SANG PETINGGI sekolah duduk dengan posisi paha kanan memangku paha kiri. Sebelah telapaknya bergoyang-goyang tangkas dan menampilkan kaos kaki berwarna abu-abu bergambar botol s**u. Dia mengenakan pakaian santai yang pada bagian depannya juga bergambar botol s**u. Bahkan dia dijuluki raja botol s**u oleh sebagian besar keluarga dan staf karyawannya.
Sejatinya sang raja botol s**u ini sudah cukup tua. Umurnya hampir menginjak angka lima puluh lima tahun. Sebagian dari rambutnya sudah putih, bahkan kumisnya juga hampir berwarna putih semua. Namun dia tak risi. Dia justru senang karena putih melambangkan warna s**u dan segala sesuatu yang menyangkut botol s**u adalah kebanggaannya.
Pada meja yang berada di hadapannya terdapat semacam plank nama kecil berbentuk prisma segitiga. Meja ini adalah meja khusus milik ketua yayasan sekolah dan tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang bersangkutan atau koleganya. Di situ tertulis jelas namanya,
Tuka Bin Botol s**u.
AYAP MASUK ke ruangan itu dengan wajah yang cemberut. Dia sudah tahu pasti kakeknya akan melontarkan amarah lagi yang biasa ia juluki 'ocehan botol s**u'. Namun tak ada pilihan. Setidaknya dia tak mendapat hukuman seperti lawan berkelahinya tadi karena Ayap adalah cucu tunggal dari pemilik yayasan.
Di dalam ruangan, kakeknya sudah menunggu. Begitu ia masuk, tatapan tajam kakek yang memakai baju bergambar botol s**u itu langsung memenuhi pandangannya. Tangan kakeknya melambai-lambai yang dibarengi dengan wajah penuh keangkuhan, itu adalah pertanda bahwa Ayap harus segera duduk dan mendengarkan siraman rohani tentang botol s**u lagi.
Ayap pun duduk, tapi hatinya sama sekali tidak was-was. Paling-paling kakeknya hanya akan mengomel biasa, itu yang dia pikirkan. Dia yakin takkan mendapat hukuman. Kakeknya segera menyilangkan lengan dan mulutnya sedikit dimiringkan.
"Ayap, Ayap!" Tuka menggeleng-geleng. "Kenapa, sih, kamu nggak bosan-bosannya bikin ulah di sekolah Kakek ini? Hari itu kelahi sama penjual pentolan, kelahi sama tukang gulali kelahi sama pengemis, kelahi sama pemulung, sekarang Kakek dapat kabar dari kepala sekolah kalau kamu kelahi lagi. Sama siapa lagi? Jangan bilang Ibu-Ibu hamil kamu ajakin berantem juga, ya!"
Wajah Ayap seketika lusuh. Ya elah, Kek, ngapain juga gue ajak ibu-ibu hamil kelahi. Bisa dibacok pake botol s**u gue sama suaminya. "Ayap kelahi sama teman beda kelas, kok, Kek. Bukan sama mereka-mereka yang nggak berkualitas itu."
Kakeknya menghempaskan tangan di meja dan itu membuat Ayap kaget. "Oh, jadi kamu pikir berkelahi sama teman itu berkualitas, hah?"
Ayap tertunduk. "Bu-bukan begitu maksud Ayap, Kek, tapi--"
"Ayap, Ayap. Kamu ini jangan bikin malu keluarga besar botol s**u kita, dong. Kalau kamu bertingkah aneh terus di sekolah, bisa tercoreng nama baik Kakek nanti. Kamu itu cucu kesayangan Kakek, Ayap. Kamu itu pewaris tunggal bisnis botol s**u Kakek untuk generasi yang kelima. Kakek-kakek buyutmu pasti marah kalau sampai tahu ini."
Mereka, kan, udah meninggal, Kek, udah damai bersama botol susunya, sahut Ayap dalam hati. Dia masih mengheningkan cipta.
"Sekarang jelaskan kenapa kamu kelahi lagi? Kakek nggak mau dengar lagi alasannya karena tentang dot bayimulah, minyak kemirimulah, minyak kayu putihmulah, Kakek nggak mau dengar." Bentak Tuka yang kini menegakkan badannya pada sandaran kursi goyang.
"Karena cinta, Kek."
Tuka terperanjat. Badannya dimajukan. "Apa? Karena cinta? Ada juga, toh, cewek yang suka sama cowok bayi kayak kamu, Yap." Namun seketika matanya berbinar-binar. "Siapa, Yap, siapa nama ceweknya?"
Yang suka sama Ayap banyak kali, Kek, di sekolah ini. Cuma Ayap aja yang nggak pernah cerita.
"Bukan tentang cewek, Kek."
"Yang suka sama kamu bukan cewek? Bukan manusia? Astaga." Tuka menepuk pelan jidatnya. "Jadi yang suka sama kamu itu kucing bunting? Atau sapi buncit? Atau--"
"Botol s**u, Kek."
Mata Tuka menceleng persis melihat sekretaris hendak membuka pakaian di hadapannya. "Apa? Botol s**u? Bagaimana mungkin botol s**u bisa suka sama kamu, Yap? Kamu ini sudah gila, ya! Jangan-jangan tadi waktu turun sekolah, kamu lupa minum air s**u Mamamu, ya? Ah, aku nyesal udah manggil dia ke kantor tadi pagi."
"Oh jadi Kakek yang nyuruh Mama pergi tadi pagi!" Ayap sedikit terkejut. "Berarti ini semua gara-gara Kakek. Ayap nggak sempat minum air susunya Mama, Kek."
Kakeknya langsung agak panik. "Aduh maafin Kakek, Ayap. Kakek lupa kalau tiap pagi itu jadwal air susumu. Pantas aja kelakuanmu jadi aneh begini. Ya sudah, ya sudah, Kakek janji nggak bakal marahin kamu, tapi sekarang cepat cerita, ada apa sama botol s**u itu."
"Karena cinta Ayap sama botol s**u, Ayap kelahi sama Rudi, Kek."
"Maksudnya gimana itu?"
"Dia gambar-gambar botol s**u di dinding belakang sekolah, Kek. Dan di setiap gambarannya terdapat hinaan untuk botol s**u. Dia bilang botol s**u karatanlah, botol s**u jamuranlah, pokoknya banyak, deh, Kek. Ya jelas aja Ayap marah karena produksi botol s**u itu, kan, usaha turun-temurun keluarga kita."
Tuka geram. "Kurang ajar! Berani-beraninya dia hina botol s**u kita. Tapi dia sudah diberi hukuman, kan."
"Sudah, Kek. Tadi kepala sekolah yang hukum dia."
"Nanti Kakek bakal tambahin hukumannya tu anak. Tapi kamu juga harus dapat hukuman, Ayap. Selama ini Kakek selalu bela kamu. Nanti apa kata kepala sekolah kalau Kakek selalu bersikap sepihak begini."
Ayap cemberut. "Hah, Kakek bakal hukum Ayap juga? Tadi, kan, Kakek sudah janji nggak bakal marah sama Ayap."
"Kakek nggak marah, Ayap. Ini demi keadilan juga. Berpuluh-puluh kali kamu melanggar peraturan sekolah, tapi Kakek selalu membela kamu. Ini sudah terkesan memihak. Kakek tahu Rudi yang salah, tapi kamu juga harus menerima hukuman."
Ayap sedikit muak. "Ok, ok! Ayap terima, deh, hukumannya. Sekarang Kakek mau hukum Ayap apa? Ambilin sampah? Bersihin toilet? Atau apa?"
Tuka menggeleng-geleng. "Hukuman ini bukan sekedar hukuman, Yap, tapi sekaligus kamu juga akan membantu bisnis botol s**u Kakek."
Ayap mengernyit. "Bantuin bisnis Kakek? Maksudnya?"
"Kamu harus bantu jualkan botol s**u Kakek sebanyak 100 biji."
Ayap mendelik. Bibirnya tumpah. "Apa, Kek? Jadi maksud Kakek Ayap harus jadi sales botol s**u keliling gitu?"
Tuka mengangkat bahu. "Ya itu terserah kamu bagaimanapun caranya. Yang jelas kamu harus habiskan 100 biji botol s**u itu dalam waktu seminggu."
"Seminggu, Kek?"
Tuka mengangguk. "Bukankah ini hukuman yang bagus! Jarang-jarang, kan, ada hukuman kayak gini, hukuman yang sekaligus bisa bantuin bisnis keluarga kita."
Bagus apanya! Kakek nyebelin. "Ok, Kek, Ayap terima, deh, tapi tolonglah, Kek, waktunya diperpanjang. Masa' cuma seminggu doang. 100 biji itu banyak, Kek."
"Ok, dua minggu. Gimana?"
"Sebulanlah, Kek, plis!"
"Ok, sebulan, tapi ingat, Ayap harus janji dalam sebulan botol s**u itu harus sudah habis terjual. Kalo nggak, nanti Ayap bakal dapat hukuman yang lebih berat lagi."
Dasar kakek bawel. "Iya, iya, Kek."
Ayap pun meninggalkan ruangan kakeknya. Dalam hatinya bergemuruh, bagaimana mungkin gue bisa jual 100 biji botol s**u dalam waktu sesingkat itu? Coba bukan kakek gue, udah gue sumpel dot bayi kali tuh mulutnya yang mirip moncong tikus curut. Kakek sialan.