{ 00 } X-tra Ordinary Woman

1635 Words
{ 00 }  . . . Suara air mengucur perlahan, memberikan sensasi dingin menjalari tubuh wanita yang kini tengah menengadahkan wajahnya. Membiarkan air itu membasahi seluruh wajah serta tubuhnya. Bibir terkatup rapat, hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Dirinya mencoba menenangkan diri, mengingat banyak kejadian melelahkan yang mendatanginya sejak kemarin. Kamar mandi itu terdengar cukup sunyi, hanya gemercik air yang kecil, temaram lampu menerangi ruangan sudah cukup membuat sang wanita puas. Merasa cukup lama di dalam kamar mandi, tangannya bergerak perlahan, mematikan shower. Kedua manik yang masih basah terkena air, ikut terbuka. Helaan napas terdengar singkat. Manik amber itu sama sekali tak memancarkan cahaya, hanya gelap, dan terlihat dingin. Kaki telanjang itu keluar dari bilik kaca kamar mandi meneteskan beberapa bulir air ke lantai, mendengar getaran yang berasal dari ponsel tak jauh dari posisinya, wanita itu reflek menoleh cepat. Berjalan dengan tubuh tanpa busana, mengambil benda itu- Memperhatikan layar di sana sekilas, dan menjawab panggilan dengan malas- OOOooooooooooooooooOOO "Ada apa memanggilku, Ayah?" Suara dingin itu berucap singkat, memandang datar ke arah pintu. Ia kembali melangkahkan kaki, mengambil handuk yang tergantung tepat di dekat dinding. "Dimana kau sekarang?" Nada yang tak kalah dingin terdengar jelas di seberang sana. Membuat sang empu yang mendengarkan menghela napas cepat. "Hotel di dekat pertokoan Jalan Mangga. Ada apa?" "Besok, Ayah ingin membicarakan masalah pekerjaanmu selanjutnya." Memicingkan maniknya tajam, wanita itu tahu kemana arah pembicaraan ini berlanjut.  Tidak mau menunggu lama lagi, tubuhnya terasa sangat berat. "Katakan saja sekarang, Ayah. Aku sedang terburu-buru." ujarnya cepat, ucapan yang mampu membuat sosok di sana mendengus geli. Seolah menertawakannya. "Terburu-buru, hm? Masalah apa lagi yang kau buat?" Dengan suara datar, dengusan terdengar. Wanita itu menunduk singkat, mengepalkan tangan kuat-kuat. "Ayah, kau tidak perlu tahu. Ini masalahku sendiri. Jadi bisa katakan apa lagi pekerjaanku yang selanjutnya?" Perlahan, dengan tubuh yang dibalut handuk. Rambut kecoklatan bergelombangnya terurai basah, wanita itu berjalan keluar dari kamar mandi. Tak lupa mengambil sebuah benda yang sudah Ia letakkan pada meja kecil di dekatnya. "Klien Ayah yang satu ini mempunyai musuh bagi perusahaannya. Seseorang yang erat kaitannya dengan petinggi di Jakarta." Berjalan, memutar kenop pintu. Ia membukanya perlahan, manik amber itu menatap malas saat melihat pemandangan di hadapannya- "Jelaskan dengan singkat, aku sedang tidak ingin berbasa-basi, Ayah." Memotong ucapan laki-laki di seberang sana, menggenggam sebuah benda yang sudah diambilnya tadi. Mengacungkan dengan santai ke arah pemandangan tak jauh dari sana, berujar tipis. Salah satu hal yang selalu Ia lakukan saat memulai pekerjaannya kembali, “Maaf.” “Petinggi Jakarta yang akan kau incar kali ini adalah, Aiden William Abhivandya. Salah satu Komandan Utama kepolisian Pusat Jakarta. Nanti akan aku kirimkan data-data mengenai laki-laki itu.” Langkah kaki wanita itu terhenti, kedua maniknya membulat sekilas. Dengan tubuh yang perlahan membeku, emosinya tanpa sadar mulai memuncak. Bibir itu gemetar, mencoba mengatur diri sekali lagi. “Kenapa aku harus membunuhnya? Ayah, tahu kan idealitasku sendiri?! Aku tidak akan pernah membunuh orang tidak bersalah!” Berusaha menjaga agar nada suaranya tetap tenang. Terdengar dengusan singkat di seberang sana, “Ayah, tahu.” Menjawab dengan tenang. “Meskipun sejak awal aku tidak pernah mendidikmu untuk mempunyai idealitas merepotkan seperti itu.” “Lalu kenapa-” Suaranya terpotong, digantikan sebuah kekehan menyindir, sang ayah, meremehkannya. “Ari, setiap orang pasti punya musuhnya sendiri. Kau tahu balas dendam klienku itu bukan berdasar dari sebuah keinginan semata tapi dari kebenciannya. Apa yang telah dilakukan oleh Aiden William? Membunuh dan menghancurkan bawahan klienku, bukannya itu pantas disebut sebagai tindak kejahatan juga?” Tubuh Ari menegang, “Tentu saja itu wajar, dia melakukannya karena sudah berkewajiban mengurus penjahat.” Terdapat jeda sejenak, “Kenapa kau begitu membelanya? Dia hanya seorang anggota kepolisian yang tidak berguna.” “Idealitasku, Ayah tahu kan-” “ARI.” Suara berat dan menekan itu sukses membuat sang empunya bungkam. Tubuhnya membeku sekilas, menyadari bahwa emosi yang baru saja Ia keluarkan tadi hampir mencapai batas. Dia menyerah, "Hh, baiklah." Mendesah pelan, menutup manik singkat. Menghiraukan seorang laki-laki yang kini berdiri dengan tangan bergetar mengacungkan sebuah pistol di depannya. Pemandangan yang tragis, darah mengucur dari lengan, kaki, serta anggota tubuh lainnya, membuat aroma anyir merebak memenuhi seluruh ruangan. Pandangan wanita itu menatap datar. Dirinya mengacungkan balik pistol di tangannya, sikap yang terlihat tenang, berjalan semakin mendekati sang mangsa yang berteriak ketakutan- "Dasar wanita iblis! Berani sekali kau membohongi kami!" Tanpa merespon makian laki-laki di depannya, Ia tetap berjalan. Kakinya yang tadi bersih, kini kembali kotor oleh darah yang tergenang di atas lantai. "Jangan mendekat, atau kau akan kutembak! Wajah manismu itu ternyata hanya topeng! Pembunuh sialan! Wanita tidak tahu diri!" Berteriak kesetanan, terlihat sekali tubuh itu gemetar ketakutan. Bukan menembak malah memundurkan langkahnya- Masih menggenggam ponsel di tangan kirinya, "Ternyata masih ada yang hidup, aku harus menyelesaikannya, Ayah." "Selesaikan dengan cepat, Aku tidak ingin kau membuang waktumu untuk hal seperti itu." Tersenyum miring, dengusan keras untuk yang kesekian kalinya Ia lakukan, "Tentu." Menjawab singkat, panggilan terputus. OOOooooooooooooooOOO Kembali terfokus, kedua manik itu terfokus pada sosok laki-laki di depannya, "Kau mengatakan apa tadi? Maaf, aku tidak dengar." Melangkahkan kaki semakin mendekat. "Hii! Berhenti atau kutembak!" "Menembakku? Kh, untuk berdiri saja sekarang kau hampir tidak kuat." Mengejek, memandang dengan datar. Ia tidak ingin membuang-buang waktunya, pandangan amber itu menelisik ke seluruh ruangan, memperhatikan beberapa gelimang tubuh tak bernyawa terkapar di atas lantai- "Kawan-kawanmu sudah mati di tanganku, tapi kau ternyata masih bisa bertahan hidup. Hebat sekali. Kuberi kau penghargaan atas itu." "Apa maumu, hah?! Membohongi kami, membuat kami terjatuh dalam perangkapmu, dan membunuh kami begitu saja!" Bagaikan angin lalu, tanpa ampun wanita itu berjalan cepat, tidak peduli dengan teriakan dan ketakutan orang di hadapannya. "Menjauh!" Suara bising dari timah panas terdengar, Ia menghindar dengan lancar. Berlari semakin cepat, menunduk menghindari pukulan brutal yang diberikan laki-laki itu. Kepanikan telah membuatnya lupa kalau perbedaan besar tubuh mereka berbanding sangat jauh. "AAAA! MENJAUH!" "Kenapa kau begitu bersikeras?" Dengan mudah, sosok cantik sang amber berdiri di belakang laki-laki itu. Membuat Ia terkejut dan hendak berbalik- "AAA-" Sebuah pistol berhenti tepat di keningnya, menempel kuat, kedua manik yang membuat tubuhnya kaku seketika, suara yang terdengar sangat dingin- "Ada kata terakhir?" Mendesis pelan. Gemetar takut, menggelengkan kepalanya tanpa sadar, keringat dingin mengucur, air mata yang hampir keluar, "Kumohon! Jangan bunuh aku!” Suara angkuh tadi berubah jadi ketakutan, permintaan ampun berkali-kali terdengar. “Tolong!! Akan kuberikan kau banyak uang, berapa pun, aku akan membayarmu!! Tolong jangan bunuh aku!! Berapapun!! Aku akan membelimu-” Kehabisan kata-kata, "Berisik." Wanita itu memotong kalimat laki-laki di depannya. Ia menatap dingin, menarik pelatuk pistol, “Jika kau memang tidak ingin dibunuh, seharusnya dari awal kau hentikan tindakan bodohmu ini.”  tukasnya, tanpa ampun- “AAA, JANGAN-” Menembak orang itu tepat di kening. Membuatnya sukses terkena cipratan darah akibat jarak yang terlalu dekat. Mengenai pipi, menetes turun sebelum Ia menghapus noda itu cepat. Tubuh di hadapannya perlahan jatuh, membuat suara debuman yang cukup keras. Sang wanita menatap dingin, maniknya melihat pemandangan mayat yang tergeletak dengan mata terbuka dan bulir bening di kedua pelupuk laki-laki itu. Sementara di sini dia tetap tenang, sebelum akhirnya perlahan membalikkan tubuh, mengacuhkan aroma darah yang semakin kuat. "Hh, padahal aku belum selesai mengucapkan salam perpisahan." Menghela napas panjang, berjalan melangkahkan kaki. Menatap tubuh yang terkena cipratan darah untuk yang kesekian kali, aroma anyir yang menyengat membuat kepalanya pusing kembali. "Kh, aku harus mandi lagi." Berjalan cepat, dengan suara-suara gemercik darah di setiap langkahnya. Berjalan tanpa menghiraukan genangan darah di sekitarnya. Berwarna pekat, dan kehitaman. Warna sesuai bagi sekelompok mafia yang dengan tega menjual organ-organ tubuh manusia ataupun mayat para anak remaja ke pasar gelap. Terkenal di dunia bawah. Dia, Anindira Satya Maheswari. Usia 23 tahun. Wanita yang memiliki profesi tidak biasa sebagaimana wanita pada umumnya. Dia kuat, manik yang memancarkan kegelapan tanpa adanya secercah sinar di sana. Berbanding terbalik dengan arti namanya “Wanita Pemberani Secantik Bidadari” itu hanya sebuah kiasan, memperindah dirinya di depan masyarakat. Tanpa mengetahui sifat aslinya sendiri. Mungkin Iblis Berdarah Dingin cocok digunakan sebagai julukan. Memberikan hukuman pada sampah-sampah masyarakat yang merugikan banyak orang. Seorang pembunuh berwajah cantik, menggunakan kecantikannya sebagai senjata demi memenuhi ambisi sang ayah. Menjadi seorang pembunuh terhebat, dan menyamarkan identitas kemanapun Ia pergi. Menyembunyikan suatu rahasia yang tidak wajar dari ayahnya, seluruh keluarga. Ia berusaha bersikap Professional, segala klien yang menginginkan targetnya harus Ia basmi. Dengan satu syarat, dia tidak akan membunuh target tidak bersalah, target yang tidak dilumuri oleh dosa. Karena pada awalnya, selama ini dia bekerja hanya menjadi alat balas dendam para petinggi yang malas melumuri tangan mereka dengan darah. Para petinggi dan manusia serakah yang saling memfitnah satu sama lain, menyerang dari belakang dan membusuk dalam lingkungan masyarakat. Tapi kenapa sekarang, "Kau benar-benar gila, Ari," Mendengus dan menertawakan dirinya sendiri. Pandangan dingin itu memudar, tangannya kembali memutar kenop pintu. Di ruangan kedap suara ini, dirinya aman. Tidak akan ada yang bisa mendengar suara tembakan dari seluruh tindak tanduknya. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi kembali, dengan sebuah titik bening yang jatuh dari pelupuknya, terlihat sendu namun cukup membuat sang wanita menghapus tetesan serta mengembalikan raut wajahnya seperti semula. Ia tidak ingin melihat bagaimana pantulan wajahnya sekarang. "Hh, apa yang harus kulakukan?" desah wanita itu, menanyakan pada diri sendiri, wajahnya mengadah, menatap langit-langit kamar mandi. Bagaimana bisa seorang komandan kepolisian yang selalu menegakkan keadilan seperti laki-laki itu memiliki musuh? Balas dendam sepihak. Apa salahnya jika sebagai seorang anggota kepolisian, laki-laki itu diwajibkan untuk menangkap penjahat? Tersenyum getir, mencoba menghilangkan pemikirannya walaupun hanya sebentar, "Aku ingin cepat pulang, merasakan aroma rumah yang kurindukan, memasak," Membiarkan air dingin kembali membasuh tubuhnya, bersandar pada dinding yang dingin, "Lalu bertemu denganmu Liam." Mendapatkan sebuah pekerjaan dari sang Ayah, pekerjaan yang sangat berat, "Aku tidak tahu harus apa." Menghabisi dan membunuh salah satu orang yang penting baginya. Kh, dia bisa kehilangan akal kalau seperti ini- "Membunuh suamiku sendiri, sementara ayah sama sekali tidak tahu tentang hal itu." Ya, tubuhnya semakin lemas, namun dipaksakan untuk tetap berdiri. Ari benar-benar tidak tahu, dirinya adalah pembunuh Professional. Jika selama ini dia mempunyai idealitas hanya membunuh seorang penjahat saja, bagaimana bisa dia membunuh seorang anggota kepolisian yang tidak bersalah sama sekali? Meskipun itu adalah sosok yang Ia sayangi "Haruskah kulakukan?" Sang laki-laki tegap nan tampan yang sangat Ia cintai. Suaminya yang sama sekali tidak mengetahui pekerjaan kotornya. Menganggap kalau selama ini dirinya hanya sesosok wanita lemah lembut yang bahkan tidak berani membunuh seekor semut pun. Kh, semua itu hanya kebohongan semata. Sebuah kebohongan yang Ia tutupi oleh topeng tak terlihat dengan sempurna.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD