MSH 4 - Pindah

1704 Words
“Laki lo ke mana?” tanya Lala yang sedang menunggu Yuni di depan ruang rawat. “Pergi. Ada urusan bisnis katanya,” sahutnya enteng. Ika dan Lala saling menukar tatapan aneh. “Penganten ditinggal?” ceplos keduanya dengan suara lantang tapi kemudian menutup mulut sendiri karena pelototan Yuni. “Sory!” lanjut mereka sebelum nyengir kuda. “Nanti gue balik ke apartemen. Nggak usah masak. Kita delivery aja buat pesta lajang yang terlambat.” Lala dan Ika geleng-geleng kepala. Yuni pun kembali masuk ke ruang rawat Abah-nya setelah bertukar sun pipi dengan kedua sahabat yang sudah pamit pulang sebelumnya. ‘Miris banget idup lo, Yun, Yun. Untung gue udah tau malam pertama kek gimana. Hah! Dirga, gue kangen elo,’ monolgnya kemudian menghapus makeup-nya dengan tisu basah remover dan mengganti pakaian, membereskan beberapa hal sebelum sorenya pulang ke apartemen. Sesuai pesan Yuni, Lala dan Ika tidak memasak. Mereka memesan banyak makanan untuk pesta lajang yang katanya terlambat. Semalaman ketiganya menikmati santap sajian yang dibeli sambil bercerita dan berceloteh. Mengenang banyak hal dari awal ketiganya bertemu dan berkenalan sampai sekarang tinggal satu atap. Ada satu hal yang baru kali ini Yuni ceritakan pada Lala dan Ika, kisah tentang cinta pertamanya di masa kecil. “Cieeeee, Nyai bisa jatuh cinta juga ternyata,” ledek Ika. “Emang orangnya gimana?” timpal Lala. “Gue lupa. Udah lama banget. Kita tetanggaan dulu. Dia sering ke rumah nemenin gue maen bedong-bedongan. Yang kita bedong kucing sama anjing dia. Nurut lagi. Jadi kayak bayi gitu... wkwkkwkwkw,” tuturnya riang. “Terus sekarang kemana?” tanya Ika penasaran. Yuni mengendikkan bahu sambil menggigit pizza yang dipegangnya. “Dia pindah ke luar negeri dua bulan kemudian. Bokapnya kerja di sana.” “Gimana judulnya bisa jadi cinta pertama lo kalau dianya aja mabur ke negeri orang?” Lala merasa aneh. “Kita pernah nikah-nikahan gitu. Jadi suami istri. Nah ... anaknya si Boy dan Ciput. Anjing dan kucing dia itu yang kita bedong jadi bayi ceritanya. Terus dia bilang kalau udah gede nanti mau ngelamar gue beneran.” Lala dan Ika terbahak-bahak mendengar penuturan sang sahabt. “Terus cincinnya dari batang daun gitu, ya? Yang dipelintir-pelintir. Ah, elah gitu doang langsung baper,” cibir Lala lalu tertawa. “Tapi bener, sih Neng. Buktinya udah puluhan tahun masih inget kan walaupun masing-masing udah kemana? Ya, nggak Nyai?” bela Ika. “Bener banget, Minceu.” Lala berdecih pada keduanya. “Kalau kalian ketemu lagi kamu bakal gimana, Nyai?” sambung Ika. “Gue tembak langsung lah, Minceu!” “Uhuk!” Lala tersedak lalu mengumpat. “Gila lo!” Yuni dan Ika terbahak. “Lo ngatain gue jalang, itu apa namanya kalau nggak jalang juga? Terus si Dirga mau dikemanain?” protesnya. “As you said, Beb. Jalang kan juga tetep harus milih-milih. Ya kalau lo nanya sekarang, ya gue bakal milih Dirga. Secara udah terbukti permainan ranjangnya.” Kali ini Lala yang gantian terbahak dan Ika yang berdecih. “Mulut lo emang dasar labil! Btw, lo udah nyiapin lingerie buat malam pertama?” ledek Lala setelah meminum minuman sodanya. “Sial! nggak usah diingetin. Gue juga ngarti itu mah,” desis Yuni. “Wah, Istri sholehah. Biarpun nggak cinta tetap maksimal melayani suami,” seru Ika sambil bertepuk tangan. “Yakin lo?” Tatapan Lala kali ini lebih serius bersama pertanyaannya. Yuni mengendikan bahu. “Gue harus sadar diri aja. Biarlah aki-aki juga udah jadi laki. Mau digimanain lagi. Gue tetep butuh duit dia juga,” kekehnya kemudian. Dan sepanjang malam itu ketiganya terus-terusan berbagi cerita sambil tertawa sampai kelelahan dan tidur jam tiga paginya. Yuni melakukan aktifitas seperti biasa. Hanya saja ia masih tinggal di apartemennya bersama kedua sahabat sampai tiga hari kemudian. Yuni membereskan sebagian barang-barang miliknya yang ada di apartemen untuk di bawa pindah ke rumah barunya bersama sang suami. Gema menjemput sang istri yang memintanya menunggu saja di lobi apartemen. Lala dan Ika mengantar sang sahabat sampai menemui sang suami. Pria yang awalnya sedang berdiri sambil bersandar pada mobilnya itu langsung menegakkan tubuh mana kala melihat sang istri bersama kedua sahabatnya mendekat. Senyum manis dan hangat pun terbit dari wajahnya kala ketiga wanita yang masih jauh dari posisinya semakin mendekat. Gema langsung mengambil alih barang bawaan milik Yuni untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil mewahnya. Sementara Yuni dan kedua sahabatnya sedang ganti berpelukan. “Baik-baik ya. Jaga diri di rumah baru?” ucap Ika setelah mengurai pelukan. “Ya ampun Minceu, gue pindah rumah bukan pindah planet. Wejangannya jangan kayak orang nganter mau perang.” Lala terbahak. “Heh, Oneng! Kalau nganter perang kagak gitu. Berderai air mata sambil mengungkapkan kata-kata puitis semacam, Adek baik-baik di rumah ya. Jaga hati Abang di sini," tunjuknya sambil mengusap d**a lalu kembali berkelakar drama, “Iya Abang. Ku kan selalu menunggumu di sini, Bang.” Kemudian terbahak bersama Ika sementara Yuni sudah memutar bola mata jengah dengan keabsurdan sahabatnya itu. Gema tersenyum kecil tanpa disadari ketiganya, bejalan menghampiri dan memnginterupsi tawa ketiga wanita itu dengan pertanyaan, “Kita pergi sekarang?” dengan fokus tatapan pada Yuni. Yuni pun mengangguk sementara Lala dan Ika sedikit membungkuk sambil tersenyum ramah pada Gema. Mereka tidak ingin mencela orang yang menurut keduanya tidak pantas bersanding dengan Yuni karena usia yang terlampau jauh dengan bersikap tak sopan. Bagi Lala dan Ika, selagi Gema memperlakukan Yuni dengan baik, itu sudah menjadi penghibur bagi kecemasan mereka yang berfikir kalau Yuni nantinya akan lebih menderita setelah menikah. Lala dan Ika melambaikan tangan saat mobil mulai meninggalkan parkiran lobi apartemen. Keduanya kompak mendesah panjang sambil memperhatikan mobil yang perlahan menghilang dari pandangan. “Semoga mereka rukun-rukun aja ya, Neng,” tutur Ika dalam rangkulan Lala. “Aamiin. Masuk yuk!” sahut Lalu mengajak Ika berlalu dari lobi. Sementara itu di dalam mobil, Gema menyalakan radio untuk menghangatkan suasana yang terasa canggung karena sang istri yang betah diam sejak mobil melaju meninggalkan apartemennya. “Kamu sudah menemukan panggilan yang kamu mau untuk saya?” buka Gema setelah menoleh ke samping sang istri. “Emm, belum.” “Kalau saya panggil kamu juga dengan sebutan Neng, tidak masalah kan?” lanjutnya. Yuni tertegun sejenak sambil menoleh ke samping saat Gema juga tersenyum lembut ke arahnya. Ada desiran aneh yang lagi-lagi menyelinap ke dalam perasaan saat melihat senyum yang diberikan untuknya. ‘Gue kenapa sih? Kek ABG baper disenyumin gebetannya. Pake acara deg-degan segala lagi. Heh, jantung! Nggak usah ngadi-ngadi lo!’ desisnya dalam hati. Buru-buru Yuni menggelengkan kepalanya seraya mengusir pikiran aneh itu. Dan hal itu tak luput dari pandangan Gema yang tersenyum tipis kemudian. “Yang biasa manggil gue pake panggilan itu cuma Abah dan Umi,” sahutnya. “Saya suami kamu sekarang kalau kamu lupa. Bahkan tanggung jawab Abah pada kamu sudah diserahkan pada saya setelah ijab qabul. Jadi seharusnya saya juga punya hak sama bukan?” Yuni mengerutkan kening dan alisnya. Tak suka mendengar kalimat yang terasa mendominasinya itu. “Terserah elo lah,” desisnya kemudian melemparkan pandangan ke luar jendela di sampingnya. “Dan satu lagi,” imbuh Gema terdengar tegas. Yuni menoleh dengan wajah tak suka. “Apa?” “Tolong ganti panggilan ‘gue elo’ itu. Tidak baik bukan dilihat orang kalau mereka mendengar kamu menggunakan bahasa ‘gue elo’ pada suami kamu? Jadi saya harap setelah ini kamu tidak membiasakan menggunakan kata itu lagi.” “Nggak bisa. Lidah gue udah di-setting begini. Toh, gue ngomong begini kalau cuma berdua sama elo kan?” “Tapi saya kurang nyaman mendengarnya.” “Masalah gue emang?” “Okay. Kalau begitu mulai hari ini saya akan memanggil kamu dengan sebutan Neng.” “Gue belum setuju ya? Lo sendiri yang tadi ta–“ “Sepertinya saya tidak perlu persetujuan kamu lagi sekarang. Sebab kamu tidak bisa diajak diskusi baik-baik.” Yuni mendesah berat. “Ngapain nanya kalau gitu. Nggak jelas. Terus ada lagi yang mau anda perintahkan pada saya?” Seketika Gema menghentikan laju mobilnya. Melepas seat bealt dan mendekatkan wajahnya ke arah Yuni. Tubuh Yuni otomatis mundur hingga punggungnya menyentuh pintu kaca mobil dengan raut gugup. “El–“ “Akang. Panggil saya Akang.” Yuni tertegun sambil menelan ludah karena tatapan tegas sang suami. Entah apa maksud dari pria yang sudah resmi jadi suaminya ini. Kenapa bicara soal panggilan saja harus dengan posisi yang menyudutkannya? Maunya apa sih? Belum lagi jantungnya yang merespon dengan detak yang kencang. Membuat Yuni merasa semakin salah tingkah. Meresahkan sekali. Yuni pun mendorong bahu Gema agar posisinya menjauh. Namun, kalah tenaga sementara posisi sang suami semakin menyudutkan posisinya. Yuni memejamkan mata lalu terdengar suara jendela sampingnya diturunkan. Yuni memajukan tubuhnya hingga posisi mereka seperti sedang berpelukan agar rambutnya tak terjepit kaca jendela yang turun. “Selamat ma–“ “Ahhh!” Yuni memekik kaget dan langsung mengubur wajahnya di ceruk leher Gema. Kedua telapak tangannya mencengkram kencang bahu sang suami begitu saja. Beberapa detik keduanya dalam posisi seperti berpelukan sampai suara itu menginterupsi kembali. “Selamat malam Nyonya. Maaf saya mengagetkan Nyonya,” suara dari belakang Yuni. Langsung saja Yuni menoleh ke belakang dan mendapati asisten suaminya sedang berdiri di samping mobil sambil memegang sebuah tas. “Masukan ke belakang saja, Bima,” ucap Gema pada asistennya itu. Yuni menoleh lagi ke arah sang suami. Karena jarak yang masih berdekatan dan tangan Yuni yang masih betah berada di bahu Gema, ujung hidung mereka bersentuhan saat wajah Yuni bergeser. Hal itu menimbulkan gelenyar asing yang membuat Yuni menahan nafas beberapa jenak. Gema tersenyum lalu mengalihkan pandangannya lagi pada asistennya yang pamit. Kaca jendela dinaikkan kembali sementara tatapan keduanya masih saling mengunci dalam jarak yang sangat dekat. Aroma parfum maskulin yang menyapa indera penciuman Yuni membuat wanita itu merasa nyaman sekaligus berdebar tak jelas. “Kita mau terus seperti ini atau melanjutkan pulang?” tanya Gema menggoda sang istri. “Hah?” pekiknya mengerjap-ngerjap linglung dan terlihat lucu. “Neng mau kita pulang atau–“ “Pulang lah. Emang mau ngapain kita di sini?” sewotnya. “Kalau begitu, bisa Neng lepaskan tangannya dulu dari bahu Akang?” Yuni mengerjap kemudian menatap bahu Gema sebelum melepaskannya dengan cepat. Ia masih salah tingkah dengan nafas menderu karena detak jantung yang tak karuan. Gema tersenyum kecil sambil memasang seat bealtnya sebelum melajukan kembali mobilnya menuju kediaman mereka. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD