KBL.02 ISTRI TAK BERGUNA

1312 Words
    Aku duduk di balkon sambil menikmati air rebusan putik bunga saffron yang masih hangat. Rempah-rempah ini sangat menyegarkan tubuhku yang sangat lelah setelah beraktivitas. Saat aku meneguk air saffron yang ada di dalam cangkir, terdengar suara pintu ruang kerjaku terbuka. Aku tidak menoleh ke belakang, karena aku tahu yang datang adalah Aliye-asisten rumah tanggaku.           “Nyonya belum tidur?” Suara Aliye yang lembut terdengar dari arah pintu.       Aku menggeleng, “Belum, Aliye.”       “Apa Nyonya ingin menunggu Tuan Nathan?”       Aku menghela nafas panjang, kemudian menggelengkan kepala.       “Apa Nyonya sudah ingin tidur ke kamar?” Aliye kembali bertanya.       Aku tersenyum menatap Aliye, “Belum, Aliye. Aku masih ingin di sini menghirup udara segar.”       “Kalau begitu saya akan menemani Nyonya di sini,” kata Aliye.       Aku sedikit menganggukan kepala berarti setuju. Sudah enam tahun lamanya Aliye melayaniku. Dan selama setahun terakhir di rumah ini, hanya Aliye yang selalu setia menemaniku dan sangat mengerti aku. Ia adalah asisten rumah tanggaku yang aku bawa dari rumahku yang dulu. Ia adalah salah satu asisten rumah tangga kepercayaan suamiku terdahulu, Alexandre Wang. Saat aku berpisah dengan Alexandre Wang, ia memintaku untuk membawa Aliye pergi bersamaku. Agar ada yang selalu menjagaku meski kami tidak bersama lagi. Yah, hanya Alexandre Wang pria yang memperhatikanku hingga hal sekecil ini. Pria yang sangat mencintaiku, meski telah berulang kali tersakiti olehku. Dan sayangnya aku baru menyadari hal itu.       Hampir tiga puluh menit aku diam meski Aliye berdiri di sampingku. Aku hanya menatap ke langit sambil memikirkan nasibku saat ini. Hingga suara Aliye yang lembut memecahkan lamunanku, “Apa Nyonya baik-baik saja?”       Aku terdiam sejenak, kemudian menoleh kearah Aliye yang sedang berdiri di sampingku. “Aliye, apa Alexandre baik-baik saja?”       Aliye tersenyum, “Aku harap Tuan Alexandre baik-baik saja, Nyonya.”       Aku kembali terdiam beberapa menit, dan melanjutkan ucapanku. “Andai saja aku masih dengannya, mungkin aku masih bisa berjalan seperti dulu. Mungkin aku tidak akan semenderita ini.”       Tanpa ku sadari cairan bening mengalir di pipiku. Ini lah yang sering terjadi padaku, meneteskan air mata setiap kali merasa sedih dan tak berdaya. Aliye mendekat padaku, berjongkok menyamakan tingginya denganku dan menyentuh pipiku yang basah karena air mata. “Nyonya, jangan menangis lagi. Apa Nyonya sangat merindukan Tuan Alexandre?”       Aku mengangguk lemah tak berdaya. Merasakan kepedihan di hatiku dan merasakan penyesalan yang begitu dalam. Aku sangat menyesal telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku sangat menyesal telah meninggalkan Alexandre Wang yang sangat mencintaiku hanya untuk mengejar cinta pertamaku, Nathan Collins.       Hidungku tersumbat dan suaraku berubah menjadi serak karena menangis. Aku menarik nafasku dalam-dalam agar bisa berpikir dan berbicara dengan jelas. “Aliye, sekarang aku hanya bisa pasrah dengan nasibku. Mungkin ini adalah hukuman bagiku yang telah mengkhianati pernikahan dan menyia-nyiakan pria sebaik Alexandre Wang.”       Aliye semakin mendekatkan tubuhnya padaku, ia memelukku begitu erat seolah ia sangat mengerti perasaanku. “Nyonya, jangan bicara begitu. Aku yakin Nyonya akan sembuh dan bisa berjalan lagi. Aku yakin, kesedihan akan segera berakhir. Dan aku yakin suatu saat Nyonya akan bahagia.”       Aku merenggangkan pelukkan Aliye dari tubuhku. Saat aku menatap wajahnya yang lembut, ku dapati setetes air mata di pipinya. Yah, dia sangat tahu apa yang aku rasakan. Dan ia juga menyaksikan semua yang terjadi padaku selama enam tahun terakhir ini. Aku mengulurkan tanganku mengambil tangan Aliye yang ada di sisi kursi rodaku. Meletakkan  tanganku di atas punggung tangannya, dan menariknya agar berada di atas pahaku. “Aliye, terima kasih telah menjagaku sepenuh hati. Terima kasih telah menjadi temanku di kala suka maupun duka.”       Aliye mendongakkan wajahnya menatapku lekat, “Nyonya, jangan seperti itu. Aku akan selalu menemanimu kemanapun Nyonya akan pergi. Aku akan setia mengabdikan diriku padamu hingga Nyonya tidak menginginkanku lagi. Ini janjiku pada Nyonya dan Tuan Alexandre. Nyonya dan Tuan Alexandre sangat baik padaku. Dan Nyonya sudah ku anggap seperti kakakku sendiri.”       Aku kembali memeluk erat Aliye yang masih berjongkok di hadapanku. Aku seperti mendapatkan sedikit ketenangan yang aku cari. “Jika Nyonya ingin bertemu dengan Tuan Alexandre aku bisa….”       Tiba-tiba pintu ruang kerjaku di tendang dengan keras. Aliye yang sedang berbicara tersentak karena kaget, menghentikan ucapannya dan melepaskan pelukanku.       “EMIRAAA…” aku dikagetkan oleh suara teriakan Nathan yang sudah berdiri di ambang pintu. Matanya yang merah karena mabuk menatapku tajam dengan tatapan benci. Kemudian ia berjalan langkah demi langkah mendekati kami.       “Well…well…well… Apa kau menangis lagi?” Nathan bertanya dengan wajah mengejek.       Aku hanya menunduk diam tidak memberi jawaban. Nathan dengan sempoyongan, melangkah ke depan mendekatiku dan mengangkat tangannya memberikan isyarat pada Aliye untuk memberinya jalan. Nathan sedikit membungkuk mendekatkan wajahnya padaku, “Emira, apa hanya menangis yang bisa kau lakukan setiap harinya? Heh?”       Aku masih diam tidak menjawab. Aku sangat benci dengan perlakuan kasar Nathan terhadapku, dan aku juga tidak punya keberanian untuk melawannya. Aku sangat takut jika ia memukuliku lagi. Nathan semakin kesal karena aku tidak menjawab satupun pertanyaanya. Ia mengangkat tangannya hendak menjambak rambutku, tapi Aliye segera menghentikannya. “Tuan…jangan.”       Nathan menatap wajah Aliye yang memohon padanya. Ia mematung sejenak kemudian melepaskan tangan Aliye yang ada di lengannya dengan kasar. Ia menendang kursi rodaku hingga aku hampir terjatuh. Untung saja Aliye segera menyanggah tubuhku yang hampir tersungkur ke lantai.       “Suami pulang bukannya menyambutku, tapi kau malah menangis. Setiap hari menangis. Dasar istri tak berguna!!” Nathan berbicara kasar dengan berteriak keras. Ia melangkah sempoyongan berjalan keluar ruangan kerjaku. Sedangkan aku hanya bisa mengusap wajah dengan kedua tanganku menahan tangis.       Yah, hampir setiap kali Nathan pulang ke rumah ia selalu dalam keadaan mabuk. Sepulang dinas dari rumah sakit ia akan selalu pergi ke club. Kadang ia tidak pulang ke rumah, aku tidak tahu ia pergi kemana. Tapi setiap ia ingin pulang ke rumah ia akan pulang tengah malam dalam keadaan mabuk dan membuat kekacauan. Seperti malam ini, sudah hampir satu minggu ia tidak pulang ke rumah, dan saat pulang ia membuat kekacauan dan menyakitiku.       “Nyonya, apa Nyonya baik-baik saja?” Aliye membantu memperbaiki posisi dudukku yang hampir jatuh karena tendangan Nathan.       Aku mengangkat sedikit sudut bibirku, memberi sedikit senyum pada Aliye agar ia tidak terlalu mengkhawatirkanku. “Aku tidak apa-apa Aliye.”       “Tapi kaki Nyonya….” Aliye menatap ke atas pergelangan kakiku yang memar akibat terkena ujung sepatu pantofel Nathan saat menendang kursi rodaku. Ini bukan pertama kalinya tubuhku memar. Setiap bertengkar dengannya akan ada meninggalkan bekas luka atau memar pada tubuhku.        “Tunggu sebentar, akan ku ambilkan obat untuk Nyonya.” Aliye bangkit dan berjalan memasuki ruang kerjaku.       Aku membungkukkan tubuhku dan memegang pergelangan kakiku yang memar. Aku tidak merasakan kesakitan karena kakiku mati rasa, tapi karena kulitku yang putih membuat memarnya terlihat sangat jelas. “Tidak apa-apa Aliye, nanti akan hilang dengan sendi….”       Saat aku ingin meluruskan punggung mengatur posisi dudukku kembali, mataku menoleh kearah pagar balkon yang tidak jauh dariku. Ucapanku terhenti saat melihat ada seseorang yang sedang berdiri di depan halaman rumah dari sela-sela pagar tembok balkon. Mataku membola karena kaget, tertuju pada sosok yang sedang berdiri itu.       Aku yang merasa sangat penasaran dengan sosok berdiri itu, menggerakkan kursi rodaku mendekati pagar balkon. Aku menatap lekat-lekat orang yang sedang berdiri itu, sesosok yang sangat familier dan sangat aku kenal. Pria itu memakai kemeja hitam dengan lengan yang dilipat hingga siku. Ia duduk di kap mesin mobilnya menatap kearah balkon sambil mengeluarkan kepulan asap rokok.       Aku terpaku sejenak, kemudian memanggil Aliye yang sedang berada di dalam ruang kerja mengambil obat untukku. “Aliye….”       “Iya, Nyonya…” Aliye berteriak dari dalam ruangan.       “Ke sini sebentar.”       Aliye berlari kecil menuju balkon dengan sekotak obat di tangannya. “Ada apa nyonya?”           Mataku tidak menoleh pada Aliye yang sudah berada di sampingku. Mataku masih menatap lekat pada sosok yang masih berdiri di depan halaman rumah. “Apakah itu…..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD