Bab 2 : Kesepakatan

1133 Words
"Saya tidak sudi menikah sama Bapak." Alea menatap penuh amarah pada atasannya. "Eike juga, gak terima Alea nikah sama bos urakan macam yey." Senita alias Seno ikut memperkeruh suasana. "Diam kamu, Seno. Gak usah ikut campur." Fahry menatap Seno dengan wajah kesal. Sementara pria itu, hanya membuang muka ke arah lain. "Mama apa lagi, gak rela Alea jadi istri kamu." Ranti ikut menolak keinginan sang anak, seraya merangkul bahu Alea. "Ma ... apa Mama lupa, kalau aku ini anak Mama?" tanya Fahry, tak percaya sang ibu malah terus memojokkan dirinya. "Terserah, kamu mau bilang apa. Pokoknya Mama gak setuju. Alea mau Mama jodohkan sama sepupu kamu yang alim itu." Fahry menatap nanar sang ibu. Bisa-bisanya wanita itu lebih memilih sepupunya dari pada dia, anaknya sendiri. "Lalu Mama mau aku nikah sama siapa? Sofia?" tanya Fahry. Suaranya melemah. Dia sudah lelah dengan drama mempelai yang sedang terjadi. "Perempuan dengan baju kurang bahan itu? Gak sudi." Ranti sejak awal tak suka pada teman dekat anaknya yang selalu berpakaian minim itu. "Michaela?" "Memangnya kamu mau sama perempuan matre kaya dia?" sergah Ranti, membuat Fahry semakin frustrasi. "Lalu siapa, Ma? Silvia?" "Ya Tuhan, anak ini. Memangnya kamu tak punya teman yang lebih baik dari pada mereka, hah?" Bu Ranti memukul Fahry dengan membabi buta. "Ma, sakit. Ya Tuhan, Mamaku melakukan KDRT." Fahry melindungi tubuh dari pukulan sang ibu, dengan kedua tangan. Setelah kelelahan, Ranti pun berhenti memukuli putranya. "Diam kamu." Bu Ranti menutup mulut Fahry yang hendak bersuara. Pria itu pun dengan segera menyingkirkan tangan sang ibu dari mulutnya. "Ma, menurut Mama siapa yang pantas jadi menantu Mama? Memangnya Mama gak mau punya menantu seperti Alea?" tanya Fahry dengan lemah lembut seraya menggenggam tangan sang ibu. Dia tahu wanita itu sangat menyukai asisten pribadinya. Duh, gawat. Bos gadungan pake jadiin aku tumbal pula. Alea membatin. Ranti melepaskan tangan dari genggaman Fahry, lalu menoleh pada Alea dan membingkai wajah gadis itu dengan kedua tangan. "Mau, sih. Alea calon mantu terbaik buat Mama." Ranti menatap wajah cantik Alea dengan mata berbinar. "Lalu kenapa Mama gak mau dia nikah sama aku?" "Dia terlalu baik buat anak nakal kaya kamu." Wanita paruh baya itu mendelik pada putranya. "Ya Tuhan, Mama. Yang anak Mama itu aku lho. Bukan Alea." "Terserah, pokoknya mama gak mau Alea nikah sama kamu. Titik." "Terus Mama mau pernikahan ini batal dan menanggung malu?" tanya Fahry. Ranti pun diam. Dia menatap Alea dan Fahry bergantian. "Oke. Begini saja. Biarkan Alea menikah sama aku. Aku gak akan menyakiti dia. Aku janji sama Mama, aku gak akan kasar sama dia. Aku akan menuruti semua keinginan dia. Anggap saja ini hanya pernikahan di atas kertas. Deal?" tawar Fahry sambil menatap sang ibu penuh harap. Ya Tuhan, kenapa Fahry merasa jadi anak tiri sekarang? Ibunya lebih sayang Alea dari pada dia, anak kandung? Atau jangan-jangan dia itu anak angkat? Atau anak yang tertukar? "Alea, maafkan ibu, ya. Tapi ... kamu mau 'kan nikah sama Fahry?" tanya Ranti dengan tatapan memelas. Fahry tersenyum dalam hati, karena umpan untuk sang ibu berhasil, ia yakin, Alea tidak akan bisa menolak permintaan ibunya. Paling tidak itu yang selama ini ia tahu. "Kamu tenang aja, kalau dia menyakiti kamu, kamu lawan aja dia atau bilang sama ibu. Biar ibu jewer anak nakal itu," lanjut Bu Ranti, saat melihat Alea hanya diam saja seraya mendelik pada putranya yang hanya memutar bola mata, malas meladeni drama sang ibu. Ya Tuhan, apa tidak ada pria lain? Masa aku harus nikah sama bos gadungan itu. Apa kabar masa depan aku nanti? Sekarang aja dia selalu bikin aku pusing, apalagi jadi suami. Alea meracau dalam hati. "Saya tidak akan menyentuh kamu. Ini hanya pernikahan di atas kertas untuk menyelamatkannya nama baik semuanya." Fahry kembali berkata saat melihat kebimbangan di wajah Alea. "Apa maksud kamu, Fahry?" Tiba-tiba terdengar suara berat seorang pria, semua orang menoleh ke arah sumber suara. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah berjalan menghampiri mereka. "Mana Ardita?" tanya pria itu dengan ekspresi dingin. "Dia kabur, Om." Seno yang menjawab kali ini, karena yang lain hanya diam. "Sudah papa katakan, dia bukan wanita yang tepat buat kamu nikahi. Dia hanya mengincar harta kamu. Tapi kamu tidak mau mendengar." Pria itu berkata dengan nada dingin, seraya menatap sang anak "Sudahlah, Pa. Kita hukum anak nakal ini nanti. Yang sekarang harus kita pikirkan, bagaimana caranya pernikahan ini tetap berjalan." Ranti menenangkan pria yang merupakan suaminya itu. "Alea, bagaimana? Apa kamu bisa menolong kami dan menikah dengan Fahry?" tanya Ranti lagi. Tapi adis itu masih diam membisu. "Jika kamu tidak bersedia, tidak masalah. Saya akan mengumumkan bahwa pernikahan ini batal," ujar ayah Fahry. Ia sudah mengerti situasi yang terjadi di kamar hotel itu. "Gak bisa gitu dong, Pa. Ini salah Alea. Dia harus bertanggung jawab," protes Fahry. Mendengar hal itu Alea mengangkat kepala yang sejak tadi menunduk. Menatap kesal pada pria yang terus saja menyalahkannya. "Diam kamu! Dasar anak nakal, kamu yang salah memilih pasangan untuk kamu nikahi," sergah sang ayah. Fahry pun tidak berkutik. Sedangkan gadis cantik berkerudung itu diliputi kebingungan. Fahry memang menyebalkan, tapi kedua orangtuanya adalah orang baik. Alea bahkan berhutang budi pada keduanya. Sungguh hutang budi itu yang menyiksa. Tapi saat itu, ia dihadapkan dengan pilihan, di mana menerima bantuan dari ayah Fahry, adalah pilihan terbaik. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Saya akan membatalkan pernikahan ini," ujar suami Ranti, menenangkan Alea. Gadis itu menghela napas dalam. Dia kembali merasakan beban berat atas kebaikan pria yang merupakan ayah dari atasannya itu. "Ta–tapi, Pa ...." Fahry menggantung kalimat saat sang ayah menatap tajam padanya. Pria yang masih tampan diusia senja itu pun melangkah menuju pintu kamar hotel. Meninggalkan mereka yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing. "Tunggu, Pak Bakti. Saya bersedia menikah dengan Pak Fahry," putus Alea pada akhirnya. "Kamu yakin, Sayang?" tanya Ranti, memastikan. Alea pun mengangguk sambil tersenyum yang dipaksakan. Pria paruh baya bernama Bakti itu berjalan kembali mendekati mereka. "Alea, menikah bukan hal kecil yang bisa kamu putuskan tanpa pikir panjang." "Saya sudah memikirkan semuanya, Pak. Anggap saja saya membayar hutang budi saya pada Ibu dan Bapak," sahut Alea. "Lea, kami tidak pernah menganggap itu hutang budi kamu, Sayang." Ranti mengusap lembut pundak sang gadis. "Saya tau, Bu. Tapi tetap saja, faktanya saya berhutang budi sama Ibu dan Bapak. Dan ini saatnya saya membalas." "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Fahry yang tak mengerti apa yang sedang dibicarakan tiga orang dewasa di hadapannya. "Sayang, maafkan anak mama yang kurang pintar dalam milih wanita itu, ya?! Hingga menyeret kamu pada pernikahan ini," ucap Bu Ranti sembari memeluk Alea, tanpa peduli dengan pertanyaan anaknya. "Dan kamu, Fahry. Jaga sikap kamu. Jangan pernah menyakiti atau pun kasar pada Alea, apalagi sampai menyentuhnya. Ingat kamu sudah berjanji untuk semua itu." Ranti membulat mata seraya menatap tajam pada putranya. "Ya, ya, terserah Mama saja," jawab Fahry dengan malas. "Tapi ... saya punya satu syarat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD