Renata terbangun sebelum alarm di ponselnya bernyanyi. Langit masih gelap. Semalam hujan deras dan hawa dinginnya masih terasa menusuk kulit. Ia tergoda untuk menarik selimut tipis di kakinya dan bergelung sampai siang nanti. Namun tak bisa. Renata harus berangkat satu jam lagi.
Ia duduk diam di pinggir kasur tipis tempat tadi raganya berbaring. Di ranjang sebelah kiri, Ines masih pulas. Pikiran Renata berkelana nyaris tanpa arah. Kosong. Sudah lama ia tidak bersemangat menjalani hidup. Namun, ia harus bangun. Bukan karena ingin, tetapi karena tanggung jawab yang menuntut.
Dapur bersama sudah dipakai penghuni lain. Aroma kopi tercium bermeter-meter jauhnya. Ia membersihkan tubuhnya di kamar mandi, lalu mengambil sisa roti kemarin yang sudah mengeras dari dalam lemari. Renata mengunyahnya bersama air putih.
Renata tiba di swalayan sebelum rolling door sepenuhnya terbuka. Lampu toko menyala. Pak Ujang sudah mengenakan rompi hijaunya dan menyapu halaman. Renata membalas lambaian tangan Pak Ujang. Terkadang ia iri kepada pria itu. Pendapatan hariannya sebagai tukang parkir cukup besar, meski dibalas sumpah serapah para pelanggan.
Menjadi pegawai swalayan tidak pernah menjadi impian Renata. Cita-citanya jauh lebih mulia, membantu orang-orang di dunia menghitung uang mereka. Pergi bekerja memakai rok span, kemeja putih dilapis blazer, rambut dicepol, bibir merah yang tersenyum ramah melayani customer.
Bankir.
Renata berjalan melewati rak-rak kosong yang akan segera diisi ulang. Suara kardus diseret, plastik dibuka, ocehan supervisor yang pagi-pagi sudah menuntut laporan penataan promo akhir pekan, bercampur baur dan terdengar membosankan, seperti kaset yang diputar berulang-ulang.
"Hari ini kamu pegang bagian kosmetik, ya," kata Yuna, si paling senior yang terbiasa bicara dengan nada ngebos. "Dan jangan lupa cek rak yang kosong. Kayaknya sunscreen pada kurang, tuh. Buruan restock, sebentar lagi kita buka."
Renata mengangguk. Sudah nyaris tiga minggu ia ditempatkan pada posisi yang sama, sedangkan rekan-rekannya berganti tempat seminggu sekali. Ia tidak perlu bertanya mengapa tugas itu dijatuhkan kepadanya lagi dan lagi. Yuna akan memelototinya, lalu menggunjingkannya dengan para karyawan lain dengan tatapan sinis. Maklum, Yuna kesayangan pimpinan.
Tangannya bergerak cekatan mengisi rak dengan kotak-kotak sunscreen, pelembab, foundation, dan lipstik. Matanya sibuk membaca tanggal kedaluwarsa, tapi pikirannya melayang-layang. Mungkin ke masa kecil. Mungkin juga nun jauh ke kota Bandung di mana impiannya sempat bersemi. Sebuah tempat yang jauh lebih nyaman, lebih hangat, dan lebih menjanjikan daripada rak komestik dan kode-kode barcode.
Pukul sepuluh pagi. Swalayan mulai ramai. Renata berdiri di ujung rak, melayangkan pandang pada para pelanggan yang mengetes bau parfum, membaui lotion, dan membaca keterangan di balik botol sampo. Satu dua pelanggan lewat tanpa menoleh. Ada yang mengeluh harga sabun naik. Ada yang mengomel karena promo bedaknya habis.
Semua dijawab Renata tanpa ekspresi. Bukan karena tak sopan, tapi karena lelah membuat senyum di bibirnya tak lagi bersemi.
Pikirannya melayang pada Anggito. Sudah tiga hari hubungan mereka berakhir. Rasa rindu berbalur sakit hati menghunjam d**a Renata. Bukan sakit hati kepada Anggito, tetapi sakit hati kepada dirinya sendiri.
Andaikan Renata berani menyongsong mimpi yang ditawarkan lelaki itu, mungkin ia menemukan celah menuju hidup yang lebih baik. Namun, seperti kata Ines, Renata menatap terlalu jauh ke depan hingga tanpa sadar kakinya tersandung. Tidak mungkin Renata mundur. Pantang baginya menjilat ludahnya.
Saat jeda makan siang, ia duduk sendirian di bangku belakang gudang. Tangan kanannya menyuap nasi disiram kuah gulai dan sebutir telur balado yang dibelinya dari warteg di perempatan. Tangan kirinya memegang ponsel. Renata sibuk menggulir layar i********: dan seketika dengki melihat mewahnya hidup para selebgram. Nyamannya para pekerja kantoran. Cantik, wangi, bekerja di ruangan ber-AC.
Renata memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja. Gudang itu terasa sempit, mengapitnya dari segala sisi.
Ia lelah dan hampa. Entah sampai kapan ia bertahan. Apa itu jenjang karier? Yang ada hanyalah kegiatan monoton setiap hari. Pelanggan yang menyebalkan, bos yang pilih kasih, rekan kerja yang saling menjatuhkan, kaki pegal karena seharian berdiri.
Seharusnya tempat Renata bukan di sini. Seharusnya...
Nasi itu menyumpal tenggorokan Renata. Ia melarungnya ke perut dengan seteguk air. Renata tak lagi menghitung hari. Hanya menghitung apakah sisa uangnya cukup untuk menyambung nyawa minggu ini.
Napasnya berembus kasar. Menjadi dewasa sungguh melelahkan. Pencapaiannya selama 28 tahun hanyalah sekadar bertahan hidup.
***
Pukul tiga sore, shift kerja Renata berakhir. Ia mengambil tasnya di gudang, bersiap pulang dengan tubuh letih dan tenaga yang hampir tak tersisa. Namun saat akan berbalik, Nuha tiba-tiba mencolek pinggangnya dan berbisik, "Teh, dipanggil Pak Yusuf ke kantor."
Renata langsung terkesiap. "Ada apa, ya?"
Nuha mengangkat bahu, wajahnya sedikit khawatir. "Nggak tahu, Teh. Katanya ada barang yang hilang."
Jantung Renata berdetak lebih cepat. Biasanya Pak Yusuf hanya memanggilnya kalau ada masalah. "Tunggu saya, ya!" katanya sebelum melesat menuju kantor kepala toko.
Setelah mengetuk pintu, terdengar suara bariton menyilakannya masuk. Beberapa kepala menoleh kepadanya begitu Renata melongok. Raut wajah mereka tampak tegang. "Bapak memanggil saya?"
"Duduk!" perintah Pak Yusuf menunjuk kursi di depan mejanya. Pak Yusuf memutar monitor komputer dan menghadapkannya ke pada Renata. Beberapa orang rekan kerja ikut berdiri di belakang Renata, menonton diam-diam.
Gambar di kamera menyorot rak kosmetik. Seorang wanita muda tampak mondar-mandir dan sesekali celingukan mengamati situasi, kemudian mengambil beberapa produk kecil dan menyelipkannya ke dalam tas.
Pak Yusuf menekan tombol pause. "Itu jam berapa?"
"J-jam satu dua puluh, Pak," jawab Renata membaca penunjuk waktu yang tertera di sudut kiri atas layar rekaman. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Lihat itu. Dari gelagatnya saja sudah mencurigakan. Kamu di mana pada saat itu?"
"Di sana, Pak." Tangan Renata bergetar menunjuk bagian paling ujung rak, di mana dirinya berdiri seperti patung dan menatap kosong ke depan.
"Masa kamu nggak lihat?"
"Renata melamun kayaknya, Pak," celetuk Zara, rekan kerja Renata.
"Nilainya hampir lima ratus ribu, Ren." Suara Pak Yusuf ringan, tetapi menyentak bak pecutan cambuk. "Kamu tahu kan, SOP kita?"
Renata perlahan mengangguk. Ia membuka mulut, tetapi tak ada suara yang terdengar. Lututnya gemetaran.
Di belakang, Zara berbisik kepada Rani. "Yah, kalau lalai sih harus tanggung jawab, dong."
"Kamu ada di sini, tapi pikiranmu entah kemana," kata Pak Yusuf lagi. "Ini tempat kerja. Bukan tempat memikirkan masalah pribadi."
"Ma–maaf, Pak." Renata tertunduk.
"Maaf nggak akan bisa menutup kerugian toko." Pak Yusuf bersandar ke kursinya. "Kamu yang lalai, kamu harus ganti rugi."
Renata perlahan menoleh ke belakang, mencari pertolongan. Biasanya, ketika ada barang yang hilang, para karyawan mengumpulkan uang bersama-sama untuk mengganti kerugian.
"Maaf, Ren. Ini kelalaian kamu sendiri. Kita nggak bisa ikut tanggung jawab," tegas Zara.
"Benar, Ren. Kita sudah standby di rak masing-masing. Itu, kan, rak kamu," ulas Rani.
Renata meremas ujung seragamnya. Kedua ujung matanya mulai memanas. Angka lima ratus ribu sangat besar untuknya. "Bisa dicicil, Pak?"
Pak Yusuf menghela napas. "Bisa. Tapi pastikan kamu benar-benar belajar dari kesalahanmu. Jangan main-main waktu kerja."
Renata mengangguk lemah. Di luar ruangan, terdengar suara trolly logistik berdenting, berpadu suara para pembeli menyerbu promo detergen. Shift sore semakin sibuk. Tapi dalam hatinya, Renata merasa seperti baru saja dilempar ke dasar hari yang paling kelabu.
***
"Teteh, sih, ngapain mau ditaruh di rak kosmetik melulu," omel Nuha ikut kesal atas nasib apes yang menimpa Renata. Berjaga di bagian kosmetik memang rawan. Pelanggan bisa saja menyelinapkan barang yang kecil-kecil, tetapi harganya membuat kantong menggigil.
Renata menjawab dengan helaan napas kasar. "Mau bagaimana lagi? Kalau saya protes, saya dipelototin sama si Yuna."
"Yee, biarin aja dia melotot. Kalau perlu sampai biji matanya protol!" Nuha mencak-mencak. "Ih, pokoknya aku nggak terima Teteh digituin. Teteh, sih, diam melulu, makanya dia semena-mena."
Nuha benar, Renata tidak berani protes. Bukan karena benar-benar takut, tetapi energinya sudah terkuras untuk memikirkan hidupnya alih-alih melayani drama rekan kerja. Kini, ia sendirian. Rekan-rekan yang biasanya ia bantu untuk membayar kerugian, kompak memalingkan muka.
"Singgah ke rumah dulu, Teh." Nuha menyeret Renata ke dalam gang kecil tempat gadis itu bermukim. Mereka pulang berjalan kaki. Rumah Nuha hanya berjarak lima ratus meter dari swalayan, sedangkan kamar kos Renata jaraknya dua kali lipat dari itu.
Renata dan Nuha bergerak lincah menghindari genangan air dari jalan beton bolong di dalam gang. Mereka harus menepi berkali-kali, memberi jalan untuk motor-motor yang dipaksa lewat meskipun jelas gang itu terlalu sempit. Beberapa pengendara hanya melirik tanpa ucapan terima kasih. Anak-anak kecil berlarian, menubruk sana-sini, membawa pistol air, mengenakan sandal jepit yang hampir putus.
Nuha berceloteh mengenai hobi baru ayahnya yang keranjingan memelihara burung. "Padahal bikin kotor, Teh. Taiknya itu, loh."
"Biarkan saja, Nuha. Kan, Bapak sudah pensiun." Ayah Nuha adalah pensiunan tentara. Di rumah itu mereka hanya tinggal bertiga. Kakak-kakak Nuha sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota.
Renata sering diajak ke rumah Nuha, perempuan yang usianya terpaut tiga tahun di bawah Renata. Cat rumah Nuha sudah mengelupas dan tampak suram, tetapi di dalamnya selalu ada suara tawa dan wangi masakan. Ia kerap tinggal sebentar untuk makan kudapan. Saat pulang ke tempat kosnya, terkadang ibu Nuha membekali Renata dengan lauk-pauk seadanya yang bisa Renata gunakan untuk dua atau tiga kali makan.
"Awas, Teh. Ada motor." Nuha menyambar tangan Renata. Mereka memiringkan badan dan menepi di pinggir pagar rumah warga.
Namun, laju motor itu malah melambat. Renata mundur. Kakinya tersudut ke pinggiran got.
Lalu tiba-tiba ...
Payudaranya terasa sakit sekali. Renata terpaku di tempatnya berdiri. Mukanya pucat pasi.
Dunia Renata tiba-tiba mengecil. Nuha sibuk menjerit-jerit. Suaranya terdengar sangat jauh, seperti dari dalam air.
***
Teman-teman yang kepingin peluk versi cetak Jani dan Kai, hari ini sudah open PO ya..