STM 6

1053 Words
Saat Kau Mencampakkanku demi Mantan Istrimu, Saat Itu Juga Kuterima Lamaran Saudara Kembarmu BAB 6 Sore ini aku beraktivitas seperti biasanya. Bakda ashar mengajar les matematika di rumah Elisa. Setelah mengajar usai lima menit lalu, aku mampir ke super market untuk membeli keperluan bulanan. Semua memang selalu kulakukan sendirian karena Mas Eris terlalu sibuk dengan dunianya. Jarum jam di tangan nyaris menunjuk angka lima saat aku sampai di halaman parkir super market. Gegas memarkir motor lalu masuk ke super market cukup besar yang tak jauh dari rumah Elisa itu. Baru mengambil keranjang belanja, tiba-tiba mataku menangkap sosok mereka dari kejauhan. Mbak Fika dan Mas Eris tampak ngobrol sesekali tertawa sembari memilih-milih belanjaan. Hatiku mencelos. Ada sesak yang semakin terasa dalam d**a lagi dan lagi. Aku tak tahu kenapa harus bertemu dengan mereka di sini. Semakin lama mereka terlihat semakin dekat, seolah tak peduli jika aku benar-benar memergoki kedekatan mereka yang di batas garis wajar. Edo sepertinya juga sangat bahagia melihat ayah dan mamanya kembali bersama. Rasanya aku ingin cepat-cepat pisah dengan laki-laki itu. Percuma bertahan, jika hasilnya mengecewakan. Percuma berjuang jika yang diperjuangkan justru mengabaikan. Gugatan cerai sudah kuurus kemarin siang. Mas Eris pasti akan kaget jika nanti panggilan sidang itu tiba-tiba datang. Mungkin dia pikir, aku yang dicap perawan tua itu nggak akan bisa berbuat apa-apa dan nggak berani mengambil keputusan sebesar ini meskipun terus disakiti dan diselingkuhi. Dia kira aku akan pasrah menerima nasib sekalipun dia nggak peduli dan semena-mena. Sayangnya aku tak sebod*h yang dia bayangkan. Alih-alih takut diceraikan, aku justru menggugatnya bukan? "Kamu di sini juga, Mas? Kupikir beneran ke rumah teman, eh ternyata ketemu mantan," ucapku saat mereka masih asyik tertawa sembari mengambil beberapa bungkus snack dan memasukkannya ke dalam keranjang. Keduanya menoleh seketika. Perempuan itu tersenyum miring lalu menyilangkan tangannya ke d**a. Mbak Fika terlihat begitu jumawa karena merasa sudah menggenggam hati mantan suaminya. Mungkin bangga bisa mencuri hati Mas Eris kembali, sekalipun kesalahan fatal pernah dibuatnya. Namun, ekspresi Mas Eris justru sebaliknya. Dia cukup shock saat benar-benar berpapasan denganku. "Kok kamu di sini, Nin? Kamu ngikuti aku?" tuduhnya kemudian. Aku hanya tersenyum tipis. "Buat apa? Memangnya aku nggak ada kerjaan harus mengikuti manusia tak punya malu dan tak tahu diri seperti kalian berdua? Sorry, nggak ada gunanya dan buang-buang waktu," balasku sengit sementara Mas Eris hanya mendelik. Aku yakin dia nggak percaya aku bisa mengucapkan kata-kata sepedas itu padanya sebab selama ini aku selalu bertutur lembut karena sangat menghormatinya. Namun, semua berubah sejak dia kembali bersama Mbak Fika. Kurasa bukan aku yang salah, tapi karena dia yang berulah. Sejak awal menikah, dia memang begitu yakin jika aku terlalu mencintainya. Mungkin dia merasa menjadi pahlawan kesiangan karena sudah menyelamatkanku dari status perawan tua. Mungkin dia juga berpikir jika aku salah satu perempuan yang cinta buta. Rela mengorbankan hati dan hidupnya hanya untuk cinta palsunya itu. Sayangnya, lagi-lagi aku bukan perempuan lemah dan pasrah menerima apapun perlakuan suami. "Ngomong apa kamu, Nin? Nggak ada sopan-sopannya ngomong sama suami." Mas Eris menatapku tajam. Aku kembali tersenyum tipis. "Bukankah ada slogan anda sopan kami segan, Mas? Selama ini kamu sopan nggak? Selama ini kamu menghargai ku sebagai istri apa nggak? Ohya, lupakan saja. Silakan dilanjut, aku juga mau beli camilan sekalian pamit mau menginap di rumah ibu," balasku cepat lalu beranjak meninggalkan mereka begitu saja. "Nin! Kamu mau ke rumah ibu? Mau ngadu maksudmu?" Mas Eris menyekal lenganku tiba-tiba. "Tenang saja, Mas. Aku sudah dewasa dan punya pilihan hidup sendiri. Jadi, nggak ada gunanya ngadu segala." Mas Eris manggut-manggut lalu tersenyum tipis. Dia pasti mengira jika aku akan tetap bertahan pada pernikahan ini dan tak akan mengadukan sikapnya pada ibuku. Sejak dulu dia memang sepercaya diri itu. "Sudahlah, Mas. Kita ke sini mau belanja bulanan, kan? Bukan ngurusin istri keduamu itu? Kasihan Edo sudah menunggu. Biar saja dia pergi ke rumah ibunya," ucap Mbak Fika dengan suara manjanya. Menjijikkan. Bukannya cemburu, sekarang aku justru jijik melihat tingkah mereka. Keduanya memang cocok, sama-sama nggak ada akhlak. "Lihatlah, Fik. Meski sudah duda, aku masih bisa menikahi seorang gadis mandiri dan cantik. Aku masih bisa mendapatkan perempuan yang tulus mencintaiku pasca kepergianmu. Hanin terlalu mencintaiku sebagai suaminya. Selama ini dia selalu patuh apapun yang kukatakan, bersikap lembut dan tak pernah membangkang. Kamu saja yang kurang bersyukur sudah mendapatkan cinta dariku pakai selingkuh segala." Mas Eris menatap kedua mata perempuan itu. Benar-benar menjijikkan. "Status kalian tak lagi suami istri. Sebaiknya jangan terlalu dekat karena bisikan syetan ada di mana-mana. Malu kalau sampai terjerumus dalam zina. Dosa besar. Ohya satu lagi, Mas. Tunggu kejutan dariku," pungkasku dengan senyum tipis. Sebelum berlalu dari hadapan mereka, sempat kulihat Mas Eris menatapku lekat. Seolah bertanya-tanya apa yang sebenernya kurencanakan dan akan kulakukan. "Menangislah, Nin. Biarkan kekesalan dan sakit hatimu luruh. Mungkin dengan begitu kamu akan lebih lega dan bisa menerima segala qadarNya dengan lapang d**a. Jika kamu mau, aku siap mendengarkan semua keluh kesahmu. Datanglah padaku jika membutuhkan sesuatu. Aku akan membantumu dengan senang hati." Terdengar suara lirih dari belakang. Aku membalikkan badan saat laki-laki itu berdiri tak jauh dariku, hanya berjarak dua langkah saja. Dia kembali tersenyum tipis. Perlahan menganggukkan kepala untuk meyakinkan ucapannya saat aku menatapnya dengan mata berkaca. Ah dia, siapa lagi kalau bukan saudara kembar Mas Eris itu. Aku tak tahu kapan dia datang, tapi entah mengapa kedatangannya sedikit melegakan hatiku yang tadi begitu sesak. "Ak-- aku nggak apa-apa, Mas," balasku gugup. Buru-buru menyeka kedua pipi yang basah. "Begitulah perempuan. Selalu bilang nggak apa-apa, padahal jelas ada apa-apa. Aku tahu, ada banyak rasa di balik nggak apa-apanya." Aku mencoba tersenyum tipis meski sedikit terpaksa. "Aku tahu senyummu kali ini cukup terpaka. Kalau kamu izinkan, aku bisa menggantinya menjadi senyum bahagia." Lagi-lagi ucapannya seperti membiusku hingga ternganga. Gegas kualihkan pandangan karena tak ingin kembali bersirobok dengannya. "Jangan aneh-aneh deh, Mas. Statusmu sah iparku. Bahaya kalau nanti-- "Nanti apa?" Mas Eris mensejajari langkahku. "Nanti kalau kamu jatuh cinta beneran?" Aku tak menjawab. Hanya diam saja lalu melanjutkan langkah. "Kenapa diam? Aku akan tetap mengejar apa yang pantas kukejar, Nin! Jika dia tak bisa membuatmu bahagia, aku akan berusaha menggantikannya. Mungkin dia hanya sebagai perantara untuk menyatukan aku dengan jodohku yang bisa jadi itu ... kamu." Aku memberhentikan langkah sejenak, lalu buru-buru meninggalkannya. Mas Eros tak lagi mengejar. Hanya saja saat aku menoleh sekilas, laki-laki itu masih terpaku di sana. Dia terus menatapku dengan senyum tipisnya. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD