Chapter 5

667 Words
Dulu, Renata pikir semua anak perempuan mengalami hal serupa. Ia pikir sentuhan-sentuhan tanpa izin, bisikan-bisikan menjijikkan, dan perasaan tidak nyaman kala berada di dekat lelaki adalah bagian dari perjalanan tumbuh dewasa. Baru setelah usianya kian beranjak, ia sadar, ada yang dirampas darinya sejak masih amat belia. Bukan sekadar tubuh atau harga diri, tetapi rasa percaya bahwa dunia bisa menjadi tempat yang ramah untuknya. "Kamu kemarin bersama kakek di sebelah itu?" Dua orang anak perempuan menghampiri Renata saat jam istirahat. Renata mengenal mereka sebagai kakak kelasnya. Renata ingin mengangguk. Aki berkata jadi orang harus jujur. Tetapi, kepalanya malah menggeleng. "Kamu hati-hati, jangan mau dekat-dekat kakek itu. Dia jahat. Nanti kamu dipegang-pegang. Hiyy!" Salah satu dari mereka menampakkan muka geli dan jijik. "Saya teh cuma dikasih jambu, lalu saya langsung pulang," kata Renata berbohong. Ia bahkan pura-pura tertawa geli seperti kedua kakak kelasnya, seolah ikut merasa jijik tanpa benar-benar paham bagaimana seharusnya rasa jijik itu bekerja. Di dalam dadanya, sesuatu menggumpal. Tapi ia menelannya, menguburnya ke dasar lambung. Ia terlalu kecil untuk menyadari bahwa yang sedang ia lindungi bukan dirinya, melainkan kakek tua itu. Ia membungkam dirinya sendiri sebelum dunia sempat melakukannya. Dan sejak saat itu, ia jadi piawai mengingkari apa yang dirasakannya. Yang tersisa kepada lelaki tua di samping sekolah itu adalah dendam, terpendam dalam diam, mengendap seperti endapan lumpur di dasar danau. Setiap kali Renata pulang ke desa, ia memalingkan muka dari rumah berwarna kuning itu. Sama seperti ia memalingkan kenangan, juga harga dirinya yang terkubur di kebun belakang. Kepada Abah, ayah tirinya, dendam itu lebih pekat. Lelaki itulah yang pertama kali merenggut kepolosan dunia Renata. Lelaki itu mendirikan gerbang awal, sebuah tempat di mana tubuhnya tak pernah lagi menjadi miliknya sendiri. Dendam-dendam lainnya bermunculan satu per satu, tak selalu bernama, tapi membekas dalam rupa luka yang berbeda-beda. *** Kamar Nuha terletak di dekat dapur. Handle pintunya copot dan Bapak Nuha memasang palang kayu dari dalam untuk sementara. Nuha sudah berganti pakaian, sedangkan Renata duduk di ujung tempat tidur menunda kepulangannya. Tidak ada yang menunggunya di kos. "Sebenarnya tadi Teteh bisa lapor polisi," kata Nuha mengawali pembicaraan mengenai rasa penasarannya. "Biar dia kapok. Siang bolong begitu, berani-beraninya ngeremas p******a orang." Renata terdiam. Matanya terpejam sejenak. Seharusnya ia pulang saja, daripada harus menjelaskan kepada Nuha akan sikapnya. Tubuhnya merespons dengan cara yang amat bodoh. Kaku seperti batu. Selalu saja begitu. "Memangnya polisi akan secepat itu menangkap orangnya, Nu?" "Siapa tahu ada warga yang pasang CCTV di depan kompleks, kan, Teh? Rumah-rumah yang di depan itu bagus-bagus. Masa nggak ada kameranya?" sahut Nuha geregetan. "Kalau tadi Teteh bilang sama warga, aku yakin mereka bakalan ngejar motor m***m itu. Mereka pukuli beramai-ramai." "Nggak bakalan, Nu." Renata menggeleng pahit. "Yang ada malah saya yang disalahkan." "Kenapa mereka malah menyalahkan Teteh?" sahut Nuha kebingungan. "Teteh ini aneh. Kan, Teteh korbannya?" Renata tersenyum kecil. Dunia Nuha adalah dunia yang berbeda. Dunia yang aman di mana Nuha memiliki ayah tentara dan dua kakak lelaki yang menjaga. Dunia yang membuatnya percaya bahwa korban pasti dibela. Sedangkan dunia Renata adalah dunia yang rentan, tempat perempuan harus menyalahkan dirinya sendiri karena tubuhnya. Nuha menatap Renata lebih lama, lalu berkata lirih, "Teteh pernah ngalamin yang kayak gini sebelumnya, ya?" Renata tak menjawab. Ia hanya menatap dinding, lalu menunduk. Diamnya lebih nyaring dari jeritan yang paling lantang di dunia. "Biasanya memang begitu, Nu. Perempuan selalu disalahkan. Dan yang menyalahkan kebanyakan juga para perempuan itu sendiri," sangkal Renata, tidak ingin Nuha menebak-nebak penuh rasa curiga. Ia diam-diam melirik dadanya. Ukuran payudaranya lebih besar dan mencolok. Bila sebagian perempuan membayar mahal untuk menambah volume, Renata justru mendambakan sebaliknya. p******a kecil yang nyaris tidak terlihat. Tubuh yang tidak mengundang. Ia ingat ejekan di masa sekolah menengah, bisik-bisik, tatapan sinis, dan suara tertawa di belakang punggungnya. Kebanyakan dari teman-temannya sesama perempuan. "Pasti sering diremas, makanya gede begitu." Tak ada yang bertanya apakah ia menginginkannya. Tak ada yang tahu bahwa impian Renata yang paling primordial, terkubur di lorong paling sunyi, adalah menjadi cukup kaya untuk mengecilkan payudaranya. Bukan demi kecantikan, tapi demi keselamatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD