Persiapan

1910 Words
Alvira melangkah gontai di sepanjang koridor kelas. Tangannya menggenggam erat-erat sekotak kue yang baru saja ia beli di kantin. Rencananya, cewek itu akan meminta maaf pada Adreno--yah, walaupun ia sendiri malas melihat wajah menyerigai khas si ketua OSIS.   Cowok itu~pasti akan merasa di atas angin saat melihat Alvira meminta maaf. Tapi mau bagaimana lagi? Dalam hal ini, Alvira yang bersalah dan kelewat batas.   "Selamat pagi kak Vira."   Sapaan ramah dari adik kelas yang tak sengaja berpapasan dengannya membuat cewek itu berhenti sejenak dan tersenyum canggung. "Pagi juga," balasnya dengan nada aneh.   Ah, nyatanya baru beberapa kali ini Alvira disapa oleh seseorang, dan ia belum terbiasa. Cewek itu biasanya lebih sering mendapat tatapan sinis dan mencela dari anak-anak seangkatan--maupun kakak tingkatnya. Pamor Alvira yang kelewat jelek menjadi salah satu penyebabnya.   Tapi kini, kenapa semua orang mendadak ramah? Apa karena selebaran tentang dirinya seminggu yang lalu?   Cewek itu menggeleng, tidak mau ambil pusing dengan sikap anak-anak pada dirinya. Ia segera melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju UKS.   Tapi lagi-lagi, langkahnya kembali terhenti.   "Kak, exskul taekwondo mulai masuk kapan?"   Seorang cowok berkacamata persegi menghadang langkah Alvira. Dari seragamnya yang nampak masih baru dan badge nama yang belum terpasang, bisa dipastikan jika cowok ini masih kelas sepuluh.   "Hari selasa, abis dies natalis." balas cewek itu mencoba ramah. Ah, Alvira jadi teringat jika seminggu yang lalu, saat promosi ekskul taekwondo di kelas X, cewek itu lupa memberitahu jadwal latihan mereka.   "Thanks Kak!"   Alvira mengangguk. "Yang lain kasih tau ya, kemarin gue lupa soalnya," ujarnya tersenyum tipis, sangat tipis hingga tidak terlihat seperti sebuah senyuman.   Alvira menepuk pundak cowok itu pelan sebelum melanjutkan langkah, sebagai tanda terimakasih. Ah, tinggal dua meter lagi, ia sampai di UKS. Tapi kenapa cewek itu malah ragu untuk mendekat?   Hey! Sejak kapan seorang Alvira jadi penakut seperti ini? Batinnya berteriak marah. Cewek itu segera memepercepat langkahnya yang sempat terhenti. Saat sudah sampai di depan pintu UKS yang sedikit terbuka itu, Alvira mengintip ke dalam, memastikan jika cowok itu memang berada di sana.   Dan ternyata benar. Tepat di atas ranjang itu, Adreno berbaring kaku sambil menutupi wajah dengan lengan kirinya, nampak damai dan tenang. Cewek itu melangkah masuk dan menutup pintu, menghampiri sang ketua OSIS yang sepetinya tidak menyadari kedatangan Alvira.   Cewek itu melirik perban yang membungkus lengan kanan Adreno, sudah terlihat bersih ranpa noda darah seperti dua jam yang lalu.   Adreno... kenapa terlihat bagai malaikat jika dalam keadaan tertidur seperti ini? Sangat berbanding terbalik ketika kelopak itu sudah terbuka sempurna.   Alvira hendak meletakkan kotak kuenya di atas nakas sebelum suara berat Adreno terdengar.   "Mau minta maaf, eh?"   Cewek itu meletakkan kotak kuenya sedikit kasar hingga menimbulkan bunyi gaduh. Kenapa saat berada di dekat Adreno rasanya ia ingin kembali marah? Seperti ada sesuatu dalam diri cowok itu yang selalu bisa mengusik kemarahan Alvira.   Alvira memejamkan mata menahan emosi, lalu saat merasa lebih baik, ia membuka mata dan netranya langsung bertemu dengan manik kelabu yang kini terbuka sepenuhnya, menatapnya dengan pandangan tak terbaca.   "Pede banget sih," balas cewek itu tersulut gengsi.   Sang ketua OSIS terkekeh, "Saya memaafkanmu," balasnya sambil tersenyum manis.   "Tapi ~ kamu harus menjadi tangan kanan saya selama satu minggu--ah tidak, sampai tangan saya sembuh." lanjutnya kemudian.   Netra arang itu melotot tak percaya. "Lo mau gue jadi b***k lo?"   "Tidak, Alvira. Saya hanya meminta bantuanmu," balasnya tenang. Tapi~ ada senyum penuh misteri yang terkembang di bibirnya.   "Gak sudi," balas cewek itu sinis.   "Ya sudah. Sekarang kamu boleh pergi dan membawa kuemu," ujarnya santai. Adreno sedikit meringsek ke belakang ranjang untuk mencari posisi nyaman. Lengan kirinya kembali menutupi wajah.   "Tapi~jangan harap setelah ini, hidupmu akan tenang, Alvira. Kamu tahu kan apa yang bisa saya lakukan?" lanjut cowok itu lagi. Kali ini dengan nada dingin menusuk--penuh ancaman.   Muka Alvira merah padam, merasa geram karena sikap Adreno yang mengancamnya. Cowok ini kenapa menyebalkan sekali? Bisa tidak dia jadi anak manis sehari saja?   Alvira tahu segala desas desus tentang cowok di depannya ini sejak kelas sepuluh. Adreno itu, terkenal kejam dan tak segan-segan memberi perhitungan pada siswa yang ia anggap membangkang. Di balik sikapnya yang penuh topeng ramah dan penuh senyum itu~Adreno menyembunyikan sifat keji yang tak seorang pun tahu.   Bukankah saat pertemuan pertama mereka, cowok itu membawa pisau lipat ke sekolah? Oke--sebab Alvira enggak percaya jika benda yang ia lihat waktu itu cuma gantungan kunci. Bisa jadi cowok itu telah melakukan tindak kejahatan kan? Siapa yang tahu?   Alvira memang merasa bersalah karena membuat lengan cowok itu terluka. Tapi bukan berarti Alvira mau cowok itu suruh-suruh.   "Gue gak bakal terpengaruh sama omongan busuk lo itu Adreno! Gue gak takut! Terserah lo mau nagapain aja, gue gak peduli!"   Alvira membalas kejam,segera ia berlalu dan menutup pintu UKS dengan kasar. Meninggalkan sang ketua OSIS yang masih berbaring dengan sekotak kue di samping ranjang.   ***   "Abis ngapain aja di dalem? Kok bibir lo merah gitu kayak abis di cipok."   Sebuah suara langsung menyambut Alvira saat cewek itu menginjakkan kakinya keluar pintu UKS. Ia mendongakkan wajah, menemukan Radit yang sedang tersenyum menjijikkan ke arahnya.   Cowok aneh ini minta di hajar ya?   Dengan sigap Alvira menendang tulang kering cowok itu. "Bacot lo!"   Raditya ini~ sebenarnya punya masalah apa dengannya?   Cowok itu meringis, tendangan seorang Alvira memang patut di perhitungkan. Rasanya nyeri sekali, ia hampir membalas jika tidak ingat kalau Alvira itu seorang cewek. "Lo berani sama gue ya?"   Alvira berkacak pinggang. Sudut bibirnya terangkat sinis, "Lo nantang? Ayo! Gue jabanin. Mau kapan lo?"   Cowok itu berdecih. "Males gue lawan cewek." ia menatap Alvira dengan sorot menilai, "lagian... cewek itu enaknya di raba, bukan di tendang," lanjutnya dengan nada meremehkan.   Alvira melotot tajam, wajahnya memerah untuk kesekian kalinya menahan kesal dan marah. "Lo adalah cowok tergoblok yang pernah temuin! Mati aja sama si psikopat Adreno!"   "Alvira!" suara cempreng itu berhasil menghentikan tindakannya yang hendak menampar Radit.   Ia menoleh, mendapati Ana yang sedang berlari tergopoh-goboh ke arahnya. Setelah sampai, cewek itu menumpukan tangannya pada lutut, mengambil napas.   "Lo kemana aja sih? Gue cariin juga." Ana menegakkan tubuh dan menyeka keringatnya dengan punggung tangan.   "Ntar deh gue ceritain," balas Alvira kalem.   "Ah, Tasya, lo kelihatan seksi kalo lagi keringetan. Jadi cewek gue mau gak?"   Sumber suara yang terdengar santai itu membuat Alvira dan Ana menoleh serentak. Yang satu dengan menatap kaget, dan yang satunya lagi menatap Radit dengan pandangan, 'Cowok ini otaknya ke mana sih?'   ***   Persiapan dies natalis telah mencapai 70%. Event basket sudah memasuki babak final hari ini. Para supporter dari masing-masing sekolah mulai memadati gedung olahraga SMA Pandhawa, siap mendukung jagoannya masing-masing.   Adreno berdiri tegap di samping lapangan, kedua tangannya ia masukkan pada saku celana, sedang netra kelabunya menatap para peserta yang sedang mempersiapkan diri dengan pandangan tak terbaca.   Tepat di belakangnya, berdiri seorang Alvira dengan wajah memerah kesal. Cewek itu memegang kotak P3K dan sebotol air mineral milik Adreno. Jika bukan karena Ana dan Griya yang mendesaknya untuk menuruti perintah Adreno, pasti Alvira tidak akan sudi berdiri di sini, menjadi pusat perhatian seluruh pasang mata yang menatapnya dengan sorot menghina.   "Hoy! Kita ketemu lagi!"   Alvira menolehkan wajah saat bahunya ditepuk. Cewek itu mengerutkan kening, berfikir. Lalu saat sadar siapa cowok yang ada di hadapannya kini, Alvira menginjak kaki cowok itu tanpa ampun.   "Mau ngapain lagi lo kesini?" Alvira mendesis kejam.   Petra meringis sambil memegang kakinya. "Santai kali. Gak usah injek-injek kaki gue. Ini aset gue buat main basket hari ini," balasnya kesal.   Ya, babak final kali ini diikuti oleh SMA Baladewa melawan sang tuan rumah, SMA Pandhawa. Dan sudah pasti kan Petra ada di sini?   "Yaudah sana pergi kalau gak mau gue injek." Alvira mendelik sinis.   "Eh, lo kalo lagi marah cantik deh." cowok itu menggerlingkan matanya menggoda.   Netra cewek itu memicing, "Gak nyambung banget sih lo! Udah sana pergi."   "Lo mau jadi pacar gue gak?"   Alvira melotot tajam, bibirnya terbuka dengan wajah yang mendadak terlihat aneh. Cowok di depannya ini... Sudah gila ya?   Belum sempat Alvira menyuarakan protes, sebuah lengan sudah merangkul bahunya dan membuat cewek itu menoleh.   "Ah, Petra, kamu di cari gadis bernama Erika di sana."   Itu suara Adreno, cowok itu melirik seseorang cewek di depan ruang transit, sedang menatap ke arah mereka dengan sorot ingin tahu.   "Eh, oh oke!" Petra mengusap kepala belakangnya salah tingkah, kemudian bergerak menuju Erika yang kini tersenyum lebar menatapnya.   "Jangan percaya dengan ucapan Petra, cowok itu kelihatan playboynya."   Suara Adreno yang berbisik di telinga Alvira menyadarkan cewek itu. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari rengkuhan Adreno. "Lo apaan sih? Cari kesempatan banget." bentaknya marah.   Cowok dengan netra kelabu mengangkat bahu tak acuh. Ia melirik tangan Alvira, tersenyum menyerigai saat melihat botol minuman dan sekotak obat yang cewek itu rengkuh dalam pelukan. "Ikut saya keluar." ujarnya tiba-tiba.   Dahi Alvira menyerit bingung. "Ngapain?"   Cowok itu tak membalas dan mulai bergerak menjauh. Dengan perasaan dongkol, terpaksa Alvira mengikuti langkah cowok itu pergi, menuju pintu keluar gedung olahraga sambil sesekali menggerutu dan menghentakkan kaki.   ****   Cowok itu menatap hasil kerja keras timnya dengan tatapan bangga. Payung beraneka warna itu telah digantung berjejer, menyusuri jalan setapak yang akan mengarah langsung pada aula sekolah. Tempat di mana acara puncak akan di selenggarakan.       Beberapa pengurus OSIS masih terlihat sibuk dengan bambu runcing yang mereka tanam ke tanah. Bambu itu di pasang memanjang di sisi kanan dan kiri jalan. Nantinya, di atas bambu itu akan di taruh botol kaca gelap yang berisi minyak tanah bersumbu, lalu sumbu itu akan dinyalakan pada malam hari, menciptakan suasana temaram nan indah.   Cowok itu mejejalkan kedua tangannya pada saku celana, rasa lelahnya seharian ini terbayar sudah. Ia cukup puas dengan hasil kerja rekan-rekannya, mereka bisa diajak bekerja sama dengan baik.   "Eh, Ketos aneh! Gue capek tau bawa-bawa ginian kemana-mana. Gak guna!" Alvira datang dari belakang Adreno dengan langkah terseok-seok, bibirnya mengerucut sebal dengan dahi berkerut.   Sudah dua jam berlalu dan Alvira selalu mengekori kemana pun cowok itu pergi. Adreno itu~ manusia atau bukan? Kenapa cowok itu seperti tidak punya rasa capek?   "Kemari." Adreno mengangkat tangan kirinya untuk menyuruh cewek itu mendekat, tatapannya masih tertuju pada rekan-rekannya yang masih bekerja.   "Apaan? Sumpah ya, gue udah beneran jadi babu." Alvira menatap sinis saat sudah sampai di depan cowok itu.   Adreno tidak menanggapi dan mengulurkan tangannya. "Minuman saya," ujarnya serak.   "Eh muka lo pucet banget Ren." cewek bersurai sebahu itu menadadak panik saat melihat wajah Adreno yang seputih kertas, keringat dingin membasahi dahi hingga lehernya.   "Saya tidak apa-apa. Tidak usah sok peduli." Adreno berucap datar, sedang tangannya merebut paksa botol minuman di tangan Alvira, meneguknya hingga tandas.   Alvira mendesis geram, segera ia tarik lengan kiri cowok itu untuk duduk di kursi taman. "Lo tuh lagi sakit, bisa gak sih istirahat aja di rumah? Masih ada anak OSIS lain kan yang bisa gantiin lo?"   Alvira tidak bisa memungkiri jika ia merasa khawatir dengan keadaan cowok itu. Selama ini, belum pernah ia lihat Adreno tampak kelelahan dan pucat pasi. Tanpa sadar, cewek itu menggigit bibir bawahnya.   Apa ini gara-gara kejadian tadi pagi? "Tidak bisa, ini tanggung jawab saya." Adreno menyenderkan punggung, memejamkan mata sejenak saat merasakan seluruh tubuhnya mendadak nyeri dan kaku. Kenapa? Tidak biasanya cowok itu selemah ini. Apa karena ia sudah mencapai batas maksimal yang tubuhnya bisa tahan? Cowok itu membuka mata saat merasakan sebuah kain menempel di dahinya.   "Badan lo panas. Gue panggilin Raja ya biar nganter lo pulang?"   Itu adalah tangan Alvira yang sedang mengelap keringatnya. Cowok itu berkedip dua kali untuk memastikan jika ia tidak salah lihat. Ini benar Alvira Anindya si atlet taekwondo galak itu kan?   Adreno menjauhkan tangan Alvira dari wajahnya, lalu menggenggam jemari hangat itu dengan tangannya yang dingin. Manik kelabunya menatap Alvira lekat,   "Kamu... mau jadi pacar saya?"   ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD