Bagian 03

1528 Words
Mora dan Arka sedang duduk di balkon kamar. Tadi, Mora mengajukan protesnya pada Arka, dia tak terima dengan perintah Arka yang meyuruhnya pindah dan akhirnya terjadi perdebatan antara Mora dan Arka. “Gue cuma nggak mau lo dibully lagi, makanya gue suruh lo pindah! Emangnya salah! Gue cua mau jalanin tugas gue sebagai suami yang baik, bertanggung jawab dan bisa jaga istrinya. Salah kalau gue kayak gitu sama lo, Ra?!” Setelah debat yang panjang dan mengguras tenaga, akhirnya Mora menerima kekalahannya dan dia mau dipindahkan ke sekolah Papanya, SMA Nusa Pratama. Dia Luluh dengan ucapan Arka yang panjang itu. Sekolah SMA Nusa Pratama itu bukan sekolah kelas kaleng. Yang bersekolah di sana mayoritas anak orang orang berkantong tebal alias anak-anak kelas jetset. Ada juga anak dengan kecerdasan di atas rata-rata alias anak jenius. Dan di sana juga, sangat mementingkan namanya kelas sosial. Semakin tinggi kelas sosial keluarga maka semakin dihormati juga berkuasa di sana. Itulah yang ada di sekolah yang di bangun Kakek buyut Mora. "Ra, gue ngak main-main sama pernikahan kita," ucap Arka tiba-tiba setelah sekian lama diam menyelimuti keduanya. "Lo pikir gue main-main gitu? Bagi gue, nikah itu cukup sekali aja, meskipun gue nikah sama lo yang termasuk orang baru di hidup gue, bukan berarti gue main-main sama ikatan pernikahan," balas Mora tanpa berniat menatap Arka. "Kalau gitu kita sama. Jadi lo bisakan belajar buat cinta sama gue? Gue juga bakal belajar buat cinta sama lo. Gue juga bakal pertahanin pernikahan kita apapun yang terjadi. So,lo maukan berjuang bareng gue?" Arka menatap Wajah Mora lekat lekat dari samping. Mora menoleh ke arah Arka yang sedang memperhatikannya. "Apaan deh kata-kata lo, berjuang apaan? Lo kira ini perang apa?" Arka mentap tajam kearah Mora yang menanggapi perkataannya dengan candaan. "Nggak usah gitu juga kali natap guenya. Iya, gue mau kok," jawab Mora dengan serius kali ini tanpa adanya guyonan karena memang itu yang dia inginkan. Entah kenapa Arka sangat senang mendengar jawaban Mora. "Okay, karena gue suami lojadi lo harus nurutin kata-kata gue. Karena sekarang lo tanggung jawab gue." "Iya gue turutin. Tapi jangan yang aneh-aneh ya. Awas lo aneh-aneh. Gue buang lo!" Ancam Mora. Arka tersenyum tipis. "Mulai sekarang nggak ada lo-gue-anharus pakai aku-kamu. Panggil sayang juga nggak apa, bisakan?" Mora nampak berfikir. "Okay, gue maksudnya aku usahain, aku coba" ucap Mora menyanggupi.   "Terus, kan aku belum ada kerja, belum ada rumah juga, aku nggak punya apartemen juga. Jadi kita tinggal sama Bunda dulu gimana? Orang tua kita masih kasih kita uang juga kan. Nanti kita jadiin satu aja di kamu, kan kamu bendahara rumah tangga." Arka menaik turunkan kedua alisnya menggoda Mora. Mora hanya mendengus kesal. "Okay, terus apa lagi?" "Ini yang paling penting buat gue." Arka menghadapkan Mora kearahnya. Wajah Arka nampak serius membuat Mora mau tak mau ikut serius juga. "Aku minta jatah," Mora mengerutkan keningnya tak mengerti. "Jatah apaan?" tanya Mora tak tahu, tak mengerti dan tak paham. Arka menghela napas berat. "Itu loh jatah ‘ekhem-ekhem'" Arka menambahkan tanda petik saat mengatakan Ekhem. Seketika Muka Mora memerah. Dia sudah paham apa yang dimaksud Arka. Astaga, gue nggak sangka kalau Arka yang kelihatan pendiam, kalem dan dingin ternyata m***m banget, Mama sama Papa nggak salah kan pilih menantu? "Kan aku masih sekolah, Ka. Kalau aku hamil gimana?" Nego Mora agar permintaan Arka itu ditunda dulu karena jujur dia belum siap lahir dan batin. "Alhamdulillah kalau kamu hamil, kalu nggak ya lanjut terus," jawab Arka santai tanpa beban ingin sekali Mora memukul kepala Arka begitu mendengar jawaban Arka yang terkesan cuek. Mora menghujani Arka dengan pukulan di lengannya. "Sakit, Ra. Kamu mah, belum apa-apa udah KDRT." "Kamu sih,,makanya kalo ngomong dipikir. Ternyata kamu m***m juga ya orangnya, aku kira kamu itu pendiam, kalem, dan nggak ada pemikiran menjurus kea rah itu," ucap Mora kesal. "Emang aku salah ngomong apa? Makanya jangan nilai orang dari pandangan pertamanya aja. Aku juga laki-laki normal, Ra, jadi wajar dong aku minta ‘itu’ sama istri aku."  Mora diam tak menanggapi, karena memang omongan Arka benar. Dia terlalu cepat menilai orang dan Arka laki-laki tentu saja dia akan merasakan kebutuhan akan hal itu. "Kan bener Mora, kalo jadi ya Alhamdulillah, berarti yang maha pencipta percaya sama kita, buktinya kamu hamil. Kalo nggak jadi ya lanjut lah. Emang salah aku minta ke kamu? Atau kamu mau aku minta sama perempuan lain?" Mora lagi-lagi memukul lengan Arka kuat-kuat. Dia marah mendengar kalimat terakhir Arka. "Iya kamu enak! kalo aku hamil, aku ketahuan sekolah gimana? Bisa dikeluarin aku,terus lanjut sekolahnya gimana nanti. Masa aku cuma lulus SMP aja? Terus juga ya awas kamu kalau berani main sama perempuan lain, jangan harap kamu selamat!" Mora mencebikkan bibirnya gemas, kesal dan marah. "Kamu ini ya ada-ada aja sih. Mana ada sih yang bisa keluarin anak yang punya sekolah?" gemas Arka pada istrinya. Mora hanya diam, lagi dia berfikir. ‘iya-ya mana ada yang berani keluarin gue dari sekolah. Kan yang punya Papa. Bodoh banget sih, Ra, lo itu!’ “Jadi, gimana?” tanya Arka dengan senyuman lebar, yang menurut Mora aneh dan menakutkan. Dan tanpa sadar Mora memegang tengkuknya yang sudah meremang. ===0o0o0=== Rumah orang tua Mora sudah sepi, Lusi, Kenan, Arga dan Aria sudah pulang ke rumah mereka. Sekarang tinggal Revan, Nia, Mora dan Arka saja di rumah. Mereka sedang menikmati makan malam bersama. "Arka, kamu mau bawa Mora tinggal di mana? Di rumah orang tua kamu atau di sini?" Tanya Revan membuka pembicaraan. Arka yang sedang makan, meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. "Niatnya sih mau tinggal di rumah Bunda sama Ayah, Pa. Nggak masalah kan, Pa?" "Papa sama Mama nggak masalah kok kamu mau bawa Mora tinggal di mana itu hak kamu sebagai suaminya. Tapi, Ka, rumah ini nanti kosong loh kalau Papa sama Mama pindah ke London. Kenapa nggak tinggal di sini aja?” ucap Revan memberi saran. Arka diam sebentar sambil berpikir matang-matang. "Ya sudah kalau gitu, kita yang nempati rumah ini. Tapi untuk sementara Arka mau bawa Mora tinggal di rumah Ayah sama Bunda biar Mora bisa mengenal keluarga Arka, Papa sama Mama nggak keberatan kan?" tanyanya. "Terserah kamu saja Arka," jawab Revan mewakili dia dan istrinya. "Makasih, Pa." Dirasa tak ada lagi yang akan diucapkan Arka melanjutkan acara makannya. Keadaan meja makan menjadi hening tak ada obrolan yang tercipta sampai acara makan malam selesai. "Arka, Mora, selama kami pergi, perusahaan yang ada di sini Papa serahkan sama kamu Arka. Kamu pantau perkembangannya, walaupun sudah ada Wakil Direktur yang menanggani, tapi Papa tetap menunjuk kamu untuk mengawasinya karena nanti kamu juga yang akan meneruskan perusahaan itu, kamu bisakan Arka?" Pinta Revan pada sang menantu. "Arka nggak harus ngecek tiap hari kan Pa?" Tanya Arka memastikan. Revan menggelengkan kepalanya. "Ya, Pa. Sekali-kali Arka akan cek keadaan perusahaan," lanjut Arka menyanggupi. "Lalu kamu Mora, sekolah Papa mulai sekarang kamu yang menangani. Nanti kamu dibantu sama Tasya. Dia orang kepercayaan Papa." Revan beralih pada Mora. "Pa, Mora nggak ngerti, urusan begituan." protes Mora. Dia tentunya belum siap menanggung tanggung jawab besar, baru saja dia diberitanggung jawab sebagai seorang istri sekarang dia harus bertanggung jawab atas sekolah keluarganya? Yang benar saja! "Makanya sayang kamu belajar mulai sekarang. Toh kamu masih dibantu sama Tasya, nanti juga sekolah itu akan jatuh ke kamu juga. Buat kamu terusin perjuangannya," ucap Nia. Mora mengangguk mengerti walaupun dengan sangat berat hati dia menerima. "Ya udah, Papa lega sekarang." Seulas Senyum menggembang di wajah Revan. ===0o0o0=== Arka dan Mora merebahkan tubuh mereka di atas kasur. Arka melirik jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tak ada yang memulai percakapan, hanya hening yang tercipta di antara keduanya. Tiba-tiba Arka menarik Mora dalam dekapannya. "Ka, Apaan sih." Mora berontak dalam dekapan Arka begitu tersadar dari keterkejutannya. Jantungnya berdegup kencang sekali sekarang. Dia masih ingat obrolannya dengan Arka sore tadi dan mengingat itu membuat Mora gugup. "Ra..." Panggil Arka serak. Mora hanya menyahuti dengan gumaman saja. "Ehm,Boleh aku cium kamu?" Tanya Arka meminta izin. Mora mendongakkan kepalanya menatap Arka yang kebetulan menundukkan kepalanya menatap Mora. ‘Apa sekarang waktunya?’ Dengan malu-malu Mora menganggukkan kepalanya. Tak menunggu lama Mora merasakan bibirnya bersentuhan dengan benda kenyal yang dia tahu pasti kalau itu bibir Arka. Arka tidak tinggal diam, dia mulai menggerakkan bibirnya menyesap bibir bawah Mora. Gadis itu mulai terlena dengan gerakan bibir Arka yang menghisap dan melumat bibirnya bergantian atas dan bawah sementara Mora hanya diam pasif menerima perlakuan Arka karena jujur saja, ini kali pertama Mora berciuman. "Buka mulut," intruksi Arka disela ciuman mereka. Mora hanya mengikuti saja perkataan Arka. Lidah Arka menari-nari di dalam mulut Mora. Jemari Mora menjambaki rambut belakang Arka pelan-pelan. Tubuhnya terasa panas, gelenyar-gelenyar aneh mulai merambati Mora, perasaan asing yang baru dia rasakan. "Heunhgh..." Mora mendorong bahu Arka menjauh. Pangutan mereka terlepas tapi Arka tak membiarkan ada jarak di antara mereka. Kening dua muda-mudi itu bertemu, Arka tersenyum melihat Mora bernapas dengan memburu. Dia menatap Arka tajam. "Kah.muh. mauh. buh.nuh akuh." Arka menyunggingkan senyuman menggodanya. "Nggak sayang, mana mungkin aku bunuh kamu cuma tadi aku nggak tahan aja. Lanjut yuk." Tanpa menunggu jawaban dari Mora, Arka melumat habis bibir merah, manis dan  bengkak milik Mora dengan ganas dan lebih menuntut lagi. 'Sial, gue kecanduan sama ini,' batin Arka. ===0o0o0===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD