"LO mau semua orang tulus sama lo. Tapi tunggu dulu, emangnya lo tulus sama mereka?"
Pertanyaan itu membuat Raden Ajeng Judyrastika diam. Amarah yang tadi memuncak dalam dadanya seketika menguap. Kepalan tangannya mengendur. Wajah pias, termenung.
Laki-laki di hadapannya tersenyum penuh kemenangan.
Seolah mengatakan, tuh, lo sama aja.
Kemudian ketika laki-laki itu hendak berbalik pergi, Judy menghentikannya. Bukan dengan sentakan atau omelan seperti biasa, tapi dengan satu pertanyaan kecil. Satu pertanyaan yang membuat laki-laki itu diam.
"Kalo lo? Lo tulus sama gue kayak gue tulus sama lo?"
Dengan nada yang begitu lirih, Judy berharap jawaban laki-laki itu adalah ya.
Tapi untuk ke sekian kalinya, pertanyaan itu memudar seolah tidak pernah ditanyakan. Terlupa oleh waktu.
Judy tersenyum. Getir.
Inilah cerita tentang dia, sunyi, dan rapuhnya hati.
***
"APA? Lo kalo ngomong jangan gemetar gitu. Lo enggak ngira gue bakal nonjok lo, kan?" pertanyaan menyudut dari seorang Raden Ajeng Judyrastika tentu saja membuat seorang Novan yang lebih pendek darinya itu menciut, takut, gugup. Mata Judy menusuk ke arah laki-laki itu, seolah mengatakan bahwa spesies terbodoh di muka bumi ini adalah Novan.
Novan berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara, tapi sayang, lagi-lagi dia hanya bisa tergagap.
Judy menoleh ke arah Myla dengan tatapan jengkel. Yang ditatap jadi grogi. Pasalnya, kalau Judy sedang marah seperti ini, Myla saja enggak mau ganggu.
"Langsung aja ke intinya," kini Judy menepuk roknya sekilas, berdiri, menatap ke bawah, tepatnya ke arah Novan yang berbeda sepuluh senti darinya. "Daffa jalan sama Ashilla? Oh, dia SE-LING-KUH?"
Kantin lengang untuk beberapa detik, menyerap informasi tersebut untuk disebarkan ke masyarakat SMA Pemuda Satu. Tentu saja, biang gosip di sekolah ini senang dengan berita hangat yang dilemparkan secara suka rela oleh Judy.
"Eee..., i-iya," suara Novan semakin kecil sampai hanya Judy yang bisa mendengarnya.
Judy mendengus. Novan menciut. Myla menarik napas perlahan, lagi-lagi Judy bikin heboh satu sekolah.
"Dy, makan dulu aja," bujuk Myla. "Enggak baik, lho, kalo makanannya dianggurin."
Acuh tak acuh, Judy melihat ke arah Myla. "Gue ada urusan penting, duluan ya, Myl."
"Judy!" panggil Myla, namun Judy sudah berjalan tegap meninggalkan kantin, tampak Novan mengembuskan napas lega ketika Judy melewatinya.
Ah, ada saja orang yang membuat rasa masakan Ibu Kantin jadi hambar karena ucapannya. Dan hari ini, karena ucapan Novan. Judy merutuk laki-laki itu sepanjang perjalanan menuju kelas orang yang lebih terkutuk dibanding Novan, Daffa.
"Daffa!" teriak Judy menggelegar ketika sampai di kelas laki-laki itu.
Di sana. Bergerombol bersama teman-temannya yang lain. Saat mendengar suaranya, Daffa langsung menoleh ke arah Judy. Dia melambaikan tangannya, namun lambaian itu melambat ketika melihat wajah Judy murka.
Judy masuk ke kelas itu dengan sisa kemarahan yang ada. Ya, Judy akan marah seelegan mungkin. Dia bukan tipe orang yang meledak-ledak. Hanya berbicara apa adanya, tapi menusuk.
"Gara-gara gue enggak mau dipeluk-peluk, dicium-cium, makanya lo kegatelan sama Ashilla?" todong Judy langsung.
Di kelas itu, Dean ada, duduk di pojok kelas dengan headphone di telinganya. Dean mencopot headphone-nya, lalu ikut mendengar percakapan Daffa dengan Judy. Wajahnya menunjukkan ketertarikan nyata dan jahil yang tidak terkira.
"Ka-Kamu ngomong apa sih, Sayang?" tanya Daffa, gugup setengah mati dibalik senyum tipisnya.
"Iya atau enggak?" tanya Judy.
Sebelum sempat Daffa menjawab, seorang perempuan dengan parfum menyengat dan rambut diurai sempurna masuk ke dalam kelas tersebut. Semua mata lelaki mengikuti pergerakannya, terpana. Tidak terkecuali Daffa, namun di sana ada sirat ketakutan. Ya, takut ketahuan.
"Udah tau?" tanya Ashilla pada Judy dengan senyum penuh kemenangan. Kemudian, Ashilla duduk di samping Daffa–atau dipangku? Jaraknya dekat sekali. Melihatnya saja, Judy jijik. Mau muntah rasanya. "Sorry, ya, tikungan memang tajam."
Tanpa peduli dengan ucapan ular perempuan itu, Judy menatap ke arah Daffa lagi. "Oh, jadi bener, dong. Lo sukanya dicium-cium, dipeluk-peluk, sama cewek macam dia?"
Tentu saja Ashilla kepanasan.
"Woi! Mulut lo jaga ya!"
Judy tersenyum kecil. "Itu lo tuh, dijaga."
Wajah Ashilla merah padam, tangannya mengepal kuat. Ingin sekali Ashilla menampar pipi Judy andai kakak perempuan itu tidak berpengaruh di sekolah ini.
"Kecewa gue sama lo," Judy kembali berbicara pada Daffa, sementara laki-laki itu masih terpana, bingung harus berkata apa. "Awalnya aja baik, belakangnya busuk. Udah, ah, mending kita putus. Cabut gue."
Dengan tatapan mata mengiringinya, termasuk dari Dean, Judy pergi.
BEL pulang berbunyi. Anak-anak SMA Pemuda Satu bergegas pulang. Beberapa masih ada yang diam di kelas. Contohnya Judy.
Lema menaruh tasnya tepat di hadapan Judy. Cukup keras, sehingga Judy menaikkan alisnya, melihat ke arah perempuan dengan rambut sebahu berwarna hitam itu.
"Gila ya, lo!" seru Lema berapi-api. "Sampe Daffa aja diputusin. Mau lo apa, sih?"
Judy menatap layar ponselnya lagi, menggulir feeds i********: dengan bosan. "Lebay, deh."
"Apa sih, kurangnya Daffa sampe lo mutusin dia?" tanya Lema heran setengah mati. Bibirnya yang ranum mencebik tidak suka.
"Kurangnya?" Judy jadi tertarik untuk mengikuti pembicaraan Lema. "Kurangnya adalah, Daffa mau meluk gue, gue enggak bolehin. Sejak itu, dia nyari yang baru. Udah."
Kalau ada Myla, pasti perempuan itu sudah meringis geli karena ucapan Judy. Ah, dimana sih, perempuan itu? Judy ingin curhat.
"Ya ilah, Jud. Tinggal dipeluk doang...," omel Lema gemas.
"Abis peluk, apa? Minta cium? Terus abis cium?" sinis Judy, "Cowok tuh pacaran buat menuhin hawa nafsu. Kalo sekarang masih ada yang tulus, gue kasih standing applause."
Wajah Lema pias. Benar juga.
"Udah, ah. Gue mau pulang, nih. Nebeng, dong!" seru Judy seraya berdiri dari kursinya.
Otomatis, Lema ikut berdiri. "Hari ini gue enggak langsung pulang."
Judy sejenak menatap Lema. "Karate?" tanyanya, seingat Judy, sekarang hari Rabu. Bukan jadwal Lema latihan karate.
Lema mengedipkan sebelah matanya. "Jalan dong sama Sergy! Gue abis diputusin sama si anu kemarin, terus Sergy bilang dia neraktir nonton. Baik banget temen kita yang satu itu."
Kali ini, Judy menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Hah, bilang aja lo pengen gratisan. Dasar manipulatif. Sok-sok nangis gara-gara putus sama si anu, padahal mah sedih aja enggak. Sergy tuh, b***t apa terlalu baik, sih?"
Mendengar itu, Lema tertawa terbahak-bahak dan mengatakan bahwa Sergy adalah campuran keduanya. Ketika Lema ingin pergi, dia berhenti, berdiri di ambang pintu. Ingin bicara, tapi enggan.
Judy yang sudah bersandar pada sisi meja lantas bertanya. "Ngomong aja, sih."
"Eee..., itu, malem ini ada acara ultahnya Alavan. Lo dateng?" tanya Lema. Mata bulatnya bersinar ragu. "Gue dateng bareng Sergy. Eee, kalo lo mau bareng, boleh."
"Lo berdua udah kayak pacaran, males gue ganggunya," keluh Judy membuat Lema meringis tak enak. Judy jadi teringat terakhir kali jalan dengan mereka, Judy seperti nyamuk tidak diundang. Sesaat Judy teringat akan sebuah nama, namun dia urung. Dia hanya berkata, "Ada Dean."
Mendengar nama itu, Lema sejenak diam. Kemudian dia mengangguk, "Oh, ya," seolah lupa kalau Dean memang selalu bersama Judy. "Ya udah, gue tinggal dulu, ya! Dadah, Judy-ku!"
"Dah."
Sepeninggal Lema, Judy menghela napas. Dia kembali melihat layar ponselnya. Tepatnya pada satu foto yang baru saja di-posting satu jam yang lalu. Menampilkan pasangan sejoli yang tampak mesra. Yang perempuan bersandar pada bahu laki-lakinya.
Di bawah, ada sebuah caption.
'Official.'
Jijik.
"Enggak pulang?"
Sebuah tanya itu membuat Judy lagi-lagi mendongak. Melihat wajah Myla menyembul dari pintu kelas membuag senyum Judy terlukis, senang. Cepat-cepat Judy menarik tasnya dari meja, kemudian menghampiri tubuh mungil Myla. Dibanding Judy yang bongsor, Myla sangat imut seperti gantungan kunci.
"Gue nunggu lo! Darimana aja?" tanya Judy.
Kedua perempuan itu meninggalkan kelas, dengan percakapan khas teman lama, penuh warna dan bermakna. Judy bisa jadi dirinya di depan Myla, dan Myla, entahlah, Myla selalu baik di depan semua orang. Tapi Judy tahu kalau Myla juga menganggapnya sahabat baik. Buktinya dia datang ke kelas Judy padahal jarak antara kelasnya dan kelas Judy terpaut jauh.
"Sorry, sorry, tadi PMR ternyata ada kumpul dulu," ucap Myla penuh penyesalan. Apalagi melihat koridor sudah sepi. "Tadi gimana?"
Judy menggeleng. "Enggak mau cerita. Enggak suka cerita. Dari tadi orang nanyanya itu mulu. Gue berasa diwawancara."
"Gue kira, lo bakal lebih baik kalo lo cerita ke gue. Tapi kalo emang enggak mau, gue enggak maksa," Myla menampilkan senyum itu. Senyum menenangkan bak ibu yang melihat anaknya.
Judy tanpa sadar ikut tersenyum. "Myl, cocok banget, sih, kalo lo jadi dokter. Lo enggak cuma nyembuhin penyakit fisik, tapi hati."
Setelah menyadari betapa puitisnya seorang Raden Judyrastika, Myla tertawa geli, kemudian menabok bahu Judy sepenuh hati. Kebiasaan. Kalau sudah terbang, pasti nyakitin orang.
Setelah mengobrol keseharian mereka sambil berjalan, tibalah mereka di gerbang sekolah, tempat mereka biasa berpisah. Myla seperti biasa, jalan kaki sampai ke rumahnya yang terbilang lumayan jauh. Tapi Myla selalu bilang, 'Sayang uang kalo naik angkot', ketika Judy ingin menawarkan untuk tiap hari diantar jemput olehnya, Myla menolak dengan alasan, 'Nanti Judy kerepotan, eh, gue juga kerepotan, deng. Kalo lo bangunnya kesiangan, masa gue harus m*****i buku Tata Tertib gue karena telat bareng lo?'.
Sejak itu, Judy tidak menawarkan tumpangan lagi kecuali memang cuacanya sedang hujan atau sangat panas.
Nah, tinggal Judy di sini yang bingung harus naik apa untuk pulang. Supirnya dipakai oleh kakaknya untuk mengantar teman sekelas. Praktisnya, hari ini, dia harus naik angkutan umum.
Masalahnya, Judy takut menyebrang.
Astaga, dia sudah kelas dua SMA dan bakat takut menyebrangnya ini tidak juga luruh. Mau sedewasa apa pun umurnya, mungkin Judy punya ketakutan umur dua belas seperti ini. Mungkin.
"Dy, enggak dijemput?" sebuah suara tanya yang sangat khas itu terdengar. Judy menolehkan kepalanya dengan senyum cerah. Siapa lagi, kalau bukan Dean?
Judy menggeleng. "Dean!"
"Hari ini hiperaktif lagi?" Dean menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub. "Takut nyebrang, kan? Yuk."
Dean langsung melangkah di jalan raya, tangannya menggestur agar pengemudi motor memelankan kecepatannya. Sementara Judy ada di sampingnya, menatap takut-takut mobil dan motor. Takut ditabrak, tepatnya.
"Gue kira lo enggak bakal hiperaktif setelah kejadian tadi di kelas," kata Dean ketika mereka sudah berada di sisi jalan yang berlawanan dengan sekolah. Dean menatap Judy, binar jahil masih tersisa di sana. "Mau nangis?"
Dengan cepat, Judy mencubit hidung Dean. Laki-laki jangkung itu–bahkan lebih jangkung dibanding Judy–meringis kesakitan.
"Berisik!" balas Judy.
Dean mengusap bekas kejahatan Judy dengan bibir cemberut, mata cokelat cerahnya kemudian menatap Judy lagi. Tapi kali ini serius.
"Bener enggak mau nangis?" tanya Dean.
Judy diam.
"Dy...," panggil Dean.
"Udah! Udah! Tuh, angkot gue nungguin. Sana nyebrang lagi terus pulang. Hari ini lo naik motor, kan? Sana! Sana," usir Judy seraya naik ke angkutan umum berwarna merah yang memang sudah menunggu Judy untuk naik.
"Maaf ya, gue enggak bisa nganter lo. Gue ada urusan sama Ibu Negara," ucap Dean yang dibalas anggukan acuh tak acuh dari Judy.
Dean masih di sana, senyum-senyum jahil seperti biasa. Sementara, Judy masuk ke dalam angkutan umum yang lumayan ramai itu. Dia menyempil di antara ibu-ibu dan siswa berseragam merah putih.
Angkutan umum pun melaju dengan kecepatan canggung, membuat penumpang terdorong ke samping untuk sesaat, termasuk Judy.
Sebelum Judy lupa, perempuan itu melongokkan kepalanya dari jendela dan berteriak pada Dean. "Yan! Hari ini temenin gue ke pesta ultahnya Alavan! Pake jas yang kemaren gue kasih, ya!"
Dean pura-pura tidak mendengar. "Apaaa?"
Wajah Judy merah padam. Apalagi di dalam angkutan umum, mereka sudah jadi pusat perhatian. Sampai-sampai supir memberhentikan angkutan ini agar percakapan Judy dengan Dean berlanjut.
"Ultahnya Alavan! Berangkat bareng gue!"
"APAAA?"
"Bodo amat, najis! Nanti gue LINE," sekarang, wajah Judy seperti kepiting rebus, napasnya memburu. Dia duduk dengan tenang di angkutan tersebut, menatap balik mata-mata yang menatapnya penasaran. Jengah, Judy berkata pada supir yang masih bengong. "Jalan, Pak!"
Canggung dan gugup, akhirnya angkutan umum itu berjalan. Menyisakan cengiran di wajah Dean yang tidak bisa Judy lihat.
***