Busuk dibalik Wajah Cantiknya

967 Words
"May!" "Astagfirullah," lirihku berucap sembari mengelus d**a. Linda. Ternyata Linda yang menepuk bahuku dari belakang. Bikin kaget saja. "Eh, kamu kenapa May tegang begitu? Kayak habis lihat setan saja. Ini di siang bolong loh May, jangan bilang aku setannya." Linda memundurkan kursi di sebelahku untuk duduk. "Nggak. Nggak kok. Aku kaget saja." Kutempelkan jari telunjuk ke bibir isyarat diam pada Linda. Temanku ini terlihat bingung dengan mengernyitkan keningnya. "Ada a–" "Kak May!" Aku dan Linda refleks menoleh ke asal suara. Nirmala, jadi benar dia orang yang ada di sebelah tempatku duduk, yang hanya dibatasi dinding partisi kaca. "Kakak ada di sini, sedang apa?" Nirmala bertanya dengan gugup. Dari gaya bicaranya aku tahu dia pasti menduga kalau aku sudah mendengar semua percakapannya barusan. "Kenapa? Memang tidak boleh ya aku ada di sini? Kamu sendiri ngapain ada di sini juga?" balasku balik bertanya padanya. "Eh, anu … nggak kok Kak. Boleh, siapa yang larang," jawabnya cengengesan dengan menggaruk kepala. "Nir, Kakak Lu ternyata a–" Nirmala ngegas menarik lengan temannya ke belakang badannya. Aku pun dapat menangkap ia memberi kode pada teman-temannya yang lain untuk diam. Mereka semua tampak salah tingkah terutama Nirmala. Diantara tiga temannya yang ada disini, dua diantaranya sering berkunjung ke rumah. "Lin, yuk kita pergi. Kita cari tempat lain saja," ajakku dengan menarik tangan Linda tanpa memperdulikan Nirmala dan temannya. "May memangnya ada apa? Itu tadi Nirmala–adikmu. Kok kamu kayak–" "Hussstttt!" isyaratku menyuruh Linda diam dengan memotong ucapannya. Tanganku masih menarik tangannya dengan kuat, memaksanya mengikutiku. Badan Linda sempoyongan kutarik paksa. "Kak May!" "Kak May tunggu!" Panggilan Nirmala tidak kugubris. Aku terus menarik Linda mengikuti langkah panjangku. Meninggalkan Nirmala yang masih berteriak, berusaha mengejar. "May. May, kamu kenapa? Tuh, adikmu manggil!" Teguran Linda hanya angin lalu yang lewat begitu saja. Mataku tetap fokus menuju tempat parkiran kendaraan roda dua kami. "Eh, salah. Tuh motorku sebelah sana. Tungguin aku, jangan ditinggal!" Linda berlari ke arah tempat motornya terparkir. Kebetulan berjarak lima motor dariku. Aku yang sudah siap duduk dengan helm terpasang kuat di kepala segera menghidupkan starter motor melajukan kendaraan menembus jalan raya. Motor Linda mengikuti dari belakang. Sempat kulirik dari kaca spion, Nirmala yang tampak ngos-ngosan berhenti mengejarku dengan berkacak pinggang karena sudah lelah tak sanggup mengejar. *** Kami sampai di sebuah cafe yang letaknya sekilo lebih jaraknya dari cafe yang pertama kudatangi. Cafe dimana awal aku tahu wajah asli adikku. Rasanya sakit. Hati ini bagai diiris sembilu, luka tak terperih, saat tahu adik yang kuanggap seperti adik kandung sendiri, tega menusukku dari belakang, dan itu hanya didasari oleh rasa irinya pada kasih sayang ayah. Pantas semua laki-laki yang mendekat, selalu berpaling ke arahnya. Awalnya aku berpikir positif karena Nirmala memang lebih cantik dariku, tapi makin ke depannya terasa janggal. Kenapa laki-laki yang ingin serius menikahiku membatalkan rencana pernikahan kami di detik terakhir hari H-nya. Kalau mereka memang lebih tertarik kepada Nirmala, kenapa tidak dari awal saja melamarnya, bukannya malah melamarku. "Kamu kenapa sih, galau begitu? Bertengkar sama Nirmala. Soal laki-laki yang–" "Bukan itu. Namun lebih parah," jawabku menyela perkataannya. "Parah? Maksudnya?" Kuhela napas panjang seakan sulit untuk mengatakannya. Kalimat kenapanya itu sulit tersampaikan ke Linda. Aku bingung, apa masalah keluarga ini harus kuungkapkan juga ke orang asing? Walaupun notabennya dia adalah sahabat sendiri. Aku takut salah menilai orang lagi. "Kenapa May, cerita dong. Kamu selalu cerita ke aku, dan aku selalu menjadi pendengar terbaikmu." Linda membujuk ingin tahu. "Nanti ya, Lin. Kasih aku waktu. Aku tidak apa kok. Oh ya, kamu mengajak ke cafe tadi mau ngomong apa?" Kualihkan pembicaraan mengenai Nirmala. Senyum kuulas selebar mungkin biar Linda percaya. "Nanti saja deh, mood kamu lagi nggak baik. Yang ada kamu akan menolak yang akan kuajukan nanti," timpalnya membuatku penasaran. "Ih, apaan sih. Memangnya kamu mau mengajukan apa? Ada hubungannya dengan sekolah?" Aku dan Linda mengajar di satu sekolah yang sama, karena itu kurasa apa yang ingin dibahas Linda berkaitan dengan sekolah. "Bukan. Nantilah kalau mood kamu lagi baik, senang, baru kuajukan. Kamu nggak akan nyesal deh." Lagi omongan Linda membuat kerutan di dahi bertambah. Dia mengerlingkan matanya ke arahku. "Terserah lah. Aku lagi nggak bisa mikir." Kami pun membahas masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan kehidupanku. Linda bercerita tentang dirinya sendiri. Ada saja hal yang bisa dijadikannya obrolan seru. Kali ini cerita lucu yang disodorkannya. Aku tahu maksudnya Linda ingin menghibur, dan itu berhasil. Sepanjang cerita aku selalu tertawa dibuatnya. "Kak, kita harus bicara!" Baru pulang, belum sempat pintu kamar kubuka, ada tangan yang mencengkeram lenganku dengan kuat. Nirmala. "Apa?" jawabku ketus. Seketus mungkin agar dia tahu aku sedang marah. Nirmala celingukan mengamati sekitar. Mungkin ia takut didengar oleh ayah atau ibunya. Didorongnya tubuh ini sampai masuk ke dalam kamar. "Apaan sih Nir? Keluar! Aku tidak ingin bicara." tunjukku mengarah ke pintu menyuruhnya keluar. Baru kali ini aku bertindak kasar padanya. "Tunggu dulu. Urusan kita belum selesai! Apa yang Kakak dengar di cafe itu tidak benar, cuma salah paham." Nirmala mencoba menjelaskan, tapi aku sudah tak mau percaya. "Salah pahamnya dimana?" tantangku dengan melipat kedua tangan di d**a. "Itu, tadi itu cuma bercanda. Leli memang begitu, suka nanya nggak jelas dan aku tadi cuma asal ceplos, percayalah Kak," pintanya dengan wajah melas. Sayangnya sekarang aku tidak ingin tertipu lagi dengan wajah sok polosnya. "Sudahlah Nir, aku sudah dengar semuanya. Dengan jelas. Telingaku nggak tuli. Jadi keluar sebelum aku teriak," ancamku masih dengan menunjuk ke pintu. "Kak, please. Itu cuma salah paham. Jangan cerita ke ayah ataupun Ibu. Kalau Kakak mau, biar kubujuk Mas Ibram buat nikahi Kakak." Aku tersenyum getir mendengar penjelasan Nirmala. Memangnya dia pikir aku apa? Tempat penampungan mantan kah? Mana mungkin aku menikah dengan lelaki yang sudah menolakku itu. "Sudahlah keluar. Aku tidak ingin bicara apapun." Kudorong paksa tubuhnya keluar kamar. "Oke aku keluar. Tidak perlu didorong begini!" Nirmala mencoba menepis tanganku, tapi aku berhasil mendorongnya keluar kamar. "Kak, aku harap Kak May tidak mengadukan semua ini sama Ayah atau …." Kepalanya celingukan lagi mengitari seisi ruangan. "Kakak akan menyesal!" imbuhnya kemudian masih mengancam dengan mengacungkan jari telunjuk tepat ke wajahku. Heh! Mataku melebar mendengarnya. Dia yang bersalah, kenapa malah aku yang diancam. Baru saja mengunci pintu kamar setelah kepergian Nirmala, mataku tertuju ke atas tempat tidur. Ada benda milik Nirmala tertinggal di sana. Sebuah ikat rambut. Aku paling tidak suka menyimpan barang milik orang lain apalagi itu punya Nirmala. Segera saja kuambil dan berjalan dengan tergesa keluar kamar menuju kamarnya. Langkahku terhenti saat ingin masuk ke dalam. Ada hal menarik yang membuatku urung untuk masuk. "Lu sih ngapain bahas soal Kak May di sana. Jadi ketahuan kan." Terdengar Nirmala sedang bicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Pintu kamarnya tidak tertutup rapat hingga aku bisa mengintip sedikit dari celah sana dan suaranya masih dapat kutangkap. "Kak May nggak percaya lagi sama gue. Sekarang aja sikapnya judes gitu bikin aku makin ilfeel punya kakak tiri kayak dia. Sok belagu. Sok manis, sok baik eh ternyata kalau marah kayak nenek sihir." Terdengar kekehannya menertawakanku. 'Heh! Bukannya tak terbalik kalau itu kamu.' "Tenang saja. Calonnya ini duda. Parah deh. Saking putus asanya, mau aja gitu dijodohin Ayah sama duda. Katanya duda anak satu. Paling juga udah berumur, sudah tua, bangkotan, idih …, geli bayanginnya." Aku mengelus d**a mendengar ejekannya barusan. 'Iya Nir, aku memang putus asa, tapi semua itu kulakukan demi Ayah.' Di belakangku, ia pasti sering mengejekku begini. Padahal selama ini kalau di depanku jadi adik yang baik, meski kadang terkesan manja dan semaunya. Kuanggap wajar karena ia memang sangat dimanja oleh ibunya. "Eh nggak lah, jauh. Dudaku itu DuRen–Duda Keren. CEO. Kaya raya. Biarpun umurnya sudah di atas 30-an ke atas, tapi pesonanya bikin mleyot, nggak kuat, Lel. Badannya bagus, wajahnya tampan sempurna, meskipun orangnya cool dan terkesan cuek. Aku tetap meleleh padanya." Aku tertegun. Siapa yang sedang dibicarakan Nirmala dan temannya itu. Kenapa Nirmala memuji selangit orang yang disebutnya DuRen? Apa orang yang sedang dekat dengan Nirmala? Duda? Tidak mungkin itu Ibram. Aku mencoba menerka. "Nggak mungkin. Bukan dia. Mana mungkin Pak Biru orangnya. Eh duda itu banyak. Iya kali orang sekelas Pak Biru ngelamar Kak May–cewek biasa aja, yang kecantikannya jauh dibawahku? Jangan ngaco lu, Lel. Aku aja sulit menaklukannya, apalagi Kak May. Itu hanya ada di negeri dongeng." Kerutan keningku semakin banyak. Aku tak paham kemana arah pembicaraan mereka. Apa hubungannya denganku dan siapa Pak Biru yang dimaksud Nirmala? Aku bahkan tak mengenal nama itu. Kembali kudengarkan pembicaraan Nirmala. "Malas sih, tapi ntar bakal kurebut lagi, atau minimal batalin pernikahan mereka, atau paling ekstrim bikin kacau aja." Nirmala tertawa terbahak setelah mengatakan hal itu. 'Astaga, tega kamu, Nir.' Aku kembali mengurut d**a mengetahui kebusukan hati adik tiriku tersebut. "May!" Bahuku ditepuk seseorang. Yang mengejutkan orang itu Ayah. Ia menatapku penuh tanya. Lalu pandangan matanya beralih ke dalam kamar Nirmala, menatap tajam ke arah Nirmala yang terkesiap kaget dan beranjak bangun dari posisi rebahan mendapati aku dan Ayah di depan pintu kamarnya. "Mala, bicara sama siapa kamu? Siapa pernikahannya yang akan batal?" tanya Ayah seketika setelah Nirmala mendekat. "Ehm … anu Yah. Itu …."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD