Bab 2

1095 Words
“Akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar jika kita mengikuti sistem seperti itu nona Lina, sebagai seseorang  yang sangat memahami teknik penyembuhan, saya sarankan anda menjalani pengobatan sesuai dengan cara yang saya biasa pakai untuk menyembuhkan pasien, yang hasilnya selalu sesuai prediksi. Jadi jika memang anda mau sembuh , maka anda harus mengikuti cara saya.” Rizal menatap Lina dengan serius. Rizal sengaja berbicara tegas karena dia melihat pasiennya kali ini sangat keras kepala. “Sebaiknya kau ikuti saja anjuran dokter Rizal sayang, ini demi kebaikanmu dan juga mama.” Kizara menambahkan dengan tatapan penuh harap. “Papa harusnya membicarakan hal ini dulu kepadaku!” Lina mendengus kesal dan meninggalkan ruangan itu.  Kizara menghela nafas panjang lalu menatap Rizal dengan tatapan serius. Terlihat jelas kegelisahan di raut wajah pria itu. “Jadi untuk prosesnya om akan serahkan semuanya kepadamu, dokter. Om sangat berharap sekali Lina bisa sembuh dan akan bersikap baik. Dia selama ini sangat di manja oleh istriku, Yuanita tidak pernah sekalipun menolak keinginan Lina. Yuanita bahkan bisa melakukan apa pun demi menyenangkan Lina tanpa sedikit pun membatasinya. Sejak bayi kami menghilang dan istri om frustrasi, Lina datang  sebagai malaikat mungil penolong bagi keluarga kami. Yuanita berangsur pulih dan kembali bahagia. Alasan itulah kenapa Yuanita sangat memanjakan dan menyayangi  anak itu. Jika diingatkan, om malah yang kena semprot dan menganggap om tidak menyayangi Lina. Jadinya ya,  om hanya bisa mengalah  dan seperti inilah hasilnya.  Puncaknya itu saat anak kandung kami di temukan dan kembali ke tengah-tengah keluarga. Lina menjadi cemburu dan berkali-kali menyakiti dirinya sendiri untuk mendapatkan perhatian lebih dari kami. Istri om mengalami masalah pada jantungnya karena syok dengan tingkah Lina yang semakin hari semakin keterlaluan. ” Kizara menceritakan semua keluhannya tentang Lina dengan raut wajah sedih.  Rizal bisa merasakan kondisi Kizara sekarang, dia merasa semakin bertekad untuk menyembuhkan Lina dan menjadikannya bisa kembali bersikap baik. Tentunya bukan perkara sulit baginya menyembuhkan orang  dan ia  akan melakukan itu demi pria yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri ini. “Jangan khawatir om, saya akan berusaha menyembuhkan putri om. Dia akan kembali menjadi putri yang baik dan membanggakan untuk kalian. Om tenang saja,” ucap Rizal menenangkan Kizara. “Terima kasih.” Kizara tersenyum senang mendengar ucapan Rizal. “Baik, jadi hari ini Lina harus berada di sini dulu untuk tahap konseling pertama. Ya, saya hanya  akan menanyakan perihal seputar kebiasaan hidupnya saja. Kalau pasien mau secara sukarela melakukannya, saya tentunya tidak akan repot lagi. Tapi, sepertinya saya akan membutuhkan beberapa usaha untuk putri om ini.” Rizal menjelaskan. Sementara Kizara hanya menyimak lalu mengangguk paham. “Silakan lakukan apa pun yang perlu kau lakukan dokter,” jawab Kizara “Baiklah kalau begitu.” Rizal mengangguk.  Suster Juwi..!!” Rizal berseru memanggil asistennya. Suster Juwi membuka pintu ruangan dan berdiri di ambang pintu. “Tolong panggilkan pasien kita, Ya.”  “Baik Dokter.” Jawabnya lalu melangkah pergi. Akan tetapi setelah 15 menit menunggu, Juwi masih belum kembali membawa Lina. “Kenapa mereka belum datang? Atau jangan-jangan Lina kabur?” Kizara terperanjat mendengar ucapan Rizal. “Apa!?”  Juwi tiba-tiba muncul dengan wajah cemas, “Dok, pasien tidak ada di mana-mana. Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu.” Juwi melapor. Rizal menghela nafas panjang, “Ya sudah, tidak apa-apa.” Rizal kemudian menatap Kizara yang sudah cemas. “Bagaimana ini dokter? Lina ternyata tidak ingin berobat”  “Om jangan khawatir, biarkan saja dia dulu. Sepertinya aku harus memberinya konseling di rumah om. Lina tidak suka di tempat ini, jadi aku yang harus datang mengunjunginya. Boleh saya minta nomor kontak Lina om?”  Sementara itu, sebuah taksi berhenti di depan bangunan tinggi. Lina keluar dari taksi lalu berjalan tergesa menuju pintu utama gedung. Memasuki lift, menekan tombol angka 10 sampai pintu lift terbuka.  Lina berjalan keluar lift menuju sebuah pintu. Menekan tombol doorlock lalu membukanya dengan begitu mudah. Sepertinya Lina sudah sangat mengenal tempat yang ia kunjungi ini. Begitu sampai di dalam, ia disambut oleh seorang pria bertubuh tinggi dengan senyum mengembang. Pria itu langsung memeluk erat  tubuh Lina dan mengulum bibirnya dengan rakus. Tangan pria itu sudah mulai meraba apa pun yang bisa ia sentuh di tubuh indah itu membuat Lina hanya bisa mendesah nikmat. “Aku sudah menunggumu lama, sayang. Apa yang membuatmu terlambat kali ini?” lirih pria itu sembari meremas d**a Lina dengan agresif. Lina hanya bisa melenguh. “Tadi ada sedikit halangan sayang, tapi lupakan saja. Aku kan sudah ada di sini. Kita nikmati saja hari ini sampai  puas. Aku juga sudah sangat menginginkanmu, kita lakukan saja sekarang Alex. Aku sudah tidak bisa membendungnya lagi.”  tangan Lina melingkar di leher Alex dengan manja. Pria itu menyeringai dan langsung mengangkat tubuh Lina masuk ke dalam kamar. Alex membaringkan Lina di atas kasur dan mulai menggerayanginya. Akan tetapi, baru saja dia akan kembali melabuhkan bibirnya, suara dering ponsel Lina terdengar. Aksinya terhenti, keduanya saling pandang. Lina yang sudah menduga jika telepon itu pasti dari ayahnya, berniat untuk mengabaikan, tapi Alex malah meraih ponsel itu.  “Sudah, abaikan saja. Itu pasti papa, dia sedang mencariku. Aku kabur saat membawaku ke dokter,” ucapnya. “Kalau begitu matikan saja ponselmu.  Atau beri alasan pada papamu dulu, kalau tidak dia akan terus-terusan mengganggu kita nanti,” ucap Alex lalu menyerahkan ponsel itu kepada Lina. “Loh, tapi ini nomor asing,” ucap Lina heran saat melihat nomor yang tertera di layar ponselnya. “Papamu mungkin pakai nomor lain agar kau tidak curiga.” Tebak Alex sambil meraba d**a Lina. “Halo..?” sapa Lina. “Kau keluar dan pulang sekarang juga.”  “Akh..!” Lina terlonjak, dia sampai tidak sengaja melempar ponselnya menjauh saking kagetnya mendengar suara pria asing di ponselnya. “It..itu.. itu..” Lina tergagap menunjuk ke arah ponselnya ketakutan, wajahnya pucat pasi. “Kau kenapa, telepon dari siapa tadi ? kenapa kau ketakutan?” Alex ikutan gusar melihat reaksi Lina, meraih ponsel Lina dan melihat  sambungan telepon masih terhubung. “Hei siapa kau?! Berani-beraninya menggangguku kekasihku..!!” gertak Alex kesal, sementara Lina sudah beringsut ketakutan di sudut ranjang. “Buka pintumu sekarang juga atau aku dobrak!” suara pria terdengar di seberang sana dengan nada ancaman.  “Sialan..!” Alex bangkit dari kasur dan melangkah keluar.  Ia mengintip dari lubang kecil pintunya dan melihat seorang pria tinggi sudah berdiri di depan pintu. Emosi Alex tersulut, berani-beraninya orang itu mengancam  dirinya di tempatnya sendiri. Ia kemudian membuka pintu. Seorang pria tampan bertubuh lebih tinggi darinya berdiri tepat di ambang pintu dengan raut wajah dingin.  “Di mana Lina?!” tanya pria itu dan tanpa permisi ia langsung memasuki ruangan.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD