Rasa Bersalah

1553 Words
Alvira duduk gelisah di bangkunya. Pikirannya mengelana pada kejadian tadi malam, dan ia merasa sedikit khawatir pada keadaan Adreno. Ya, biar bagaimana pun juga, cowok itu terluka karena menyelamatkannya kan?   Ah. Sebenarnya Alvira masih jengkel sama perlakuan Adreno tadi malam. Dia adalah cowok paling egois yang pernah Alvira kenal seumur hidup. Ya gimana enggak kalau dia saja enggak menerima saran dari orang lain? Main kasih perintah seenak jidat. Lagian si Raja juga mau-maunya di suruh bolak balik kayak setrikaan.   "Lo kenapa sih Vir? Gak nyaman banget duduknya?" Ana menyenggol lengan Alvira yang sayangnya itu adalah bagian yang terkena pukul tadi malam.   Alvira meringis, "Sakit b**o! Gak liat apa lengan gue memar?" bentaknya jengkel.   "Sorry, gak sengaja Vir," Ana meringis bersalah. "Sensi banget sih lo hari ini."   "PMS." balasnya cuek, lalu menenggelamkan wajah pada lipatan tangan. Alvira juga enggak tahu. Kenapa suasana hatinya selalu jelek kalau udah berurusan sama Adreno?   "Eh, ketua OSIS gak berangkat masa satu sekolah langsung pada heboh."   Griya datang dari arah pintu dengan sebungkus chiki di tangannya. Mendekat, ia duduk di sebelah Ana. "Itu si Vira kenapa?"   Ana mengangkat bahu. "PMS katanya."   Dan, enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba Alvira bangkit dari posisi duduknya.   "Mau kemana?" tanya kedua sahabatnya bersamaan.   "Beli susu." balas Alvira datar, ia lalu melangkah santai ke luar kelas.   Griya dan Ana saling berpandangan, "Sejak kapan seorang Alvira doyan minum s**u?"   ****   Suasana kantin tampak ramai di jam istirahat seperti sekarang. Meja-meja kantin nyaris penuh tak bersisa, semua murid sibuk bergerombol sambil makan dan bergosip ria.   Alvira menghembuskan napas, lalu mulai melangkah memasuki kantin. Sebenarnya Alvira malas ke sini, selain ramai dan sesak, banyak mata-mata yang menatapnya penuh rasa ingin tahu, membuatnya tidak nyaman.   Tapi, beda lagi ceritanya jika Alvira ke kantin saat jam pelajaran. Itu adalah surga dunia yang sayang untuk dilewatkan.   Cewek itu mendesah lega saat melihat dua orang yang dicarinya berada di ujung kantin, tempat mereka biasanya duduk.   "Adreno katanya gak masuk hari ini? Padahal nanti kan masih ada event basket."   Alvira menghentikan langkahnya saat mendengar nama Adreno di sebutkan. Tepat satu meja dari tempatnya berdiri, sekelompok siswi sedang bergosip ria sambil makan.   "Katanya dia sakit."   Dahi Alvira menyerit. Berita tentang Adreno yang tidak masuk sekolah ternyata bisa seheboh ini ya? Dan, apa lukanya memang se-parah itu sampai enggak masuk sekolah?   Alvira menggelengkan kepala dan mempercepat langkahnya ke meja di ujung kantin.   Sebenarnya Alvira gengsi jika harus menghampiri Raja dan Radit saat ini, apalagi dengan puluhan pasang mata yang mengawasi dirinya.   Tapi mau bagaimana lagi? Keadaanlah yang memaksanya. Ia merasa bersalah dengan apa yang terjadi Adreno. Biar bagaimanapun, Adreno terluka karena menyelamatkannya kan? Kalau enggak ada cowok itu, Alvira enggak tahu apa yang bakal terjadi dengan kepalanya sekarang.   Alvira duduk di depan Raja. "Gimana keadaan temen lo?" tanya cewek bernetra arang tanpa basa-basi.   Raja yang sedang menyedot jus mangganya mendongak, lalu menaikkan alis saat mendapati Alvira. "Bukan urusan lo," balas Raja datar, kemudian kembali pada aktivitasnya, menekuni sesuatu di layar laptop.   "Ciyeee yang perhatiaaaan, ahay!" Radit menimpali sambil terkekeh. Cowok itu sedang bersandar sambil memakan chiki.   Alvira melayangkan tatapan sinis, "Diem lo, bangke! Lo kayak cewek tau gak?!"   Radit hanya terkekeh, sama sekali tidak tersinggung. "Lo gak nanya gue? Gue tau loh keadaan Reno," katanya bangga.   Alvira memutar bola matanya, "Males gue nanya sama curut macem lo, ntar lo manfaatin gue lagi," ujarnya sinis.   Ya, Radit memang terkenal suka memanfaatkan seseorang yang meminta bantuannya. Sudah jadi rahasia umum tentang kelakuannya yang satu itu. Radit tidak pandang bulu dalam menjalankan kemauannya, tapi beda lagi jika Raja atau pun Adreno yang meminta bantuan. Cowok itu akan dengan senang hati membantu sahabatnya.   Hey, tapi tidak ada yang tahu kan? Bisa saja Radit mendapatkan sesuatu setelah menolong mereka.   Alvira lalu mengalihkan tatapannya pada Raja yang sama sekali tidak terganggu. "Raja, kasih tau gue gak? Atau lo mau gue panggilin Griya?" ucapnya mengancam.   Alvira tahu sekali jika Raja tidak menyukai Griya yang suka mengganggunya. Dan Alvira memanfaatkan itu agar Raja mau buka mulut. Sorry, Gri, gue bawa-bawa nama lo buat luluhin Raja. Alvira berbisik dalam hati. Ya mau gimana lagi cuma ini satu-satu cara yang Alvira tahu buat menggertak Raja.   Raja mengangkat wajahnya. "Sejak kapan seorang Alvira Anindya peduli?"   "Banyak omong ya lo? Tinggal kasih tahu apa susahnya sih?" Alvira mulai tidak sabar.   "Sampe bumi gonjang ganjing juga Raja es itu gak bakalan buka mulut. Gue jamin. Mending lo nanya gue aja." Radit menimpali santai, namun pandangannya fokus pada gadget di tangannya.   Alvira merasa diabaikan. Tangannya mengepal erat, ingin menggebrak meja di hadapannya ini sekuat tenaga. Tapi ia coba tahan karena mengingat ada puluhan pasang mata sedang mengawasinya dalam diam.   "Cepetan pe'a! Lo gak liat fans fans lo kayak mau nerkam gue? Sialan." Alvira mendesis marah, netranya menyipit tajam pada Raja.   "Adreno baik-baik aja. Dia gak selemah itu kali. Jangankan cuma luka gores, luka tembak aja gak bakalan bikin dia mati." kali ini suara Raditya yang terdengar. Alvira menoleh, cowok itu sudah meletakkan ponselnya dan menatap Alvira datar.   Sejenak, Alvira bisa menghembuskan napas lega. Tapi sedetik kemudian, matanya menatap menyelidik pada Raditya. "Lo gak akan minta imbalan karena ngasih tau gue kan? Ingat ya, gue gak nanya sama lo," ucapnya tajam.   "Santai kali. Parnoan banget kalau sama gue. Waktu beresin kekacauan lo kemarin juga gue gak minta imbalan kan?" cowok menggedikkan bahunya tak acuh. Tapi kemudian bibirnya terangkat menyerigai, "tapi kalo lo gak keberatan, gue mau kok dikasih imbalan cium," lanjutnya sok serius.   "Mati aja lo!" setelah mengatakan itu sambil menggebrak meja, Alvira bergegas pergi dengan wajah memerah marah. Sedangkan di belakangnya, Raditya tertawa kencang sambil memegang perutnya geli.   Sebenarnya, Alvira agak menyesal karena membuang waktu berharganya buat menanyakan keadaan Adreno. Seharusnya Alvira tahu kalau cowok songong macam Adreno enggak bakal mati cuma gara-gara luka gores. Ya, salah Alvira sendiri karena berada dalam situasi yang enggak tepat tadi malam.   ****   Sang rembulan telah beranjak, menggantung indah di atas langit yang bertabur jutaan bintang, nampak kokoh dengan sinar peraknya.   Alvira mengambil napas. Matanya terpaku pada lapangan skateboard yang masih tampak ramai meski ini bukan hari sabtu. Terakhir kali Alvira ke sini, dia enggak jadi bermain gara-gara moodnya hancur ketemu Adreno. Tapi sekarang, Alvira tahu bahwa cowok songong itu enggak bisa datang karena sekarat. Jadi dia bisa bermain sepuasnya tanpa terganggu.   Cewek itu mendesah saat melihat sang sepupu bersama dengan gadis yang berbeda lagi hari ini. Alvira mengeluarkan papan skatenya dan meluncur cepat ke arah Reyhan.   "Woy!!" Alvira memukul bahu Rey sekuat tenaga hingga membuat cowok itu terhuyung ke depan.   "Lo mau bunuh gue?" Rey menegakkan tubuh sambil mengusap bahunya yang berdenyut nyeri. Netranya menatap jengkel pada Alvira.   Seorang cewek dengan rambut pirang sebahu mendekat, lalu mengusap bahu Rey dengan sayang. Alvira yang melihatnya hanya berdecak muak.   "Pacar baru lagi? Ini urutan yang keberapa? Yang kemarin udah putus emangnya? Yang rambutnya warna cokelat itu..." Alvira sengaja mengeraskan suaranya. Kemudian tersenyum menyerigai saat melihat raut wajah pacar Rey memerah marah.   Rey menatap sepupunya tajam. "Lo apaan sih Ya?" kemudian melirik pada sang pacar yang mulai berkaca-kaca. "ini gak seperti yang kamu pikir, " ujarnya mencoba menjelaskan.   "Kita putus!" bentak si rambut pirang setelah melayangkan tamparan mautnya pada Rey. Setelah puas, cewek itu segera berlari meninggalkan lapangan skate ke arah parkiran.   "Bang Rey, berapa kali gue harus bilang sama lo buat gak mainin cewek?" Alvira bersedekap. Netra arangnya menatap Rey tajam, tapi ada sorot terluka di sana.   Sepupunya ini...kenapa susah sekali untuk diberitahu? Alvira tidak suka pada cowok yang suka mempermainkan wanita. Alvira hanya tidak ingin Reyhan berubah seperti ayahnya...   Rey meringis saat melihat raut wajah Alvira yang berubah sendu. "Gue...maaf," balasnya menyesal.   "Gue gak butuh maaf lo Rey, yang gue perlu cuma lo nepatin semua janji lo!"   Setelah mengatakan itu, Alvira segera beranjak dengan papan skatenya, menuju arena yang masih tampak sepi karena ia datang lebih awal.   ****   Adreno tersenyum tipis saat mengenali sosok dengan sweater biru dongker di tengah arena. Ia baru saja datang dan langsung mendapat pertunjukan memukau dari cewek brandalan sekolah, Alvira Anindya.   Cewek dengan kelereng arang itu ternyata cukup hebat saat melaju di atas lintasan. Gerakannya sangat luwes sekaligus tegas secara bersamaan. Lincah, tetapi juga penuh perhitungan. Tampaknya cewek itu memang sudah terbiasa dengan berbagai macam lintasan.   Adreno menyeringai. Memakai tudung jaketnya, kemudian mengayunkan papan skatenya menghampiri Alvira.   Saat sudah sampai, cowok itu mengikuti gerakan Alvira sama luwesnya, melewati lintasan demi lintasan dengan santai. Memang sudah biasa dalam komunitas ini para anggotanya berkolaborasi tanpa persetujuan lebih dulu. Dan Alvira yang belum sadar siapa cowok di sampingnya ini hanya terus melaju melewati lintasan.   Adreno meringis. Luka di lengannya memang sedikit mengganggu, tapi jika lawan bermain skatenya adalah seorang Alvira, dia enggak keberatan sama sekali. Lagipula~ kapan lagi dia bisa membuat cewek ini terkejut ketika melihatnya nanti?   Adreno menambah kecepatan dan mendahului Alvira untuk melaju ke lintasan melengkung tinggi di depan mereka, bersiap melompat dan melakukan heel flip sebelum melaju turun dengan sempurna, diikuti Alvira di sebelahnya.   Napas kedua insan itu terengah, permainan ini selesai. Mereka sama-sama terlihat memukau dan langsung mendapat tepukan riuh dari berbagai sisi. Dan entah sejak kapan lapangan ini sudah mulai ramai?   Adreno mengedarkan pandangan, menatap awas pada sekitar. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Dan benar saja, di antara kerumunan itu, terselip sosok pria berseragam hitam-hitam yang kemarin mengejarnya tanpa ampun.   Dan, bukannya mengawasi Adreno, mereka malah menatap seseorang di sebelahnya. Jantung cowok itu berdebar antisipasi, bukankah itu berarti~   Mereka sedang mengincar...   Alvira?   ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD