MARYAM #1

2114 Words
“Kullu Nafsin Zaikotul Maut.” Kalimat itu masih terbayang di kepalaku. Kematian Marwah begitu mendadak dan membuatku merasa tidak terima  dengan kenyataan bahwa Marwah, adik kembarku telah bunuh diri. Kepulan asap di cangkir kopiku sudah berlalu sejak tadi, namun tanganku masih enggan untuk mengangkat cangkir itu dan meminumnya. Aku hanya memutar-mutar sendok dan terus mengaduk kopi itu dengan pikiran yang bergelayut. Marwah tidak mungkin bunuh diri! Marwah tidak mungkin menjatuhkan diri ke neraka! Masih tergambar jelas ingatanku tentang Marwah beberapa tahun silam. Ketika itu aku sangat terpuruk karena perceraian kedua orangtuaku. Setiap malam aku pasti menangis dan merasa tak sanggup lagi untuk hidup dengan status anak broken home. Banyak cacian yang kuterima karena kejadian itu, para tetangga seakan membenci keluargaku, terlebih lagi karena sebab perceraian bapak dan ibu. Keegoisan bapak dan ibu membuatku sangat membenci keadaan itu. Di tambah lagi, kegagalanku masuk sekolah yang sama dengan Marwah membuatku jauh lebih terpuruk lagi. Aku juga punya tragedy mengerikan di masa itu yang membuatku berpikir untuk mengakhiri hidup. Namun, Marwah datang melapangkan tangan dan memelukku, kemudian membisikkan kalimat yang membuatku berubah pikiran. “Kematian kita sudah terencana di Lauhul Mahfudz, kita tidak boleh mendahului takdir yang telah digariskan oleh Allah. Allah sudah menyiapkan waktu, tempat dan sebab kematian kita. Bunuh diri itu termasuk dosa yang tak dapat diampuni, Allah pasti murka karena kita tidak bisa mensyukuri hidup yang Allah beri. Tempatnya kita saat Allah murka, tak lain dan pastinya yaitu neraka jahanam.” Bisikkan itu seolah menolak kenyataan bahwa Marwah telah mengakhiri hidupnya, bagaimana mungkin seseorang yang taat beribadah, selalu mengamalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan ilmu agamanya kuat seperti Marwah mau menyeret dirinya untuk menjadi bahan bakar api neraka? Tidak masuk akal, kan? Aku terus menolak kenyataan itu. Aku benar-benar tidak terima dengan kematian Marwah yang tak wajar, menurutku. “Boleh saya duduk di sini?” Suara berat seorang laki-laki terdengar dari samping kanan. Pikiranku langsung buyar saat mendapati laki-laki jangkung dengan kaos polos putih berdiri di sampingku. Laki-laki itu langsung mendaratkan tubuhnya di bangku seberang, padahal aku belum mengatakan apapun. Aku berusaha untuk tidak peduli siapa yang sedang duduk dihadapanku saat ini.  “Kopinya udah dingin, mau aku pesankan lagi?”tawar laki-laki itu. Aku tidak menjawabnya, lagian aku juga tidak kenal.  Beberapa detik kami berkutat dengan keheningan. Suasana kafe yang sepi menambah suasana menjadi semakin kurang nyaman bagiku. Aku ingin segera pulang ke kost, merebahkan tubuhku sebentar setelah seharian penuh hanya duduk dan berjalan tanpa tujuan. Aku menyesap kopiku yang dingin itu sedikit, kemudian mengangkat tubuh untuk beranjak. “Ternyata benar kata mereka.” ujar laki-laki itu menghentikan gerakanku untuk beranjak dari kursi. Aku melihat wajah tegas dengan kantung mata menghitam laki-laki itu dengan perasaan heran. “Maksudnya?” Aku tidak jadi beranjak, tubuhku kini jatuh lagi di atas kursi. “Mereka  bilang ada seorang gadis yang mirip dengan Marwah, duduk di Kafe ini sejak jam empat sore sampai jam tujuh malam, dia hanya mengaduk kopinya dan meminumnya ketika sudah dingin, “ kata laki-laki itu, “Ternyata itu benar.” imbuhnya. Mataku langsung memincing ke arahnya, “Lo kenal Marwah?” Laki-laki itu menegakkan tubuhnya yang semula hanya bersandar di sanggahan kursi. “Kenal...,” Dia menjeda kalimatnya, “Banget.” Mataku menyidik setiap jengkal penampilan laki-laki itu. Dia memiliki hidung yang mancung, kulit bersih dengan rambut yang hitam sedikit ikal di bagian ujungnya, dia juga memiliki kumis tipis dan jenggot yang mungkin baru saja dicukur. Over all, tidak ada yang mencurigakan dari segi penampilan namun berbagai spekulasi  muncul. Jangan-jangan laki-laki ini yang membunuh Marwah? Laki-laki itu terkekeh, “Jangan berpikir kalo aku yang membuat  Marwah meninggal. Itu tidak akan membantumu menemukan apapun.”katanya seolah paham dengan isi pikiranku. Aku sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu barusan, aku berdeham sebentar sembari menetralkan mimik wajahku. “Gimana lo bisa kenal sama Marwah?” “Kenalin, namaku Fandy. Aku teman satu organisasi Marwah di kampus.” Dia memperkenalkan diri tapi tidak mengulurkan tangannya untuk dijabat. “Gue,-” “Kamu Maryam, kan? Kakak kembarnya Marwah?” Aku kembali memicingkan mata, kecurigaanku semakin besar pada laki-laki bernama Fandy ini. Aku jadi penasaran apa maksud dan tujuannya menghampiriku? “Marwah sering cerita banyak tentang kamu. Ternyata apa yang dikatakan Marwah benar, kamu punya sisi cuek yang menarik. Berbeda dengan Marwah, yang memiliki sisi kelembutan yang menarik. Kalian kembar tapi bertolak belakang.” Aku hanya diam saja menganggapi omongan laki-laki itu. “Marwah pernah bilang kalau kamu kakak yang baik, punya senyum yang manis dan setiap kata yang keluar dari bibirmu selalu membuat dia tenang. Hari ini terbukti, bahwa omongan Marwah salah.” “Maksudnya?” “Sedari tadi aku memperhatikanmu, tidak ada senyuman yang manis itu, dan setiap kata yang keluar dari bibirmu terasa dingin tidak ada yang membuat tenang, atau bahkan enak didengar.” Apa-apaan sih? Tak mau ambil pusing, aku langsung menyambar tasku dan berdiri dari kursi, “Gue nggak ada waktu ngomong sama orang yang nggak gue kenal.”pungkasku menyudahi obrolan tidak penting ini.  “Tunggu, Maryam!” Fandy meraih tasku dan mencegahku untuk keluar dari Kafe. “Lepasin gue!” Aku menepis tangannya dari tasku. “Sori. Sori. Aku nggak punya maksud buat kamu tersinggung. Beneran.” “Trus?” Dia menghela napas,”Aku ingin memberitahu sesuatu tentang Marwah yang menurutku ini aneh.” Mendengar itu, emosiku perlahan mereda. “Aneh? Maksud lo apa?” “Kita duduk dulu ya,” ajaknya untuk kembali duduk di meja kami tadi. Semula aku ragu, tapi omongannya tentang Marwah membuatku tergelitik untuk mendengar apa yang akan dia katakan. Akhirnya kami kembali duduk di meja semula. “Menurutku kematian Marwah itu aneh.” Dia mulai bercerita, “Marwah itu tahu betul tentang agama, dia nggak pernah absen ikut majelis taklim atau pun kegiatan keagamaan di kampus. Dia juga murid kesayangan Kyai di pondok mengaji. Aku yakin Marwah tahu kalau bunuh diri itu termasuk dosa yang besar.” Aku membenarkan perkataannya dalam hati, aku juga memikirkan hal yang sama. “Dua minggu sebelum kematiannya, aku pernah mendapati dia menangis di perpustakaan. Aku tidak berani untuk ikut campur karena saat itu Marwah terlihat benar-benar terpukul.” Aku diam dan terus mendengarkannya, seingatku dua minggu sebelum kematian Marwah, aku dan Marwah bertengkar hebat karena aku ketahuan menato lenganku dengan tulisan “Half satan”. Mengingat hal itu, tatapanku langsung jatuh pada tato yang tergambar di lenganku saat ini. Tidak terlalu besar tapi cukup mencolok karena warna kulitku yang terang. Sebenarnya itu hanya tato temporer, karena sebab itu aku tidak terima kalau Marwah sampai segitu marahnya hanya karena tato temporer. “Bukan soal permanen atau temporer, Maryam. Tapi arti tato itu menunjukkan kalau kamu bersekutu dengan setan. Asal kamu tahu ya, tato itu juga dilaknat sama Allah.” Dengan sekuat tenaga Marwah mencoba memberitahuku bahwa tindakan menato itu termasuk dosa yang besar. “Lo menggurui gue, lo pikir lo siapa? Ustadzah? Anaknya Pak Kyai?” kataku dengan nada sarkastik, “Helloww wanita sok suci! Bapak lo tukang judi! Lo nggak pantes jadi ustadzah! Paham?” “Astaghifurullahaladzim, Maryam. Bapakku itu bapakmu juga, kamu nggak boleh ngomong gitu. Aku itu saudara kamu, sudah kewajibanku buat ngingetin kamu kalau kamu itu di jalan yang salah.” “Urus aja urusan lo sendiri, lagian belum tentu juga Surga jadi tempat lo!” ucapku sembari berlalu dari hadapan Marwah. Meninggalkan Marwah yang menangis sesegukkan. Tiga minggu setelah kematiannya, untuk kesekian kalinya aku merasa bersalah, apa karena aku Marwah sampai harus mengakhiri hidup? Perasaan bersalah itu menyelimuti setiap inchi jiwaku, kalau boleh aku ingin menggali makam Marwah dan memintanya untuk hidup kembali. “Sejak saat itu Marwah terlihat murung, beberapa kali dia menghindar kalau misalnya aku ajak jalan, semua temannya juga dihindari, bahkan dia sampai pernah absen masuk kelas dua kali.” Fandy melanjutkan ceritanya. “Seminggu sebelum kematiannya, aku tak sengaja bertemu dengannya di gang masuk kostnya, dia terlihat gelisah mondar-mandir di depan gang. Karena penasaran aku mengikutinya.” “Siang atau malam?” “Hampir tengah malam.” jawabnya singkat. Seingatku, seminggu sebelum kematian Marwah, tepatnya Hari Sabtu sekitar pukul sebelas malam, Marwah mengirimiku sebuah pesan singkat. From : 08765897xxx Maryam, malam ini saja aku mohon kamu jangan kemana-mana, tetaplah di dalam rumah. Ajak beberapa temanmu untuk menginap di rumah kalau misal bapak belum pulang. Aku mengira itu hanya akal-akalan Marwah biar aku tidak pergi bersama teman-temanku ke klub malam. Aku tidak mau menuruti kata Marwah, malam itu aku pergi bersama teman-temanku ke sebuah tempat hiburan malam. “Dia masuk gang kecil tidak jauh dari gang kost-nya. Gangnya gelap hanya ada satu lampu jalan yang tidak begitu terang. Dia berdiri di situ, sendirian.” Mendengar itu aku bereaksi, aku menarik punggung untuk mendekatkan wajahku ke arah Fandy, aku ingin mendengar dengan jelas cerita dari orang yang mengaku teman dekat mendiang adikku itu. “Karena lumayan cukup lama menunggu, aku memutuskan untuk menyusulnya, karena aku takut dia bakal kenapa-napa. Tapi, niatku terurungkan sewaktu aku melihat ada seorang laki-laki yang melompat dari tembok gang. Dia memakai topi dan jaket warna hitam.” “Laki-laki? Lo liet wajahnya?” “Sayangnya, nggak. Penerangan minim banget waktu itu.” jawab Fandy. Aku semakin yakin bahwa laki-laki yang ada di cerita Fandy ada kaitannya dengan kasus kematian Marwah. “Nggak lama, mereka  ngobrol, karena aku jauh dari posisi mereka  aku tidak bisa mendengar dengan jelas  apa yang mereka  bicarakan. Yang pasti sebelum laki-laki itu pergi, aku sempat mendekat saat dia berkata, 'Gue nggak bakal tinggal diem, inget itu Marwah!'sambil menunjuk wajah Marwah.” Aku jadi penasaran siapa laki-laki itu? Kenapa Marwah punya urusan dengan laki-laki yang misterius? “Kamu sempet mikir nggak sih, kalo Marwah itu nggak bunuh diri?” lontaran kalimat Fandy membuatku terbelalak. Ternyata aku dan Fandy punya dugaan yang sama. “Kalo misalnya Marwah dibunuh, lo pernah berpikir siapa yang bunuh Marwah?” “Laki-laki misterius yang aku ceritain tadi.” Aku tidak begitu langsung memakan mentah-mentah apa yang aku tahu dari seseorang yang baru aku kenal. Aku perlu bukti yang kuat jika benar Marwah itu dibunuh. Jika hanya sebuah cerita yang tidak aku tahu secara langsung, aku kurang begitu yakin. Bisa saja ini hanyalah akal-akalan orang iseng untuk membuatku kian menyesal karena sudah pernah jahat terhadap Marwah. Fandy mengakhiri pembicaraan setelah mendengar kumandang adzan magrib, dia pamit pergi untuk menunaikan ibadah salat, sebelumnya dia meninggalkan nomer telepon jika misalnya aku mau mengusut kasus kematian Marwah lebih dalam lagi. Karena masih ragu, aku tidak memungut kertas berisi nomer telepon itu di meja. Aku pergi tidak lama setelah Fandy keluar dari Kafe. Aku melangkah menuju kamar kost Marwah. Aku penasaran apa yang ada di kamar adik kembarku itu, sekalian merebahkan tubuh karena lelah duduk hampir seharian di Kafe tanpa tujuan. Kamar kost Marwah memang tidak terlalu luas, tapi karena Marwah pribadi gadis yang rapi, kamar yang sempit ini terlihat luas dengan penataan barang-barangnya  di tempat yang tepat. Kamar kost Marwah hanya berisi satu meja belajar, satu lemari besar, dan satu tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang. Pertama kali melihat kamar kostnya Marwah, hatiku berdesir. Ada bayangan-bayangan buruk ketika saat itu Marwah tergeletak tak bernyawa di atas tempat tidur dengan mulut berbusa. Banyak obat berserakan di sekitar tangan dan mulutnya, begitu juga dengan secarik kertas sebagai pesan terakhir dari gadis malang itu. Saat melihat satu bingkai fotoku dan Marwah di atas meja belajar, aku semakin bersalah dengan sikapku selama ini terhadap Marwah. Marwah masih menyimpan foto ketika kami masih kecil, sedangkan aku sudah membakar foto yang aku punya setelah aku tahu ibu kami menolakku hadir di kehidupan baru Marwah. “Sebenarnya lo kenapa sih, Mar? Apa yang terjadi sama lo?” Rasanya aku ingin menangis, sambil memeluk foto itu aku menyesali semua ini. Menyesali kepergian saudari kembarku. Andai waktu dapat diputar... Tidak lama dari itu, mataku melihat satu buah laptop milik Marwah di atas tumpukan buku kuliah Marwah. Karena penasaran dengan isi laptop itu, aku meraihnya dan langsung membukanya. Tampak foto satu keluarga sebagai wallpaper di dekstop laptop. Fotoku, Marwah, bapak dan ibu kami sebelum berpisah. Saat itu kami adalah keluarga paling bahagia. Semuanya hancur saat bapak mengalami kebangkrutan karena terlibat judi dan utang piutang, ibu pergi karena tidak tahan dikejar-kejar debtcolector, Marwah dan aku menjadi satu-satunya orang yang tersakiti karena sikap kedua orang tua kita yang egois. Aku membuka beberapa folder foto, tidak ada yang aneh dengan beberapa foto kegiatan organisasi Marwah. Dan ternyata benar, laki-laki yang menemuiku di Kafe itu adalah teman satu organisasi Marwah. Mereka terlihat dekat, tak jarang mereka selalu berdekatan saat difoto. Klung! Mataku menangkap satu pesan masuk ke email Marwah. Sepertinya Marwah tidak sempat melog-out akunnya. Akun itu sudah terbuka saat aku mengetukku. AtsanaRindani : Assalamualaikum. Marwah. Alhamdulillah, aku udah kembali dari antah berantah, desanya pelosok banget, nggak ada signal. Dua minggu di sana rasanya aku ingin membangun tower signal haha.. well, I have good news!!! Penelitianku selesaaaaii!! Akhirnyaa... setelah laporan studi banding, 2 minggu lagi aku pulang. Janji yaaaa kita liburan bareng!!! Aku sudah pilih  berbagai destinasi dan mengukur budget, aku lampirkan yaa referensiku. Oke, sampe sini dulu ya. Aku harus menemui dosen pembimbing, aku ingin selesai secepatnyaa. See you soon. Wassalamualaikum. Uuuhh... Kangen banget. Aku menutup pesan dari Atsana Rindani karena jujur aku tidak tahu harus membalas apa. Rasanya aku tidak tega memberitau bahwa Marwah sudah meninggal. Saat aku menutup pesan dari teman Marwah, mataku menangkap dari salah satu email bernama Eagleblack dengan profil burung elang. Pesan itu belum sempat dibuka Marwah, karena menurutku aneh dan membuatku penasaran, aku pun membukanya. Eagleblack : Lo nggak bakal gue biarin hidup tenang, Mar! Sampe lo mau bantu gue. Inget itu, Mar! Maksudnya apa ini? Tubuhku menegang, aku berhenti bernapas sejenak, mataku menajam pada pesan tersebut. Kenapa dia mengancam Marwah seperti itu? Siapa Eagleblack? Atau jangan-jangan ... ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD