Sayangnya, tekat yang kuat saja tidak bisa mengubah takdir dengan mudahnya. Karena bahkan hingga tujuh bulan kemudian Arafi masih tidak berhasil menemukan pekerjaan yang di idamkannya. Ia masih harus berada di cafe sebagai pelayan karena semua lamaran pekerjaannya tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya.
Setidaknya ia masih bisa memiliki uang yang bisa ia bagi dengan Duta dan Andin agar tidak terlalu membebani pasangan itu. Walaupun Abangnya itu kerap kali menolak dan harus Arafi paksa sedemikian rupa hingga akhirnya bisa diterima.
"Fi, motor kamu masih di bengkel kan? Bareng sama Abang aja ya berangkatnya," ajak Duta.
Arafi yang baru keluar dari kamar dan sedang mengenakan jaketnya mengangguk pelan. Motornya memang mogok kemarin saat hujan besar dan terendam air. Sehingga kemarin saat ia mendapatkan shift malam, dia harus menggunakan ojek online untuk berangkat kerja.
"Boleh deh, Bang. Lumayan ngirit ongkos," setujunya.
Duta yang sudah duduk di kursi meja makan tertawa pelan.
"Ngirit banget kamu nih. Buat apa sih, Raf? Buat modal nikah? Jangan-jangan selama ini kamu udah punya pacar tapi engga bilang ke Abang ya?" tebak Duta.
Arafi tersenyum geli mendengar tebakan ngaco Abangnya itu.
"Engga ada yang begituan, Bang. Aku belum mikirin ke arah situ," kilahnya.
Bagaimana mungkin dirinya bisa menikah jika satu-satunya wanita yang ia cintai sudah lebih dulu menghadap Tuhan? Jangankan untuk menikah, menjalin hubungan pacaran dengan seorang wanita saja tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Kalaupun mau nikah juga engga apa-apa kok, Raf. Sekarang kan lagi jamannya nikah muda," sahut Andin yang datang membawa sayur asem dalam mangkok besar.
"Resikonya terlalu besar, Teh. Arafi belum siap lahir batin," kelakarnya.
Andin tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Iya sih, yang namanya nikah harus dipikirin bener-bener. Teteh malah dulu sempat ragu padahal tinggal dua hari lagi menikah, kata orang itu ujian sebelum pernikahan. Biasanya calon pengantin cenderung banyak khawatir jadinya suka mikir yang engga-engga. Nanti kamu kalau cari calon istri, cari yang jangan baperan kayak Teteh ya, Raf," seloroh nya.
Arafi tertawa mendengar ucapan Teteh nya itu. Jika saja Orin masih hidup, dia yakin Orin juga akan banyak khawatir menjelang hari pernikahannya. Karena yang ia tahu, Orin adalah sosok gadis manja yang mendapat perhatian berlimpah dari keluarga yang begitu menyayanginya.
Helaan nafas pelan keluar dari Arafi. Sudah lima tahun dan dia masih berharap bahwa Orin masih hidup. Perasaannya pada gadis itu ternyata bukan main-main seperti yang ia pikir dulu. Cinta pertama ternyata begitu mengerikan, apalagi dia dan Orin harus terpisah dunia yang berbeda.
"Abang tunggu di depan sambil panasin motor ya, Raf."
Arafi langsung mendongak saat Duta bicara padanya. Dia mengangguk dan melanjutkan makannya dengan cepat karena tidak ingin Duta menunggunya terlalu lama.
**
"Pagi, Raf!
Arafi tersenyum tipis saat melihat Wulan tersenyum cerah menyambutnya di pintu masuk cafe.
"Pagi, Lan. Engga nyangka datengnya barengan," balas Rafi.
Wulan mengangguk, "Iya nih, kebetulan apa emang jodoh ya?" candanya dengan senyum malu-malu.
Arafi tertawa pelan, "Bukan kebetulan bukan jodoh juga, karena jam masuk kita memang jam segini kan," kelakar Rafi.
Pria itu tidak menyadari aura kecewa yang ditunjukkan Wulan sesaat setelah mendengar jawabannya.
Arafi berjalan masuk lebih dulu, menahan pintu agar Wulan bisa masuk pertama dan ia mengikuti setelahnya. Sebuah tindakan kecil yang tidak berarti apa-apa bagi Arafi itu justru berdampak besar pada gadis yang sudah lama menyukainya.
Wulan tampak tersentuh, menganggap apa yang dilakukan oleh Arafi adalah bentuk perhatian pria itu padanya.
"Mau ke loker kan?" tanya Arafi yang diangguki oleh Wulan.
Mereka jalan bersisian sampai akhirnya suara yang selama ini sangat Arafi hindari terdengar dari arah belakang tubuh mereka.
"Engga nyangka kalau karyawan disini bakal ada yang cinlok," ujar suara itu.
Arafi menghela nafas pelan sebelum berbalik. Ia melempar senyum ramah dan menanggapi ucapan atasannya itu dengan santai.
"Masa sih, Pak? Kalau yang Bapak maksud adalah saya dan Wulan, kok Bapak bisa lebih tau soal hubungan kami daripada kami sendiri?" sarkasnya.
Braga tampak tersenyum miring, menatap Arafi dengan pandangan meremehkan.
"Siapa sih yang engga akan tahu kalau kalian kemana-mana berdua? Semua orang juga pasti bakal tahu hubungan macam apa yang kalian punya," tuduh nya.
Wulan terdiam, dia ingin membantu Arafi menghadapi Braga yang selama ini memang tidak pernah menyukai Arafi. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ingin kehilangan pekerjaannya atau yang lebih parah kalau sampai menerima tindakan pelecehan yang kerap dilakukan Braga pada karyawannya.
Arafi tertawa pelan, tidak ada raut kekesalan yang ia tampakkan sedikitpun.
"Saya pikir kerjaan Bapak sebagian Manajer restoran ini sudah sangat sibuk, engga nyangka kalau Bapak masih punya waktu buat perhatiin kisah asmara bawahannya. Bapak benar-benar atasan yang sangat berjiwa besar," sindir Arafi.
Raut wajah Braga mulai berubah usai mendengar sindiran halus dari bawahannya itu. Dia bergerak mendekat hingga hanya tersisa beberapa centimeter saja dari Arafi.
"Harusnya kamu tahu posisi kamu! Saya bisa saja membuat pernyataan palsu supaya kamu dikeluarkan dari cafe ini, tidak perduli bos menyukai kamu atau tidak," ancam Braga.
Arafi tersenyum dan mengangkat dagunya tinggi.
"Bukankah itu memang keahlian Bapak? Saya justru heran kenapa sampai detik ini Bapak masih membiarkan saya ada disini, itu bukan karena upaya Bapak membuat pernyataan keliru tentang saya engga berhasil, kan?" tebaknya.
Mata Braga membulat, pria itu kemudian mundur dan menjaga jarak dari Arafi.
"Kamu tunggu saja, keberadaan kamu disini engga akan lama. Bukan hanya itu, saya pastikan kamu engga akan punya muka untuk datang kesini lagi," Braga tersenyum miring sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Arafi yang mulai mengubah ekspresinya menjadi datar.
"Maaf aku engga bisa bantu kamu ngelawan Pak Braga," sesal Wulan.
Arafi langsung menoleh dan melemapr senyum pada gadis yang selama ini begitu baik padanya.
"Ini memang urusan saya sama dia, kamu engga usah libatin diri kamu," ujarnya.
Tapi Wulan masih menatap bersalah pada Arafi. Bagaimana mungkin dia mengaku menyukai Arafi di saat dia begitu pengecut dan tidak bisa membela Arafi saat pria itu ditindas oleh atasannya sendiri.
"Engga usah merasa bersalah, Lan. Satu yang saya minta dari kamu, jangan sampai kamu jatuh dan jadi korban dari kegilaan orang itu," pintanya tulus.
Wulan tersenyum dan mengangguk, "Aku janji engga akan jadi korban dari Pak Braga. Kalau sampai itu terjadi, aku akan langsung keluar dari cafe ini," janjinya.
Arafi tersenyum, lalu ia mengajak Wulan kembali berjalan ke arah loker untuk menaruh barang mereka karena sebentar lagi tempat mereka bekerja akan segera buka.
**
"Ini pesanan meja nomor 7 tolong dibaca yang bener ya, soalnya ada beberapa permintaan untuk engga nambah syair dan sebagainya," pinta Arafi pada temannya yang bertugas mengoper pesanan ke bagian dapur.
"Oke, Raf!" balas temannya itu.
Arafi kembali berbalik saat suara pintu yang terbuka terdengar. Ia sempat berdiri diam saat menyadari siapa yang baru saja datang.
Cleo, teman kuliahnya yang waktu itu sempat datang bersama Vindran, pria yang sejak dulu ingin selalu berusaha mengalahkan Arafi.
Tapi kali ini gadis itu tampak datang sendiri. Cleo yang sudah duduk melempar senyum tipis yang tampak sedih di mata Arafi.
Inginnya, Arafi membiarkan temannya yang lain saja yang melayani Cleo. Tapi sayangnya semua orang sedang sibuk karena ini adalah jam makan siang dimana cafe tempatnya bekerja akan ramai pengunjung.
Maka ia tidak punya pilihan lain selain berjalan menghampiri Cleo dan melempar senyum formal pada gadis itu.
"Mau pesan apa?" tanyanya.
Tapi Cleo justru hanya menatap Arafi tanpa menjawab pertanyaan pria itu.
"Sorry, kamu mau pesan apa?" tanya Arafi ulang.
Cleo tersenyum tipis, ia menunduk dan membaca menu sekilas.
"Nasi bakar sama teh hangat," jawabnya.
Arafi mengangguk sambil mencatat pesanan gadis di hadapannya.
"Ada lagi?" tanyanya.
"Maaf atas sikap Vindran waktu itu. Dia dari dulu cemburu karena aku selalu ngeliat ke arah kamu," ucap Cleo tiba-tiba.
Arafi terdiam, dia tidak merespon apapun yang diucapkan oleh Cleo.
"Aku tahu dia udah keterlaluan, tapi aku pikir dia engga bermaksud--"
"Maaf, sekarang saya sedang bekerja. Masih banyak pelanggan yang belum sempat dilayani, jadi saya engga mau buang-buang waktu hanya karena membicarakan orang yang tidak saya kenal," potong Arafi.
Cleo langsung menutup rapat mulutnya, ia menatap Arafi dengan sendu.
"Apakah..apakah aku juga bukan orang yang kamu kenal?" tanyanya lirih.
Arafi yang sudah berbalik dan hendak melangkah pergi, menghentikan langkahnya.
"Dari dulu aku berusaha buat cari perhatian kamu, aku berusaha buat jadi perempuan yang bisa dekat sama kamu, tapi yang kamu lakukan justru sebaliknya. Setiap aku maju satu langkah, kamu mundur dua langkah. Hingga akhirnya aku cape dan memutuskan menyerah. Aku pikir setelah aku menyerah, seenggaknya aku bisa jadi teman kamu. Tapi kamu engga pernah berubah, kamu engga pernah biarin wanita manapun dekat dengan kamu," Cleo memuntahkan unek-unek yang dipendamnya selama ini.
Dia tidak berharap banyak, tidak berharap Arafi akan mau menatapnya walau sekejap saja. Ia hanya ingin Arafi tahu bahwa dirinya kesulitan karena cinta sepihak yang ia rasakan selama ini.
"Saya engga mau kasih harapan apapun karena saya engga mau bikin orang lain kecewa. hati saya ini bahkan bukan milik saya, karena pemiliknya sudah pergi ke tempat jauh," balasnya tanpa berbalik menatap Cleo.
"Saya akan segera siapkan pesanannya, tolong tunggu sebentar," lanjut Arafi kemudian bergerak menjauh.
Cleo mematung ditempatnya duduk. Selama bertahun-tahun, Arafi hanya mengatakan maaf untuk semua ungkapan cintanya. Pria itu tidak pernah mengatakan alasan kenapa dia selalu menolak Cleo.
Baru kali ini, Arafi mengatakan apa yang tidak pernah Cleo dengar sebelumnya.
"Hatinya bukan milik dia? gumam Cleo, sesaat kemudian dia tertawa miris.
"Alasan penolakan macam apa itu!"
**