2. Angeli

837 Words
Tumpukan baju itu berhamburan kemana-mana. Seprai kasur bertebaran di lantai, bantal-bantal pun ikut menemani. Laras menggeram kala tak menemukan buku catatan itu, efek pelupa membuatnya tersiksa. Kakinya berjalan mendekati meja nakas, berharap menemukan bukunya di dalam laci namun sayang yang ada hanya tumpukan kertas yang entah berisi tulisan apa. Laras berhenti mencari, kini fokusnya berpikir kapan kali terakhir ia memegang buku itu. Seingatnya malam itu Laras menaruhnya di kasur saat matanya memang tak mampu untuk bertahan dan ia lanjutkan tidur sampai pagi hari. Namun alih-alih menemukan buku itu di kasur, Laras justru menemukan celana dalam yang lupa ia cuci. Sudahlah kamarnya sekarang mirip kapal pecah. Seakan baru tersadar, Laras menghentikan aktivitasnya. Ia baru teringat bahwa jadwal bos barunya ia pindah ke hapenya. Menepuk jidat sendiri bagai orang t***l. "Astaga, jadwalnya kan aku pindah di hape." Gumamnya membodohi diri sendiri. Wanita itu langsung memilih melenggang pergi, meninggalkan kamar kosnya yang amat berantakan. Sangat tidak cocok dikatakan kamar tersebut adalah kamar yang dihuni oleh seorang wanita. Laras mengendarai motornya, melewati jalanan yang cukup sepi. Tenggorokan terasa kering, Laras mengalami dehidrasi dan memilih melipir ke penjual es jeruk dingin. "Pesan satu mbak." Katanya, penjual itu mengangguk lalu membuatkan Laras es jeruk segar. Ia harus sampai tepat waktu, sebelum bosnya itu memprotes tindakannya yang kurang cekatan. "Ini." Laras menerima minuman itu dengan senang hati, lalu menyeruputnya penuh kelegaan. Tenggorokan yang kering menjadi basah kembali, ia siap berangkat ke kantor. Sesampainya di kantor, ia langsung masuk keruangan Candra. Namun ruangan nampak sepi, Laras merasa takut jika dituduh yang lain-lain nanti. Perempuan itu memilih keluar, dan menunggu bosnya di tempatnya saja. "Mana jadwal saya?" Ia berbalik mendapati Candra dengan penampilan yang berbeda. "Ini pak." Laras menyodorkan hapenya, membuat dahi Candra mengkerut.  Seolah tersadar Laras membuka suara "Maksud saya, jadwalnya disini pak." "Astaga.." pekik Candra tak menyangka, ia geleng-geleng kepala melihat kecerobohan pegawai barunya. "sebutkan apa saja jadwal saya hari ini?" Sambungnya, ia memilih to the pintu saja dari pada memakan waktu Laras berdehem sebentar, lalu memeriksa jadwalnya di ponsel. "Jadwal bapak jam sepuluh ada meeting, dan makan siang di restauran bapak bersama pak Wiji." "Sebentar, bukannya saya sudah bertemu dengan pak Wiji kemarin?" Laras menaikkan bahunya tak tahu, karena memang dirinya baru saja menjadi pegawai disini. "Tidak tau, tapi jadwal bapak itu saja. Setelah itu bapak tidak memiliki jadwal apapun." "Bagus, nanti kamu ikut dengan saya ke laundry mencuci jas yang kamu kotori." Laras melotot tak menyangka."di usap saja kotorannya sudah menghilang pak." "Itu menurutmu." Jawabnya, Candra mengamati Laras terus-menerus, "apa kamu tidak pegal berdiri terus?" "Pegal pak, apa saya boleh duduk?" Candra mengangguk, membuat Laras tersenyum senang dan memperbaiki posisinya. "Jadi sekarang kita pergi kelaundry pak?" Candra nampak terdiam, "Jangan dulu, mending kamu pergi mandi sana." "Ha kok mandi?" "Saya tidak tahan dengan bau badanmu." Candra menutup hidungnya, ia menggeleng keheranan mendapati wanita yang tak memperdulikan penampilan sama sekali. Rambut Laras nampak lepek, keringat membanjiri pelipisnya, bajunya kusut dan bau badan yang menyengat. Laras mencium aroma tubuhnya sendiri, mengernyit saat bau tak sedap itu masuk ke Indra penciumannya. Lalu meringis, menatap lelaki yang memandangnya dengan datar "Saya permisi dulu kalau begitu pak." Candra mengangguk, matanya tak berpindah dari Laras. "Jangan lupa kembali lagi kesini." "Baik pak." Laras berjalan keluar, menuju meja kerjanya. Dimana tas selempang miliknya ialetakkan. Sebetulnya Laras menahan amarah disana, sekaligus merasa malu saat seorang pria menegur penampilannya. Tapi mau bagaimana lagi, aroma tubuhnya memang sangat tidak baik terlebih lagi Candra memang seorang yang kelewat sempurna. Mau tidak mau, dengan segan hati Laras mengikuti dan melangkah pergi. Candra memeriksa tumpukan berkas, seharusnya sekretaris barunya membantu dalam bekerja. Tetapi siapa yang tahan dengan bau badan wanita itu, aroma bawang dan keringat seolah menjadi satu. Entahlah, Candra tak habis pikir, di zaman sekarang ini masih ada wanita se unik Laras. Padahal kaum hawa saat ini berlomba-lomba untuk cantik, namun berbeda dengan Laras yang justru masa bodoh dengan penampilan. Sebenarnya Candra bisa memeriksa berkas-berkas itu sendirian. Namun ada hal lain yang membuatnya membutuhkan sekretaris, ia butuh bantuan pada hal lain. Seperti dalam mengurus kehidupannya, seharusnya Candra membutuhkan asisten, namun jika sekretaris bisa melakukan keduanya mengapa harus memiliki dua-duanya. Lagi pula, Candra tak lupa memberikan bonus pada mereka yang bekerja lebih untuknya. Ia rasa tak ada dari mereka yang mengeluh jika bonus yang di berikannya sangatlah lumayan.  Tak tahu dengan Laras, wanita itu jika dilihat dari pertemuan pertama kali Candra dengan Laras, lelaki itu bisa menyimpulkan bahwa Laras adalah wanita yang ceroboh dan masa bodoh. Berbanding terbalik dengan dirinya, Candra merasa was-was jikalau Laras tak bisa menjadi rekan yang baik dalam pekerjaannya. Namun semua orang dapat berubah, Candra yakin Laras dapat berubah seiringnya waktu. "Pak?" Candra terkejut, mendapati Yuda yang melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Memilih berdehem, menyetabilkan Susana. "Ada apa?" "Apa kita jadi meeting?" "Tentu jadi, tapi Angeli sedang pergi." "Angeli?" Tanya Yuda seperti asing mendengar nama itu "Laras, sekretaris baru." Yuda mengangguk mengerti, "Jadi kita menunggunya, sebaiknya biar Laras menyusul kita saja pak." Candra mengangguk menyetujui, lalu kedua pria itu berjalan menuju salah satu ruangan. Meninggalkan Laras yang tengah membersihkan diri dirumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD