Pertemuan

1000 Words
Bau koktail bercampur asap cerutu berkolaborasi memenuhi ruangan. Aku membenci bau keduanya. Tapi saat ini aku justru berada dalam lingkup aroma keduanya. Meski begitu, biar kujelaskan bahwa aku hanya minum koktail tanpa merokok. Aku tidak begitu t***l untuk mengetahui bahwa mengonsumsi keduanya bisa berakibat fatal padaku. Jangan salah paham. Aku bukan jalang, keberadaanku di tengah kerlip lampu disko dan musik yang memekakkan telinga tidak untuk menjajakan tubuhku. Aku pun bukan wanita hedonis yang acap kali menjadikan alkohol sebagai pengganti air putih. Aku hanya wanita malang yang kebetulan perlu bertualang. Di tengah gemuruh musik, suara dering ponsel menghentikan gerakan tanganku yang sedang menenggak kembali gelas berisi koktail untuk ke tiga kalinya. Pangkal hidungku berkerut. Pening mulai melanda. Baiklah, setelah ini aku akan menyimpan rapat-rapat kekonyolanku malam ini dari Dita, atau telingaku akan sakit sepanjang hari karena ejekannya. Aku membuka ponsel. Indra penglihatanku meremang kala sepasang netra ini membaca deretan kalimat penghakiman pada benda datar berlayar di tanganku. “Kamu gagal lagi? Dasar anak tidak berguna. Seharusnya aku tidak pernah melahirkanmu di dunia ini.” Hanya pesan singkat, tapi efeknya bisa membuat tubuhku meremang hingga berakhir kebas. Tak terasa setitik air melesak tanpa izin di pelupuk mata. Cih. Kenapa juga harus bersedih. Kuhapus air mata sialan ini. Bukankah ini sudah kali ke seratus dia mengatakan ketidakberuntungnya karena telah melahirkanku?! Oh betapa tidak tahu dirinya aku karena masih mengharapkan secuil pengakuan dari wanita yang telah membuka kedua pahanya di hari pertama aku mengenal dunia. Segera kumasukkan kembali ponsel di atas saku. Lalu kembali meraih gelas di depanku. Tegakan ke empat. Aku merasa perasaanku membaik. Beban di tubuhku berkurang dan aku merasa tubuhku melayang. Aku bersumpah rasanya saat ini sangat menyenangkan. Tidak pernah kurasakan perasaan sebebas ini dalam hidupku setelah beberapa hari kemarin. Bahkan sekarang wanita menyedihkan ini bisa melepaskan tawa di tempat ini tanpa takut seseorang menjambak rambutku. Memangnya siapa yang akan melakukan itu? Bukankah keberadaan mereka di sini untuk bersorak saling mendahului musik yang mendengung hingga pita suara mereka rusak?! Katakan aku si bodoh. Kurogoh kembali ponsel yang sudah kumasukkan di dalam saku. Kunyalakan kembali layar ponselnya lalu aku mencari nomor kontak seseorang yang sudah dua tahun wajahnya mengiasi layar ponselku. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silakan coba beberapa saat lagi.” Tawaku makin kencang. Ini kali ke seratus aku melakukan hal serupa—menghubunginya— dan selalu berakhir sama. Kuputuskan untuk kembali menyimpannya di dalam saku. Kemudian aku memilih berdiri. Meninggalkan hirup pikuk bersama bau yang memuakkan. Terlebih setelah kurasa seorang perempuan— berpakaian sexy dengan warna merah senada warna bibirnya—memuntahkan sesuatu tepat di sebelahku. Aku menyerah. Gegas kuseret tubuh ini sambil melangkah gontai mencari sebuah toilet. Namun urung kutemukan toilet. Netraku menangkap sosok lelaki berpakaian serba hitam dengan kacamata hitam. Mirip seperti orang hendak melayat. Aku mabuk, dan tentu saja. Jika tidak, mustahil diriku melupakan mual diperut dan berganti dengan langkah gontai mendekati pria misterius itu. “Butuh teman?” Sebetulnya itu bukan tawaran. Karena aku tidak benar-benar membutuhkan jawaban darinya. Pria itu menengadahkan kepalanya. Entah ekspresi macam apa yang dia suguhkan. Manikku tidak bisa merangkum dengan jelas karena kacamata yang menghalanginya. “Orang bilang 70% keberadaan seseorang di sini karena gaya hidup dan 30% karena masalah hidup. Lo yang mana?” Aku mulai meracau lalu duduk di sampingnya tanpa peduli ia memberikan izin atau tidak. Lelaki berpakaian serba pekat itu tak kunjung menjawab kelakarku. Geram, aku menendang betisnya. Dia tidak boleh mengabaikanku seperti Rian mencampakkanku! Kontan lelaki di hadapanku melenguh kesakitan. Aku berani bertaruh bahwa sepatu hak tinggiku dengan model lancip di bagian depannya cukup untuk memberi luka benturan di betisnya nanti. Melihat merah di beberapa bagian wajahnya, bukan merasa bersalah. Pengaruh Alkohol justru membuatku semakin terbahak-bahak seperti orang sinting. “Lemah!” kataku. “Lo tau siapa manusia yang paling kuat di dunia ini?” Dagu kuangkat memperlihatkan kecongkakanku. “Gue!” Telapak tangan kupukul-pukul di depan d**a dengan jumawa. “Gue!” kuulangi sekali lagi. "Nana." “Lo mabuk, mending Lo balik aja deh. Ini tuh bukan area main anak kecil yang masih terbiasa minum-minuman bersoda.” Dengar?! Dia mengejekku! Aku terbiasa dengan hinaan. Namun salah jika orang berpikir aku akan berdiam diri setelahnya. Tidak. Bukan begitu cara mainnya. Biar kulihatkan bagaimana sikap orang yang terbiasa direndahkan menanggapi ocehan manusia-manusia sombong . Aku mengangkat telapak tangan ke udara hendak menyapa wajahnya. Namun urung, karena rasa mual lebih dulu menyergap. Bau yang sama dengan wanita berpakaian serba merah tadi menguar memenuhi Indra penciuman. Aku menyunggingkan senyum sebelum akhirnya semuanya gelap dan sunyi. *** Alfiando Seharusnya aku meninggalkannya saja alih-alih membantunya. Bersikap sok pahlawan dengan mengantarkannya pulang seorang pemabuk amatiran akhirnya menjadi hal terbodoh yang kulakukan sepanjang hidupku. Karena setelah setengah jam mencari identitas wanita itu, tak jua kutemukan apa pun untuk petunjuk alamat wanita sableng ini. Cerdasnya lagi, dia memberi kode pada ponselnya sehingga aku tidak bisa mengakses alamat di benda pipih panjang itu. Oh betapa sempurna malam ini. Sangat sempurna hingga aku ingin mencekik wanita yang tergeletak tak sadarkan diri di dalam mobilku ini. Aku menjambak rambut kuat-kuat. Memaksa otak untuk mengeluarkan jalan keluar untuk wanita ini. Apa yang harus kulakukan? Menggeletakkannya di jalan begitu saja? Itu ide bagus. Namun aku harus bersiap untuk esok hari menerima rumor “Alfiando Atmaja membuang seorang mayat di pinggir jalan” lalu kehilangan sebagian kontrakku di tahun ini. Meski itu bukan masalah besar melebihi masalahku berhadapan dengan Ibu nantinya. Ya siapa yang tahu wanita ini akan mati keesokan harinya lalu aku jadi tersangka. Suara dering ponsel menginterupsi kekalutanku. Kubuka ambil ponselku di atas dashboard lalu membuka pesan yang baru saja masuk. “Pekan depan kita harus membicarakan masalah ini sama keluarga besar, Fi." Fi? Naira masih memanggilku "Fi". Seolah semua akan baik-baik saja setelah dirinya menentukan langkah tanpa membicarakan denganku terlebih dulu. Kontan hatiku mendesir perih. Kubuka pintu mobil dengan kasar dan menutupnya sepenuh tenaga yang kupunya hingga terdengar benturan yang tidak santai. Aku membuang ponselku sejauh yang kubisa lalu aku berteriak sekencang mungkin. Tidak lagi memedulikan apakah ada orang yang melihatku atau tidak nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD