BAB 2

1513 Words
Hari sudah mulai gelap, aku pun sudah lelah berjalan mengelilingi kompleks elit ini aku juga harus kembali ke Mess karyawan, meskipun hari pertamaku harus hancur karena bertemu pria sombong dan menyebalkan itu, namun aku tak boleh lemah hanya karena itu. Aku kemari berniat baik, aku harus bekerja untuk mendapatkan hasil dari kerja kerasku bukan malah down seperti tadi. Sampai di mess aku melihat sebagian karyawan sudah berada di mess, mereka menatapku, tatapan mereka seakan memiliki arti, namun tatapan mereka aku anggap tatapan Bertanya-tanya siapa aku. Sampai di kamar aku melihat teman sekamarku yang bernama Kelly sesuai apa yang dikatakan Ny.Kors tadi sedang membaca majalah. Aku menyapanya. "Hai,"  sapaku berharap ia akan menyambutku. "Siapa kamu? " tanyanya sedikit tegas. "Aku karyawan baru, kamu Kelly, 'kan?" "Jika iya, kenapa?" "Mohon kerja sama nya, " kataku. Dia beranjak dari duduknya dan menatapku. "Siapa juga yang mau kerja sama dengan wanita kampung kayak kamu," kata Kelly sembari melangkah keluar kamar. Sepertinya hari-hariku disini akan susah, sudah ke empat orang yang ku temui dalam dan di luar mess in semuanya sombong, tak ada yang bisa menjawabku dengan baik, tatapan mereka seakan ingin membunuhku, Aku memang wanita kampung, namun aku juga punya harga diri, apa mereka akan menganggapku seseorang jika aku berasal dari kota atau berasal dari keluarga kaya? Aku sungguh kesal. *** Author Pov. Dylan Lord Maxwell.. Pria berumur 32thn CEO di Maxwell Corp. Saat ini Dylan sedang Mengobrol bersama Sepupunya Jake Sharp , Dylan membahas tentang bisnisnya di luar negeri yang akan ia Telusuri Minggu depan, Sebab Bisnis yang sedang Maju itu berada di bawah tanggung jawabnya bersama Jake, ada klien yang keberatan akan Usahanya. "Apa ini yang akan kau tunjukkan? " tanya Jake. "Iyaa, tapi tambahannya ada di kamar, Jake." "Coba kulihat." "Sebentar akan ku ambilkan," Dylan melangkah masuk ke kamar dan mengambil bahan yang akan ia tunjukkan kepada kliennya di Skotlandia. Tak lama kemudian ia kembali duduk di hadapan Jake dan memberikan bahan yang ia maksud. "Baiklah, akan ku pelajari dulu, aku akan turun ke kamarku." Jake melangkah masuk ke kamarnya. Dylan berdiri di dekat jendela kaca miliknya sembari menikmati secangkir kopi yang dapat membuat malam yang dingin ini sedikit hangat. Dylan menatap lurus ke depan ketika melihat seorang wanita yang sepertinya ia kenal sedang mondar-mandir di dalam kamar, itu terlihat di balik tirai yang sedikit terbuka. Dylan mempelajari wajah wanita itu dan terkejut ketika mengingat kejadian siang tadi, wanita yang sudah berani menghinanya kini berada tepat dihadapannya yang sedang mondar-mandir tak jelas, wanita yang sudah membuat harinya sedikit kesulitan, karena ia harus terlambat sewaktu rapat karena harus menghadapi wanita Itu. "Apa? wanita itu berada di sana ? Apa-apaan ini, kenapa dia bisa ada di sana, aku juga tak pernah melihatnya sebelumnya." Dylan brtanya-tanya kepada dirinya sendiri. Dylan mempelajari gerak-gerik wanita itu dan menatapnya dari jauh dengan tatapan mengintimidasi. Tatapan itu penuh arti, tatapan yang tak biasa, Dylan meneguk kopi miliknya tapi matanya tak berhenti menatap wanita yang tak lain tak bukan adalah Emily. Emily begitu lapar, ia mondar-mandir berharap ada yang memanggilnya dan mengajaknya makan malam. Emily bingung harus bagaimana. "Kenapa tidak ada makanan yang datang? Apa ini ? Aku dibiarkan lapar seperti ini? Katanya perusahaan ini mengantarkan makanan setiap harinya, tapi kenapa sekarang tidak? Sudah hampir jam 10 malam, mana aku lapar." kata Emily. Tak lama kemudian Kelly masuk kedalam kamar. Melihat Kelly masuk, Emily langsung menghampirinya. "Kelly, apa tak ada makanan yang datang?" tanya Emily. "Kenapa bertanya padaku? Apa kau pikir aku ini catering?" Kelly menatapku tak suka. "Aku belum makan, katanya akan ada orang yang mengantar makanan, tapi aku belum mendapatkannya" "Kamu harus ke dapur, bukan bertanya padaku," kata Kelly. "Makasih, ya." Emily melangkah keluar kamar dengan senangnya. "Wanita itu sangat aneh," gumam Kelly. Emily sampai ke dapur, ia melihat piring dan gelas berserakan di atas meja, banyak kulit snack berserakan di lantai, sungguh membuat matanya sedikit sakit melihat sesuatu yang berantakan, karena ia sudah terbiasa akan kebersihan. Hanya ada sepotong roti di atas meja, tak ada makanan sisa satu pun. "Apa ini? Aku makan apa ? Hanya ada sepotong roti di sini. Ya ampun ... bagaimana ini, tapi lumayan lah ada sepotong roti di sini, itu berarti Tuhan masih sayang padaku." Emily mengelus perut ratanya yang sesekali mengeluarkan bunyi halus. Emily Langsung memakan sepotong roti itu dan mengunyahnya sampai habis, Setelah itu ia menuang air minum di gelas dan meneguknya. "Ya ampun ...ini sungguh tak membuatku kenyang, aku tak mungkin bisa tidur dengan perut lapar ini," kata Emily. "Baiklah, aku akan keluar mencari makanan." Emily melangkah keluar rumah. Emily berjalan menyusuri jalan yang sudah sangat sepi, beberapa meter berjalan Emily belum juga mendapatkan penjual makanan yang dapat mengganjal perut laparnya. Tak lama kemudian suara seorang pria terdengar mengerikan. "Hai cantik, mau kemana?" tanya seorang pria yang berdiri tepat di belakangnya. Emily sangat takut dan mengambil batu di hadapannya, ia berbalik pelan dan melihat pria tampan sedang berdiri menatapnya dengan gagahnya. "Kau siapa? Jangan macam-macam, kau akan ku lempari jika kau berani mendekat." Emily dengan batu di tangannya, ia mencoba memperlihatkan batu yang sedang ia genggam kepada pria itu. "Hei ... aku bukan orang jahat, Nona, aku tinggal di sekitaran sini." "Aku tak percaya." "Terserah jika kau tak ingin mempercayainya itu hak kamu, aku hanya menyapamu karena selama aku tinggal di sini, untuk pertama kalinya aku melihat seorang wanita berkeliling kompleks di jam segini, aku juga baru melihatmu, apa kau tinggal disekitaran sini juga?" "Syukurlah jika kau bukan orang jahat, aku sangat takut jadi spontan curiga tadi, apalagi hari ini adalah hari pertamaku berada di LA, iya aku tinggal di rumah pojok sana," tunjuk Emily. "Sekarang aku yang takut, buang dulu batu yang kau genggam itu." "Baiklah." Emily tersenyum kecil. Emily membuang batu yang ia genggam sejak tadi untuk menyelamatkan diri. "Tadi kamu bilang tinggal di pojok sana, cat warna apa rumahmu?" tanya  pria tampan itu.  "Cat warna hijau, bukan rumahku tapi rumah perusahaan." "Rumah perusahaan?" Emily mengangguk. "Lantas kamu mau kemana jam begini?" tanya pria tampan itu lagi. "Aku mau mencari makanan, siapatau saja ada yang lewat penjual makanan." Emily menggaruk tengkuknya. "Tidak ada penjual di sekitaran sini." "Benarkah? Tapi ... tadi aku melihat ada penjual makanan di depan sini." "Mungkin penjual itu menjualnya diam-diam, karena di sekitaran sini tak ada yang boleh menjual, siapapun itu." "Untung saja kau memberitahuku, jika tidak aku akan jalan tanpa tau sebelumnya." "Bukannya di rumah perusahaan itu, makanan sering di antar, ya?" "Aku tidak kebagian." "Apa? tidak kebagian?" Emily mengangguk. Pria itu terdiam sejenak. "Kalau begitu aku kembali saja," kata Emily hendak meninggalkan pria itu yang masih kebingungan. "Eh ... tunggu." Pria itu mencegah langkah kaki Emily. "Ada apa?" "Jika kau lapar, kau bisa ikut denganku, kebetulan aku mau ke depan beli sesuatu," ajak pria itu. "Tak perlu, itu akan sangat merepotkan." "Kebetulan aku mau ke sana, jadi kau bisa sekalian ikut juga." Emily terdiam dan berpikir sejenak. "Baiklah, aku akan ikut denganmu, daripada aku harus kelaparan," kata Emily. "Baiklah, kau tunggu di sini, aku akan mengambil mobil dulu." Tak lama kemudian mobil mewah keluar dari pekarangan rumah termewah di kompleks elit ini dan parkir tepat di depan Emily. "Masuklah," ajak pria itu. Emily dengan senyum cantinya masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi. Pria di sampingnya tersenyum melihat Emily sedang tersenyum. "Kau sesenang itu?" tanya pria itu. Emily tersenyum. "Iya. Aku sangat senang karena sebentar lagi laparku akan hilang dan aku bisa tidur dengan tenang." Pria itu tersenyum senbari geleng-geleng. Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah tempat yang sed ikit jauh dari rumah, pria itu lalu memakirkan Mobilnya dan mengajak Emily masuk ke dalam sebuah Restoran Craft Los Angeles. "Ayo," ajak pria itu. "Tapi, aku tak punya uang makan di tempat ini, mending antarkan aku ke penjual yang ada di emperan jalan saja," kata Emily. "Masuklah." Pria itu menarik Emily masuk kedalam restoran, tak ada pilihan lain, Emily masuk dengan genggaman tangan pria itu. Emily duduk berhadapan dengan pria yang baru saja dikenalnya. Pria itu memanggil pelayan resto. "Kamu mau makan apa? Pesan saja." "Terserah kamu saja." Emily melihat daftar menu yg ada di hadapannya, ia membulatkan matanya penuh ketika melihat harga makanan dengan harga yang spektakuler. "Baiklah. Saya pesan Spaghetti bolognese, Gnocchi, Beef Steak, Salmon, pasta Frola, Cucchiai, pizza, Magnificent pork, makanan penutupnya Panna Cotta dan minumnya seperti biasa." "Baik, Tuan." Sepuluh menit kemudian, pelayan resto membawakan pesanan mereka. "Makanan ini--" "Ada apa dengan makanannya ? Kau tak suka ?" "Ini makanan kok--- " "Cicipi saja." kata pria itu. "Jika kau tak suka dengan semua makanan ini, kamu bisa pesan sesuai selera kamu." "Aku tahu sebagian dari makanan ini dan aku juga tau ini pasti sangat mahal, tapi aku tak makan sebanyak ini, aku juga tak ingin merepotkanmu," kata Emily. "Makan saja, tak apa-apa jika tak kau habiskan, aku juga tak merasa kau repotkan kita 'kan tetanggaan, jadi aku menyambutmu dengan semua makanan ini, apalagi tadi kau mengatakan tak kebagian dengan makanan di rumah, 'kan?" "Kau sangat baik," puji Emily. "Sejak tadi kita sudah mengobrol banyak, siapa namamu?" tanya pria itu. Emily mengangguk seraya tersenyum. "Aku Emily Ross Stewart, kalau kamu?" Pria itu menyodorkan tangannya. BERSAMBUNG. Jangan lupa votmment.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD