Chapter 1

1289 Words
Renata pernah berpikir, ia telah menemukan pundak tempatnya bersandar. Namun seharusnya ia tahu, cinta adalah sesuatu yang amat berbahaya. Ibarat kau berharap seseorang menarikmu dari dalam jurang, tetapi sesungguhnya, kau hanya bisa menyelamatkan dirimu sendiri. Ponsel itu tak berhenti bernyanyi. Renata melirik sekilas. Ia tengah memoles eyeliner mempertegas garis matanya, berusaha agar tidak terlalu tebal. Entah mengapa perempuan harus mengenakan make-up. Sungguh menjengkelkan! Apalagi berdandan untuk acara kondangan, tidak bisa hanya memulas bedak dan lip tint. Renata tidak yakin tampangnya berubah lebih cantik. Bagaimana kalau sebaliknya? Alunan Kiss the Rain dari Yiruma terdengar lagi. Ia tahu itu panggilan dari Anggito, pacarnya. Mungkin Anggito ingin mengingatkan Renata agar memakai gaun yang layak ke acara pernikahan kakaknya. Anggito memang tidak pernah mengatakannya. Tetapi, Renata tahu diri. Ia sudah membeli gaun, perhiasan, tas, make-up, dan sepatu. Seumur hidupnya, baru kali ini Renata menghabiskan isi tabungannya. Padahal orang bilang, berbelanja itu menyenangkan. Tetapi tidak bagi Renata. Rasanya nelangsa. Renata lebih senang saldonya terus bertambah. Bahkan ia rela kelaparan. Namun, demi Anggito Pangky, cara pandangnya berubah. Renata tidak ingin tampil malu-maluin di tengah-tengah keluarga pacarnya. Ponsel itu bernyanyi lagi. “Halo?” Renata mengusap pengeras suara. “Aku sebentar lagi siap,” cerocosnya sambil memoles bedak. “Kamu nggak usah jemput. Aku naik Maxim aja.” “Ren, kamu bisa berhenti sebentar? Aku mau bicara.” Gerakan Renata sontak terhenti. Perutnya seperti disodok dari dalam. Memorinya terlontar ke masa lampau. ”Kamu duduk. Nini mau bicara.” Kalimat seperti itu selalu sukses membuatnya berkeringat dingin. Biasanya, kalimat Nini selalu dibarengi sesuatu yang tidak mengenakkan. “Ya? Ada apa?” “Sebaiknya kamu nggak usah datang, Ren.” Dahi Renata mencureng. “Eh? Kenapa?” Terdengar helaan napas panjang. Pria itu tak kunjung bersuara. “Gi?” ulang Renata. “Kenapa aku nggak usah datang? Acaranya diundur? Jam berapa?” “Enggak gitu, Ren. Sebaiknya kamu nggak usah datang saja.” Pegangan Renata pada ponselnya mengencang. Perasaannya tidak enak. Nada suara Gito terdengar aneh, seperti ada sesuatu yang sangat berat menahan mulut pria itu. “Ya, tapi kenapa? Aku udah berbelanja kemarin. Tenang, aku nggak bakal bikin kamu malu, kok.” “Bukan soal itu,” balas Gito. “Aku jelasin nanti setelah acara Mbak Kia selesai. Aku—” Tercipta jeda cukup lama. Suara napas Anggito terdengar dari seberang. “Kok, perasaanku nggak enak ya?” Renata menukas. “Kamu jujur saja. Ada apa?” “Ren, tolong jangan paksa aku mengatakannya sekarang. Waktunya nggak tepat.” “Sekarang atau nanti sama saja, kan?” desak Renata. “Aku lebih memilih kamu mengatakannya sekarang daripada aku sakit perut nungguin kamu.” “Ren, maaf.” “Maaf buat apa?” Kata Mbak Ines, teman sekamar Renata, bila seorang pria meminta maaf tanpa alasan, itu pertanda buruk. “Sebaiknya ... sebaiknya hubungan kita berakhir di sini.” Benar saja, jantung Renata seketika mencelus dibuatnya. “Gi, candaanmu nggak lucu!” cicitnya. “Aku serius, Ren.” “Ke–kenapa?” Renata berbisik. Pegangannya pada ponsel mengencang. “Kok, tiba-tiba begini?” “Maaf, kayaknya kita nggak cocok.” “Nggak cocoknya baru sekarang? Dua tahun kemarin ngapain aja? Tes kelayakan?” sembur Renata sengit. Tiba-tiba saja Renata berpikir, pertanyaan barusan lebih pantas ditujukan kepada dirinya sendiri. Sedari awal hubungan mereka sudah timpang. Akan tetapi, Anggito menutup mata, meyakinkan Renata untuk melakukan hal yang sama. “Ren, ini nggak mudah buatku.” “Apalagi buatku, Gi. Kita nggak kenapa-napa lalu kamu minta putus. Wajar, kan, aku bingung? Aku salah apa? Apa yang salah?” “Kamu nggak salah. Aku yang salah.” Klasik! “Salahmu di mana? Ada perempuan lain?” Renata menelan ludah. Kemungkinan barusan sering terlintas di benaknya, bahwa suatu hari Anggito bertemu perempuan yang jauh lebih layak untuk dipersuntingnya. “Bukan itu. Tapi, waktunya nggak tepat untuk membahas ini sekarang.” “Ya, memang. Pilihan waktunya nggak tepat. Tapi, kamu sudah telanjur memulainya.” Suara Renata mulai serak dan bergetar. “Aku jelaskan nanti saat kita bertemu. Hal serius kayak gini nggak bisa dibicarakan lewat telepon.” Renata mendengus kecil. “Kamu sudah telanjur melempar granat, Gito. Lalu, kamu berharap aku nggak dihantam ledakannya?” “Maaf.” “Maaf melulu. Diobral tiga seribu di pasar Condet sana kata maafmu nggak bakalan laku!” Anggito diam saja. Jantung Renata berdetak tak karuan. “Kamu serius kepingin putus?” bisiknya. “Ya.” Napas Renata terbendung. “Ya sudah. Kamu nggak perlu menjelaskan alasannya. Aku sudah tahu ini akan terjadi.” “Ren—” “Pada akhirnya kita tetap selesai, kan?” “Ren, tolong—” Rasa pahit menyembur dari pangkal lidah Renata. “Terima kasih untuk semuanya, Gi.” “Ren, ini semua nggak akan terjadi kalau saja kamu—” “Kalau saja aku apa?” Renata menyela. “Kalau saja hubungan kita ini jelas akan dibawa ke mana.” Renata terduduk di pinggiran kursi. “Aku nggak paham kamu ngomong apa, Gi.” “Coba kamu ingat-ingat lagi, Ren. Aku sudah berkali-kali membawamu bertemu keluargaku. Tapi giliran aku yang meminta diperkenalkan dengan keluargamu, kamu selalu berkelit.” Suara Anggito terdengar sarat emosi. “Lalu, hubungan kita akan berakhir di mana? Usia kita nggak dua puluhan terus, Ren.” Renata terbungkam. Tubuhnya terasa ringan. Dihantam sedikit lagi ia bisa pingsan. “Jadi, itu masalahnya?” bisiknya kemudian. “Aku cinta kamu, Renata. Tapi, semakin lama alasan kamu semakin absurd. Aku nggak bisa melihat ujung perjalanan kita.” Setetes air mata meluncur hangat di pipi Renata. Bibirnya bergetar. “Kamu tahu sendiri kondisiku kayak apa, Gi.” “Kondisi seperti apa yang tidak dimaklumi ayah bundaku, Ren?” “Aku ... aku...” “Sebenarnya, kamu mau nggak, sih, bersamaku? Siapa sebenarnya yang terkesan main-main sekarang?” Kata-kata Anggito seperti bom yang memporak-porandakan pijakan Renata. Membuat Renata seketika mempertanyakan tujuan hidupnya. “Kalau kamu juga mencintaiku, selesai acara Mbak Kia nanti, tolong bawa aku ke Tasik. Perkenalkan aku dengan keluargamu. Aku akan melamarmu secepatnya. Nggak perlu lagi kamu susah-susah bekerja siang dan malam.” Air mata Renata jatuh ke perut. “Kamu malu aku kerja di swalayan, sementara kamu—” “Astaga! Bukan itu, Renata.” Renata mengusap air mata di pipi. “Gi, kamu dengarkan aku.” “Kamu tahu aku selalu mendengarkanmu.” “Kalau aku mempertemukanmu dengan keluargaku, kita nggak jadi putus?” “Ya. Kita nggak jadi putus. Kamu tahu sendiri aku cinta sama kamu.” Renata menarik napas dalam-dalam. “Kalau begitu, kita putus saja, Gi.” “Apa?” Anggito terperanjat. “Kamu gila, ya? Aku nggak ngerti.” “Kamu nggak perlu mengerti, Gi. Toh, pada akhirnya nanti kamu tetap nggak akan bisa mengerti. Hubungan kita akan tetap berakhir.” “Ren—” “Selamat tinggal, Anggito. Titip salamku buat Mbak Kia. Semoga acaranya lancar. Aku harap di kesempatan selanjutnya kita nggak perlu bertemu lagi.” Renata mengakhiri panggilan. Tangannya menggigil memblokir seluruh kontak Anggito. Nomor ponsel, w******p, serta media sosial. Bokongnya terempas lembut ke pinggiran tempat tidur. Rasa hampa menghajarnya telak. Renata mengangkat kedua kakinya, lalu membenamkan kepalanya memeluk lutut. Dalam tangisnya, Renata tergelak. Onggokan gaun serta aksesoris di atas tempat tidur membuat tawanya membesut lebih keras. Lima juta rupiah terbuang sia-sia. Diambil dari tabungan rahasia yang ia kumpulkan bertahun-tahun lamanya. Terbayang olehnya uang tersebut bisa digunakan untuk membayar cicilan motor adiknya, belanja Ambu, tagihan listrik, BPJS, beli beras, gas melon, cabai, bawang, ongkos MRT, uang kos. Kini teronggok layaknya sampah. Pikirannya kembali melayang pada mimpi yang Anggito tawarkan sejak lama. Sebuah mimpi yang membuat Renata kerap dirundung dilema. Kini Renata sadar. Terkadang, seseorang mendorong orang yang amat berarti pergi dari hidupnya bukan karena tidak cinta, tetapi karena bertarung dengan lukanya sendiri saja ia sudah kewalahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD