan segala pengetahuan dari berbagai hal di dunia ini.” celoteh Nico sembari menekan kaca matanya yang hampir melorot. “Tujuanku adalah ingin melindungi kalian semua.” Abbas bilang begitu sambil memasang wajah datar. Selesai mendengar tujuan-tujuan yang diungkapkan oleh sepuluh pahlawan, Sang Penguasa dan Roswel menepuk-nepuk tangannya, antusias memberikan penghargaan kepada mereka karena telah berani mengungkapkan tujuannya masing-masing menjadi seorang pahlawan. Sedangkan Paul hanya terdiam jengkel mendengar tujuan-tujuan yang diucapkan oleh murid-muridnya, sebab semua tujuan yang mereka lontarkan benar-benar tidak penting dan tidak berguna. Seharusnya mereka memiliki tujuan yang lebih besar dari itu, seperti contohnya ingin membantai orang-orang jahat atau membombardir organisasi kriminal, hal-hal liar seperti itulah yang ingin Paul dengar dari mulut-mulut mereka, tapi terserahlah, toh itu bukan urusannya. Peran Paul di sini hanyalah sebagai seorang mentor, yang tugasnya hanyalah membimbing dan mengajarkan mereka untuk menjadi pahlawan sejati yang berguna bagi masyarakat. Ya, cuma itu. “Aku sangat kagum mendengar tujuan-tujuan yang kalian ungkapkan,” lirih Sang Penguasa dengan matanya yang membulat dan senyumannya yang melebar. “Kalian memang bukan anak-anak sembarangan. Tidak salah roh kunang-kunang memilih kalian, ternyata kalian memang orang-orang yang sangat menarik. Selain itu,” Seketika Sang Penguasa menggeserkan bola matanya ke arah Paul, melirik ke sosok Sang Mentor yang masih terdiam seperti patung. “… aku sangat berterima kasih pada Paul Cozelario, karena kamu sudah berhasil mengumpulkan mereka semua. Aku tahu perjuanganmu pasti tidak mudah, mengingat mereka semua tinggal di kota yang berbeda-beda dan juga memiiki masalah dan kehidupan yang berbeda-beda, pasti sangat sulit untuk mengumpulkan mereka. Tapi sekarang, lihatlah? Kamu sudah berhasil mengumpulkan mereka semua. Aku yakin, mereka bersepuluh juga senang karena dibimbing oleh seorang mentor yang kuat dan tangguh sepertimu. Dan seperti yang sudah dijanjikan, kamu akan mendapatkan hadiah dan keistimewaan-keistimewaan yang setimpal atas perjuanganmu selama ini, Paul Cozelario.” “Hadiah?” Lizzie mengernyitkan alisnya sambil melirik ke muka Paul. “Ya,” Sang Penguasa menjawab ketidakpahaman Lizzie terkait hal yang diucapkannya.”Mentor kalian akan aku beri hadiah dan segala keistimewaan yang luar biasa untuk membayar semua jerih payah dan usahanya hingga berada di titik ini. Tidak semua orang bisa dan mampu melakukannya, dan Paul telah membuktikan kepadaku bahwa dia pantas mendapatkan semua hadiah dan keistimewaan-keistimewaan yang akan kuberikan.” Paul sangat senang mendengarnya, meski rasa senangnya tidak ditunjukkannya secara gamblang. Saat ini, Paul hanya memandangi wajah Sang Penguasa dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih atas segala pujian Anda.” ucap Paul dengan berusaha sesopan mungkin saat berbicara dengan Sang Penguasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD