Hari itu Alika mengajakku makan siang di sebuah café dekat kampus. Katanya, ia ingin bicara serius. Aku mengangguk, walau perasaanku sudah tak enak sejak semalam.
Kami duduk di sudut café. Alika menatapku lama, lalu menyentuh sedotan minumannya berulang kali.
“Key,” katanya akhirnya. “Aku mau nanya sesuatu... dan aku harap kamu jujur.”
Aku menggigit bibir. “Tentang apa?”
“Ayahku.”
Jantungku mencelos. “Kenapa?”
“Ada yang beda. Aku bisa lihat dari cara dia bersikap akhir-akhir ini. Dia lebih diam. Lebih mudah marah. Dan... setiap kamu datang ke rumah, dia tiba-tiba menghilang.”
Aku menunduk, pura-pura mengaduk minuman.
Alika melanjutkan, “Kamu punya hubungan apa sama ayahku, Key?”
Pertanyaan itu menamparku lebih keras dari apa pun yang pernah kudengar. Tapi aku mencoba tetap tenang.
“Nggak ada,” jawabku cepat. “Om Raditya cuma... ya, ayah kamu. Aku segan, itu aja.”
Alika mempersempit matanya, tidak percaya. “Kamu yakin?”
Aku mengangguk. Tapi dalam hati, aku tahu—ini hanya awal dari sesuatu yang bisa meledak kapan saja.
Malam harinya, aku berdiri lagi di balkon rumah. Kali ini tak ada pesan, tak ada suara. Hanya keheningan yang memeluk erat.
Tapi aku tahu... seseorang telah mencium rahasia ini. Dan aku tak yakin, sekuat apa aku bisa bertahan setelah ini.
Di tempat lain, Raditya duduk di ruang kerjanya sendirian. Ada segelas whisky di tangannya, dan pikirannya dipenuhi oleh satu nama.
Keyla.
Dia tahu semuanya tak bisa dibiarkan terlalu lama. Tapi rasa itu... terlalu dalam untuk dicabut paksa.
Dan ia sadar, kalau dunia mulai melihat ke arah mereka—maka akan ada luka yang lebih dalam dari sekadar cinta terlarang.
Sudah tiga hari sejak Alika bertanya soal hubunganku dengan ayahnya. Sejak itu, dia jadi sedikit berbeda—lebih pendiam, lebih memperhatikan setiap gerakku. Dan aku tahu… dia sedang mengamati.
Hari ini aku kembali main ke rumahnya. Alika bilang dia rindu nonton drama Korea barengku seperti dulu. Tapi ketika aku datang, suasana rumah sepi. Hanya Alika yang menungguku di ruang tengah, duduk bersila sambil membuka laptop.
"Ayah belum pulang?" tanyaku, berusaha terdengar biasa.
"Belum," jawabnya datar. "Tapi aku rasa dia nggak akan lama."
Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya. Tapi baru lima menit kami nonton, dia tiba-tiba mematikan layar.
"Aku mau jujur, Key."
Aku menoleh. “Tentang apa?”
“Aku sempat buka CCTV rumah.”
Jantungku berhenti berdetak. “CCTV?”
Dia mengangguk pelan. “Kamu tahu? Di lorong dekat dapur, ada kamera kecil. Waktu kamu turun malam-malam dan ngobrol sama ayahku…”
Suasana mendadak dingin.
“…aku lihat semuanya.”
Aku tak bisa menjawab. Lidahku kaku.
“Kamu bilang nggak ada apa-apa. Tapi cara kamu lihat dia, cara dia balas tatapan kamu… Itu bukan cuma segan, Key.”
Mataku mulai panas.
“Maaf,” bisikku pelan. “Aku nggak bermaksud nyakitin kamu.”
Alika tertawa pendek, getir. “Kamu jatuh cinta sama ayahku?”
Aku tak menjawab. Karena dalam diamku, dia tahu jawaban itu benar.
Alika berdiri, menatapku dari atas.
“Kamu sahabatku. Tapi kamu juga perempuan yang ngelihat ayahku dengan cara yang... bikin aku ngeri.”
Aku menunduk. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Lik.”
“Tapi kamu bisa kehilangan semuanya, Key. Termasuk aku… dan ayahku.”
Malam itu, aku berjalan pulang dengan langkah goyah. Untuk pertama kalinya sejak jatuh cinta, aku benar-benar merasa seperti orang yang menghancurkan hidup orang lain.
Dan mungkin… memang itulah aku sekarang.
Raditya memandangi layar ponselnya. Ada satu pesan dari Alika yang baru dibaca beberapa menit lalu:
> Kita perlu bicara. Bukan sebagai ayah dan anak, tapi sebagai dua orang yang sama-sama tahu... ada yang salah.
Tangannya mengepal.
Dia tahu waktunya sudah hampir habis. Ia terlalu lama bermain api—dan sekarang bara itu sudah menyambar orang yang paling ia lindungi.
---
Alika menunggunya di ruang makan malam itu. Tak ada makanan. Hanya segelas air dan sorot mata yang tajam milik seorang anak perempuan yang tak lagi naif.
“Ayah tahu aku lihat rekaman itu?”
Raditya duduk perlahan. “Iya.”
“Dan Ayah nggak mau jelasin apa pun?”
Dia terdiam lama. Lalu berkata pelan, “Apa yang kamu lihat?”
Alika mendengus. “Cukup untuk tahu bahwa tatapan itu bukan tatapan biasa. Kamu suka sama sahabatku, Ayah. Dan dia... juga sama.”
Raditya menunduk. “Aku berusaha menjauh.”
“Kalau benar berusaha, kamu nggak akan terus kasih harapan.”
Kalimat itu menghantam. Karena ia tahu, Alika tidak salah.
“Ayah, dia masih delapan belas,” lanjut Alika. Suaranya bergetar. “Sahabatku sendiri. Dan kamu... kamu ayahku. Kamu sadar, ini bukan cuma tentang cinta.”
Raditya menatap putrinya. “Aku tahu.”
Alika menggigit bibir, air matanya mulai turun. “Aku nggak tahu siapa yang lebih sakit... aku, atau dia.”
---
Malam itu, setelah Alika masuk kamar dan meninggalkan Raditya sendirian, pria itu mematung di ruang tamu yang gelap.
Perasaan yang selama ini ia redam kini berubah jadi bara panas di dadanya. Bukan karena cinta—tapi karena rasa bersalah.
Ia tahu, esok pagi ia akan melakukan sesuatu.
Sesuatu yang menyakitkan... tapi perlu.
---
Keesokan paginya, Keyla menerima pesan singkat:
> Keyla, kita perlu bicara. Datanglah ke rumah sore ini. Tanpa Alika. Sendiri.
Dan dia tahu… pertemuan itu bukan tentang awal yang baru.
Tapi tentang akhir yang harus diterima.
---
Awan menggantung seperti pertanda bahwa langit pun tak yakin ingin memberi terang atau hujan. Aku datang ke rumah itu dengan langkah ragu, tapi hatiku bulat. Jika ini akhirnya, aku ingin mendengarnya langsung.
Pintu dibuka oleh Raditya sendiri.
Dia tak berkata apa pun, hanya memberi isyarat agar aku masuk.
Kami duduk di ruang tamu. Jarak kami hanya dua meter, tapi terasa seperti dua dunia yang terpisah tak bisa dijangkau.
“Aku minta maaf,” katanya duluan. Suaranya pelan, tapi dalam. “Karena membuatmu terjebak di perasaan yang seharusnya nggak pernah tumbuh.”
Aku menggeleng. “Jangan minta maaf, Om. Karena rasa ini tumbuh sendiri… dan saya nggak pernah nyesal.”
Dia menatapku dengan mata yang tak lagi tajam—mata yang lelah, seperti menyerah pada dunia.
“Aku pernah berpikir bisa menolak semuanya. Tapi kenyataannya, setiap kali kamu datang… aku merasa hidup lagi. Dan itu yang salah.”
Hatiku perih, tapi juga penuh. Karena akhirnya dia mengakui sesuatu yang selama ini hanya bisa kutebak dari tatapannya.
“Saya tahu ini salah, Om,” ucapku pelan. “Tapi saya juga tahu, saya nggak bisa pura-pura nggak pernah ngerasa apa-apa.”
Dia mengangguk. Lalu diam sesaat sebelum berkata, “Mulai hari ini… kamu jangan datang lagi.”
Ucapannya seperti pisau yang menembus d**a. Tapi aku tahu, aku harus kuat.
“Karena Alika?”
“Karena kamu harus punya masa depan yang bersih, tanpa luka dari aku.”
Aku ingin berteriak, bilang bahwa luka ini sudah terlanjur ada. Tapi aku hanya berkata, “Kalau suatu hari saya lupa semuanya... apa Om juga bakal lupa saya?”
Dia menatapku lama. Lalu tersenyum—senyum paling hancur yang pernah kulihat.
“Tidak akan pernah.”
---
Malam itu, aku melangkah pergi dengan hati yang retak—tapi aku tahu, cinta sejati bukan soal memiliki.
Terkadang... mencintai artinya membiarkan dia pergi, agar semua yang lain tidak ikut hancur.
Dan Raditya... akan selalu jadi luka yang kusembunyikan di balik senyum.
---
Aku berjalan pulang sore itu dengan langkah yang berat. Setiap bayanganku tentang dia—tentang kami—masih menggantung di udara. Ucapan “jangan datang lagi” terus terputar di kepalaku seperti kalimat kutukan.
Aku tahu maksudnya baik. Tapi bagaimana mungkin aku menjauh dari seseorang yang justru menjadi alasan aku merasa hidup?
---
Malamnya, aku tak bisa tidur. Kepalaku penuh oleh kenangan: tatapan pertamanya, diam-diam perhatiannya, cara dia menyebut namaku dengan nada paling pelan sekalipun. Semua terasa dekat… tapi kini menjauh dalam hitungan hari.
Telepon genggamku bergetar. Satu pesan masuk.
Dari Alika.
> Kamu udah ketemu Ayah?
Aku mengetik:
> Iya.
> Kamu nggak akan datang ke rumah lagi, kan?
Aku menatap layar itu lama. Lalu menjawab:
> Nggak, Lik. Aku janji.
> Terima kasih… karena ngerti aku juga sakit.
Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Karena meski kami sama-sama terluka, hanya satu yang harus mengalah. Dan itu aku.
---
Keesokan harinya, aku memilih tidak ke kampus. Aku butuh waktu. Butuh ruang. Tapi tak peduli ke mana pun aku mencoba menghindar, pikiranku selalu kembali pada satu titik: dia.
Tuan Raditya.
Namanya masih kusebut dalam doa. Meski bukan untuk dimiliki, setidaknya untuk dikenang.
Karena cinta ini mungkin harus dikubur… tapi tidak pernah benar-benar mati.
---
Sudah empat hari sejak aku terakhir melihat Raditya. Empat hari sejak aku memutuskan menjauh demi menjaga semuanya tetap utuh—Alika, keluarga mereka, dan diriku sendiri. Tapi yang sulit bukan menjauh secara fisik… melainkan memutus ikatan yang tak terlihat tapi begitu kuat.
Aku kembali ke kampus hari ini. Berusaha tersenyum, tertawa, menyibukkan diri. Alika juga mulai bersikap seperti biasa. Tidak sepenuhnya ceria, tapi cukup untuk membuat orang lain tak curiga ada badai yang pernah menerpa kami.
Namun saat mata kami bertemu, ada yang tak bisa disembunyikan—kepedihan yang sama. Luka yang berbeda, tapi berasal dari sumber yang sama.
Sore hari, aku memutuskan pulang lebih awal. Tapi tepat saat aku menyeberang jalan dekat parkiran kampus… mobil hitam berhenti di sampingku.
Jantungku langsung berdegup tak karuan saat kaca jendelanya turun perlahan.
Raditya.
Aku membeku. “Om…”
Dia terlihat ragu. “Maaf. Aku nggak seharusnya ke sini. Tapi…”
Aku menahan napas. “Tapi kenapa?”
Raditya menatap lurus padaku. Mata itu—masih penuh rasa yang sama, hanya kini dibalut kesedihan.
“Aku cuma ingin tahu… kamu baik-baik saja?”
Aku menelan ludah, mencoba tersenyum meski getir. “Enggak. Tapi aku akan belajar baik-baik saja.”
Dia mengangguk pelan. “Bagus.”
Kami terdiam beberapa detik. Udara sore terasa lebih berat dari biasanya.
“Sampai kapan pun, kamu tetap seseorang yang penting,” katanya lirih sebelum kaca jendela kembali naik.
Mobil itu pergi. Tapi hatiku tertinggal di tempat itu.
Aku berdiri lama, menatap arah mobilnya menghilang. Lalu membisikkan kata yang tak bisa kudengar siapa pun:
"Aku juga nggak akan pernah lupa, Om."
Malam itu, setelah pertemuan singkat yang mengguncang perasaanku, aku membuka jurnal kecil di kamarku. Tangan gemetar, hati penuh sesak. Lalu kutulis satu surat. Bukan untuk dikirim… hanya untuk melegakan isi d**a.
> Kepada seseorang yang tak boleh kucintai,
Mungkin malam ini kamu sedang duduk di ruang kerjamu, membaca berkas seperti biasa. Mungkin kamu tak tahu, bahwa di seberang kota ini… ada seorang gadis yang masih mencintaimu dalam diam.
Aku mencoba membenci, sungguh. Mencoba menghapus setiap detik ketika tatapanmu membuat aku merasa hidup. Tapi perasaan ini terlalu kuat… bahkan untuk dilawan oleh logika.
Kamu bilang aku harus pergi, harus berhenti. Tapi bagaimana caranya berhenti mencintai orang yang jadi alasan aku tersenyum setiap hari?
Aku tahu kita tidak akan pernah jadi ‘kita’. Tapi aku juga tahu, perasaan ini akan tetap tinggal. Diam. Tak bersuara. Tapi nyata.
Terima kasih… karena pernah membuatku merasa istimewa, meski hanya sebentar.
Dari gadis yang akan tetap mencintaimu,
Keyla
Aku melipat surat itu dan menyelipkannya ke dalam buku yang tak pernah kubuka lagi. Bukan untuk dilupakan. Tapi untuk disimpan sebagai bukti… bahwa cinta ini pernah ada.