Namanya Alvira Anindya

1838 Words
Alvira menggebrak meja di hadapaannya keras hingga menimbulkan bunyi gaduh. "Gila! Ketua OSIS kita bawa pisau lipat ke sekolah!"   Seluruh penghuni XI IPS 1 menoleh serentak, kemudian berjalan ke arah Alvira dengan sorot penasaran. Ketua OSIS sempurna semacam Adreno, bagaimana bisa membawa benda terlarang ke sekolah?   Alvira menatap wajah teman-temannya lekat satu persatu. Kemudian berkata dengan nada tajam, "Kita harus lapor ke guru," katanya mencoba memprovokasi.   Mereka langsung membuat kerumunan di meja depan.   "Ya! Ketua OSIS kejam itu harus segera dilaporin!" cowok bersurai ikal—Rafan segera menambahkan dengan berapi-api.   Pasalnya, Rafan adalah salah murid yang menjadi haters Adreno. Jadi apapun info yang bisa menjatuhkan image sang ketua OSIS, maka Rafan akan menjadi orang nomor satu yang ikut mendukung.   "Apaan sih lo Vir, cogan kayak Adreno mana mungkin bawa pisau lipat ke sekolah?" Griya yang merupakan fans berat Adreno sekaligus sahabat dekat Alvira menyuarakan protes.   Salah satu pria berbadan gempal ikut menimpali. "Lagian cuma bawa pisau  lipat doang kan? Bukan golok atau celurit? Emangnya si Reno mau ikut tawuran kayak lo Vir?"   Alvira mengalihkan tatapannya pada Griya. "Kok lo gak belain gue sih Gri?" balasnya tidak suka. Kemudian melemparkan tatapan tajam— menusuk pada cowok bertumbuh gempal itu. "Dan lo, Dika! Gak usah banyak omong kalo gak mau gue bacok!"   Dika yang mendapat tatapan itu langsung mematung di tempatnya. Sedetik kemudian, ia mengangkat tangan tanda menyerah.   "Tapi lo kan gak punya bukti kalo Bang Reno memang salah. Lagian nih ya, menurut gue, cowok ganteng itu gak pernah salah." Griya menimpali seraya tersenyum polos.   Alvira memutar bola mata, sedang siswa yang lain mendesah pasrah atas kepolosan Griya yang sudah diambang batas kewajaran itu.   "Cogan aja terus yang ada dipikiran lo! Sana urusin tuh si kutub Raja."   Alvira menatap Griya sinis. Walaupun Griya adalah sahabatnya, tetapi dirinya tidak suka dengan sifat Griya yang seringkali mendekati cowok berlebihan. Dirinya tidak seperti Ana yang mendukung apapun yang Griya inginkan.   "Oke. Gue bakal lapor guru. Dan lo, Rafan. Pasang kertas pengumuman ini ke mading sekolah."   Cewek itu mulai bergegas, menyerahkan kertas hvs yang telah ia beri tulisan saat perjalanan ke kelas pada Rafan.   "Pokoknya berita ini harus tersebar ke seluruh SMA Pandhawa. Biar si ketos sombong itu jera." bibir kemerahan itu terangkat, mengulas senyum culas. Sebentar lagi... nama ketua OSIS sok sempurna itu akan segera tercemar.   ***   Alvira berjalan mengendap-endap di ujung koridor, sesekali melirik waspada ke sekitar. Dirinya mendapat info jika Adreno dan anak buahnya sedang berada di depan kelas XII IPA 2. Ia kemudian memutuskan kemari dan mengintai dari balik tembok untuk melihat ekspresi cowok itu.   Berita tentang Adreno telah tersebar hingga ke seluruh penjuru SMA Pandhawa, bahkan dewan guru pun sudah tahu mengenai berita ini. Tapi karena memang Adreno adalah murid kesayangan guru, jadi tidak ada satu pun dari mereka yang percaya dengan berita ini. Benar-benar sialan.   Alvira dan Rafan sudah susah payah berkeliling ke seluruh kelas untuk memberitakan kejadian tadi pagi. Tapi responnya tidak semenarik yang dia duga. Bahkan beberapa kelas yang Alvira datangi malah menuduhnya menfitnah ketua OSIS tampan mereka. Ada yang hampir main fisik juga. Dan Alvira, tentu saja. Enggak bakal diam kalau dirinya dilawan.   Tepat di samping pintu kelas, Adreno berbicara dengan salah satu antek-anteknya. Kalau tidak salah, namanya Raditya. Dia juga tak kalah populer dengan Adreno. Jika Adreno terkenal dengan ketampanan dan kesempurnaannya, maka Radit terkenal karena sering berganti-ganti pacar. Mungkin seluruh siswi SMA Pandhawa pernah menjadi mantan pacarnya. Kecuali Alvira, tentu saja.   Lalu, cowok di sebelah kanan Adreno adalah Raja. Cowok balok es yang dipuja Griya setinggi gunung Jaya Wijaya.   Lama, Alvira mengamati ekspresi Adreno. Melihat apakah serangan yang dirinya lakukan mempengaruhi cowok itu. Atau paling tidak, membuatnya marah dan terganggu. Tapi, wajah Adreno masih terlihat tenang, tanpa riak. Seolah kehebohan yang baru saja Alvira lakukan tidak berarti apapun.   Dan, hal itu membuat Alvira dongkol setengah mati. Memang enggak ada gunanya mencari gara-gara sama ketua OSIS. Cowok itu terlalu dipuja hingga membuat orang-orang memaklumi kesalahannya. Dan, Alvira menyesal karena membuang waktunya yang paling berharga.   Alvira baru akan kembali ke kelas ketika Adreno menatap ke arahnya, tajam. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini Alvira tidak bisa mengalihkan pandangan. Tubuhnya membeku. Dia seolah tenggelam dengan sepasang iris kelabu milik Adreno.   ***   "Namanya Alvira Anindya."   Adreno memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Mendengarkan suara Radit dalam diam.   Berita mengenai dirinya yang membawa benda tajam ke sekolah telah sampai ke telinganya. Dan sekarang, Radit tengah melaporkan siapa dalang di balik pencemaran nama baik Adreno.   Mereka bertiga sedang berada di koridor yang tepat menghadap taman, berdiri dengan tenang di sana, tak peduli dengan beberapa murid yang menatap mereka penuh minat. Adreno dengan sikapnya yang tenang tanpa riak, Raditya dengan gaya tengilnya yang melebihi batas kewajaran, serta Rajawali yang dingin dan tak tersentuh.   Radit menggerlingkan mata pada siswi yang berjalan melewati mereka sebelum melanjutkan perkataannya. "Ituloh, anak kelas XI IPS 1, yang kemarin kena skors karena ketahuan tawuran sama sekolah sebelah."   Adreno menaikkan alis, kemudian ingatannya tertuju pada gadis mungil yang berdiri di bawah tiang bendera. Gadis dengan potongan rambut pendek yang mengawasinya tadi pagi. Jadi... Nama gadis pembangkang itu Alvira Anindya ya?   "Anaknya lumayan cantik sih, tapi susah buat dijadiin gebetan. Terlalu brandal. Ya gak Bang Raja?"   Radit terkekeh sambil menyenggol lengan Raja yang sedari tadi hanya bergeming di tempatnya.   "Gak usah nyenggol lengan gue, najis." Raja berucap datar sambil membersihkan lengannya, sedangkan Radit memutar bola mata jengah.   "Dosa apa gue di masa lalu sampe bisa temenan sama es serut kayak kalian berdua?" Radit menepuk dahinya dramatis, kemudian menatap kedua sahabatnya bergantian.   Saat pandangan Radit mengarah pada taman di depannya, ia melihat sosok gadis yang sejak kelas sepuluh mengejar Raja.  Dilihatnya cewek itu--Griya, sedang menatap Raja dengan senyum lebar menghiasi bibirnya.   "Eh, bang Raja, ada Neng Griya noh."   Radit kembali menyenggol Raja, kali ini sambil menyerigai saat melihat Griya berlari ke arah mereka.   Raja mendengus jengkel, lalu mulai beranjak dari tempatnya, menghindari Griya tentu saja. Tapi sebelum itu, Raja menepuk bahu Adreno sekilas. "Ingat, jangan terlalu keras sama Alvira."   Adreno hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Raja, kemudian terkekeh pelan saat suara melengking dari fans terberat Raja mengiringi kepergiannya.   Sebenarnya Adreno tidak terlalu peduli dengan berita murahan tentangnya. Tapi jika cewek pembangkang seperti Alvira dibiarkan begitu saja, maka dia akan merasa semakin di atas awan dan semakin brutal. Adreno kembali tersenyum tipis, memberi Alvira sedikit peringatan sepertinya menarik.   "Eh, kayaknya lo punya stalker baru deh Ren. Coba lihat ujung koridor."   Suara berat Radit berhasil mengalihkan fokus Adreno. Ia menoleh dan mendapati cewek pembangkang itu tengah mengintip dari balik tembok.   Manik kelabu dan hitam arang itu bertubrukan, saling mengunci satu sama lain. Waktu pun seolah berhenti, bahkan desauan angin pun tak terdengar. Yang ada hanya sepasang kelereng yang saling menatap.   Adreno yang tersadar lebih dulu segera berjalan mendekat, bibirnya menyerigai saat melihat cewek itu masih terpaku di tempatnya berdiri.   Adreno memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku saat telah sampai di depan Alvira. "Apa saya terlalu tampan sampai kamu enggak bisa mengalihkan pandangan, Nona?"   Adreno mengangkat alis saat melihat Alvira tersadar dari keterpakuannya. Mata gadis itu melebar dengan sedikit bibir terbuka. Menarik.   Alvira menggerjabkan mata tersadar, lalu dengan angkuh ia menimpali, "Siapa juga yang terpesona sama lo! Gak usah geer. "   "Oh ya? Lalu siapa tadi yang menatap saya tanpa berkedip?" balas Adreno meremehkan.   Alvira merasakan pipinya memanas, meruntuki dirinya sendiri yang entah kenapa bisa terpaku saat ditatap seorang Adreno. Mencoba mengalihkan perhatian, cewek itu segera menendang betis Adreno. Tapi sebelum itu terjadi, cowok itu sudah lebih dulu menghindar.   Alvira mengumpat sambil menghentakkan kaki. "Sialan."   Adreno hanya terkekeh melihat tingkah Alvira yang terlihat kesal. Gerak refleks Adreno memang sudah terasah sejak kecil, jadi sangat mudah baginya untuk membaca gerakan Alvira.   "Udah beralih profesi dari tukang buat onar jadi stalker, hmm?"   Pipi Alvira merah padam menahan amarah. Ia menggertakkan gigi, "Siapa juga yang stalker? Gue cuma gak sengaja lewat kok. Gak usah sok tau."   Adreno membalas dengan tenang, "Saya enggak peduli." cowok itu mengerutkan kening sebelum melanjutkan. "Ah... Saya kemari ingin meminta pertanggung jawaban."   "Emang gue ngapain lo? Lo gak hamil kan?" Alvira memicingkan mata, seolah menyelidik.   Adreno hanya mengangkat sebelah alisnya. "Gak lucu."   Alvira balas melotot tajam. "Gue juga gak lagi ngelucu!"   Kali ini Adreno tergelak. Hanya sedetik sebelum ekspresinya berubah menjadi dingin. "Saya tidak mau tahu, nama baik saya harus sudah bersih besok pagi. Atau kamu akan tahu akibat melawan saya. Saya tidak main-main."   "Gue... Alvira Anindya, gak akan sudi narik perkataan gue. Orang sok sempurna kayak lo sekali-kali emang harus punya cela! Lagian... Gue emang lihat lo bawa pisau lipat kok!"   Alvira bersedekap, manik arangnya menyiratkan aura permusuhan yang kentara.   Adreno mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Membawa benda itu tepat di depan wajah Alvira. Sebuah gantungan kunci dengan bandul bulan sabit yang terlihat berkilau, terbuat dari perak. Ukurannya cukup besar, mungkin sekitar lima belas senti.   Adreno tersenyum manis. "Ini yang kamu maksud pisau lipat? Kamu mau mencobanya? Melukai tanganmu dengan sabit ini?"   Alvira menatap gantungan itu dan wajah menyebalkan milik Adreno bergantian. Nyatanya, benda itu memang mirip dengan yang Alvira lihat tadi pagi, yang dirinya kira pisau lipat. Seketika, rasa panas menjalari pipinya hingga leher.   Jadi, Alvira salah lihat, ya?   Kalau begitu, adakah yang mau menutupi wajah Alvira sekarang? Sebab, dia malu sekali. Sungguh. Rasanya pengen menghilang ke antartika. Kayaknya main sama beruang kutub di sana lebih enak deh. Enggak perlu takut malu.   Adreno memiringkan kepala. Ia berkedip polos. "Jadi?"   Alvira gelagapan. Ia memalingkan muka. Di otaknya langsung memproses kalimat pembelaan. "Ya... bisa aja kan itu cuma akal-akalan lo doang. Sebenernya lo emang bawa pisau. Tapi lo ganti sama gantungan."   Alvira mendapat kepercayaan dirinya kembali. Ia menatap cowok di depannya dengan sorot menantang. "Ngaku aja deh. Nggak usah sok pencitraan di depan gue."   Adreno terkekeh sambil menyerigai. Suaranya terdengar sangat merdu, seperti sebuah nyanyian surgawi. Alvira hampir terpesona jika saja dia tidak ingat dengan sifat manipulasi Adreno yang bak seorang iblis. Dia memang paling pintar memutar balikkan keadaan.   "Saya suka dengan sikap pemberanimu, Nona manis." jeda sejenak, tangan Adreno terangkat, mengusap kening Alvira dengan gerakan memutar, "tetapi... saya lebih suka melihatmu jadi cewek penurut dan mempercayai ucapan saya."   Adreno menyentil kening gadis di hadapannya sambil tersenyum tipis, tanpa raut muka bersalah sama sekali. Tenang, tak beriak, tetapi bisa menghanyutkan dalam waktu bersamaan.   Alvira yang mendapat perlakuan tidak sopan itu melotot, sedang tangannya menyentak tangan Adreno kasar.   "Gak usah sentuh gue!" Alvira mendesis tajam, manik sehitam arangnya seolah mengeluarkan sebilah pisau yang siap menusuk lawannya hingga mati.   Orang-orang yang mendapatkan tatapan itu dari seorang Alvira biasanya akan langsung lari dan menghindar, tetapi tidak dengan Adreno, pria itu hanya mengangkat alis sembari tersenyum geli.   "Kamu... ingin bermain dengan saya ya?"   Alvira mengangkat dagu, seolah menantang, "Siapa takut? Orang manipulatif kayak lo itu pantesnya di neraka! Sok-sok'an bertingkah kayak malaikat pula. Najis."   Setelah mengatakan itu dengan nada angkuh, Alvira segera berbalik, meninggalkan Adreno yang terkekeh geli sembari memegang perutnya.   Saat punggung gadis itu telah menghilang, Adreno segera menormalkan ekspresi wajahnya menjadi datar.   "Alvira Anindya, mulai hari ini, kamu enggak akan pernah bisa lepas dari saya." gumamnya pasti.   Ya, tidak akan pernah ada yang bisa lari dari seorang Adreno, sekeras apapun mereka berusaha dan meronta.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD