Chapter I. 05 : Saras

3062 Words
Sampai akhirnya, Ia bereaksi. Nafasnya melengkuh pelan dan wajahnya menoleh padaku. Wajahnya begitu lugu dengan mata sayu. Tatapannya sedikit tertutup oleh kesadaran yang belum pulih sepenuhnya. Lalu, kukecup bibirnya yang gincu. Pandangan matanya, tetap kosong menatapku. Ia bagai terbius oleh perlakuanku. Sampai pada suatu waktu ia sadar, bahwa mulutku sudah mengenyut bagian p****g susunya. Kuhisap bagai seorang bayi, sehingga menimbul suara decapan akibat hisapanku yang terlalu kencang. Bongkahan yang begitu lembut dan kenyal dengan p****g berwarna kemerahan. Lidahku kembali menyapu bagian yang mulai mengeras itu. Tanganku tak henti-hentinya memijat agar putingnya lebih mencuat. Lengkuhannya pelan, seakan berbisik ditelingaku. Lengkuhannya penuh rasa harapan agar dipuaskan. Kuhentikan perlakuanku di bagian tubuh atasnya. Kususuri tubuhnya yang membuat jarik penutup tubuhnya terlepas seiring dengan kecupanku ke seluruh tubuhnya. Bibir dan lidahku menyapu perut dan sejenak bermain di area pusarnya. Ia sedikit menggelinjang ketika lidahku memaksa masuk ke pusarnya, bagai seekor belut yang menggali sarangnya. Susuran lidahku terhenti disebuah gundukan daging berwarna merah dan ditumbuhi bulu-bulu nan halus. Kubimbing pahanya agar sedikit terbuka. Dinding yang lembab itu terpampang jelas di mataku. Aroma anyir begitu khas tercium di hidungku. Cairan lengket sedikit membasahi bulu-bulu nan halus. Segera saja, kusapukan lidahku naik dan turun ke arah daging itu. Aku tahu, sensasinya begitu menggebu. Pinggul Saras bergerak seiring dengan gerakan lidahku yang menyapu daerah maha sensitif di tubuh seorang wanita. Begitu pula ketika kuhentikan sapuan lidahku, pinggulnya bergoyang-goyang seakan memohon padaku agar perlakuanku diteruskan. Tentu saja, aku menuruti permohonannya. Kucengkram pangkal pahanya, sehingga membuatnya mengangkang lebih lebar. Lalu, kuarahkan lidahku dengan cepat. Kelitan lidahku menyusuri setiap rongga kewanitaannya. Ia pun menggelinjang tak karuan. Kulirikan mataku kewajahnya. Wajahnya merah padam, dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Seperti berteriak dalam hening kenikmatan tiada tara. Terlalu lama, Ia menahan gejolak nafsu yang menggeliat di dalam tubuhnya. Tentu saja, akibat perlakuanku ini. Seketika, tubuhnya mengejang dan daerah kewanitaannya berkedut. Berkedut lebih kencang seakan menarik lidahku untuk bergerak lebih dalam. Dari dalam rongga kewanitaan itu, mengucurlah cairan bening. Segera kutarik lidahku dan cairan itu mengucur membasahi wajahku. Rasanya begitu asin dan anyir. Tapi rasa jijik tak menghampiriku. Segera kuhisap seluruh cairan kewanitaannya disaat Ia menikmati sisa-sisa puncaknya. Aku tegak dan menatap wajahnya. Ia menatapku dengan tatapan nakal dan sayu. Tatapan yang selalu kurindukan. Tatapan yang selalu menggugah nafsuku. Sesaat Ia melirik ke arah buah hatinya yang terlelap. Untuk memastikan buah hatinya terlelap ke alam mimpi yang sepenuhnya palsu. Segera, kubuka celanaku dan terbukalah kejantananku yang telah mencuat seakan menantang dirinya. Aku naik keranjang dan duduk tertelungkup di sela kedua pahanya. Ke jantananku sedikit menyentuh bagian kewanitaannya yang lembab. Sesaat Ia menolak, "Jaaangan disini." Ujarnya seraya menahan dadaku agar tak menimpanya. "Tak apa." Jawabku. Segera, kutancapkan kejantananku memasuki ke dalam rongga kewanitaannya. Rasanya begitu licin dan kesat. Seperti sebuah gelas kaca yang dicuci dengan cairan jeruk nipis. Hal ini, menimbulkan sensasi menyenangkan di dalam tubuhku. Dengan sekali hentakan, kejantananku menancap sempurna. Sepertinya, kejantananku sangat cocok dengan rongga kewanitaannya, bagai sebuah kunci dan lubang kuncinya. Selalu cocok jika dipasangkan. Kuhentakan pinggulku keluar masuk. Pertama, dalam tempo yang pelan, sehingga membuat bongkahan kedua bukit kembarnya bergoyang perlahan. Wajahnya tak berani menatapku. Matanya melirik ke bawah, seakan menyaksikan setiap sensasi tusukan nikmat yang kulancarkan. Lalu, kupercepat tusukanku. Pinggulku bergoyang cepat seperti tak terkendali. Aku bagai terbius dalam rangsangan sesat. Tubuhku tak berhenti bergerak, sehingga membuat ranjang kayu kami berdecit hebat. Matanya menatap padaku, dan kepalanya menggeleng, seakan tak setuju dengan perlakuanku. Perlakuan kasarku, paling tidak akan membuat putrinya terbangun dan melihat kami sedang beradu nafsu. Mulutnya menganga seakan ingin mengatakan sesuatu yang tak bersuara. Matanya sayu memohon sesuatu yang sendiri tak tahu. Yang benar saja, Niar, putrinya terbangun. Ia langsung bangkit dari tidurnya dan duduk disamping kami. Matanya bergerak penasaran kearah kami berdua yang sedang bertumpukan. Saras bereaksi. "Niar, jangan lihat!" Ujarnya seraya memegang bahu putrinya dan tangan satunya menepis dadaku yang bidang. Namun, aku tahu tepisan tangannya tak akan kuat menjungkalkanku. "Ahrasss,,, sudah!" Ia menatapku ketika berkata seperti itu. Sorot matanya penuh permohonan dan harapan agar kulepaskan. Aku yang dipenuhi nafsu binatang tak menghiraukannya, walau kuhentikan genjotan kejantananku. Kali ini kulayangkan kedua tanganku menyentuh bukit kembarnya yang kenyal. Kuplintir kedua putingnya dengan jepitan ibu jari dan telunjukku. Sehingga Ia berdesis pelan. Pinggulnya bergerak-gerak mencoba meloloskan kejantananku. Namun, tak akan kubiarkan. Lalu, sesuatu terucap dari mulut Niar yang masih lugu, "Ibu dan paman, sedang apa?" Perkataannya membuatku dan Saras bingung. Aku harus jawab apa, Saras menoleh padaku seakan memohon agar aku menjawab pertanyaannya. Lalu, aku menjawab. "Kami sedang olahraga Niar. Niar tidur ya. Sini sambil hisap p****g Ibu." Kukatakan itu sambil menyodorkan p****g s**u ibunya yang telah mencuat keluar. Akhirnya, jawabanku benar. Tanpa bertanya, Niar kembali terbaring dan mulutnya mendarat ke p****g Ibunya. Saras melihatku dengan tatapan aneh, Ia seperti terkejut dengan jawabanku. Tangan Saras melingkar ke tubub Niar ada putrinya lebih nyaman. Sejenak kucabut kejantananku dan mengangkat salah satu kaki agar tak mengangkang lagi. Kuposisikan Saras agar nyaman menyusui putrinya, walau air s**u tak lagi keluar dari putingnya. Kini, posisi Saras menghadap Niar. Ia berbaring kesamping menghadap putrinya. Kurenggangkan bongkahan pantatnya agar lebih mudah menemukan bagian rongga yang tertutup oleh bulu. Segera, kuarahkan torpedoku ke dalam rongga itu. Sekarang, rongga itu serasa menyempit karena himpitan kedua kakinya. Saras mencoba membantuku dengan menunggingkan pantatnya yang sekal. Lesakan sempit, membuatku semakin bernafsu menembus liang senggamanya. Akhirnya, kejantananku menembus sempurna ke dalan rongga kewanitaannya. Perlahan kucabut, lalu kumasukan setengahnya, kucabut lagi, dab kumasukan sedikit. Lalu, kucabut sampai hampir terlepas dan kali ini aku hentakan dengan keras. Sehingga membuatnya menggelinjang hebat dan berteriak pelan. "Aukkkhhh!" Niar terkejut dengan teriakan ibunya. "Kenapa bu?" tanyanya lugu kepada ibunya. "Ndak apa-apa. Ayo, tidur lagi." Ujar Saras sambil terkekeh melirikku. Sepertinya Ia senang dengan perlakuanku. Lalu, kuteruskan genjotanku menusuk-nusuk belahan kewanitaannya. Ia melengkuh tak karuan, sensasinya berbuah ganda. Dibawah, aku menusuk rahimnya. Diatas, putrinya merangsang putingnya. Tanganku tak tinggal diam, Kuarahkan jemariku menjeput bagian putingnya yang menganggur. Kupilin dan kuplintir, sehingga desahannya membuatku semakin bernafsu. "Aihhh,, Ahh,, Ahhh,!" Wajahnya mendongak, tak kuasa diperlihatkan di tatapan putrinya. Aku semakin bernafsu menghentak bagian sensitifnya yang berada dalam kekuasaanku. Timbul suara tepukan dan decitan ranjang yang bergoyang tak beraturan. Deritan itu semakin cepat seiring dengan nafasku yang menggebu, seiring dengan desahan Saras yang semakin keras. Sepertinya kami berdua, akan mencapai puncak kenikmatan dalam pergulatan kami malam ini. Dan akhirnya, cairan kental memuncrat ke rahimnya. Tak henti-hentinya kami mengejang kelojotan. Kakinya bergetar dengan menggesek kasur kapuk tua nenekku. Kami mencapai puncak kenikmatan secara bersamaan. Nafasnya berhembus tak beraturan, seperti halnya diriku. Lalu, aku tumbang disampingnya. Niar yang masih heran dengan kegiatan malam kami. Ia merasa dirinya, diacuhkan dengan pergulatan kami. Saras, hanya terbaring saja menikmati sisa-sisa ketegangan ototnya. Lalu, aku membalikan tubuh Saras. Tubuhnya sekarang terlentang diapit olehku dan Niar. Sejenak, Saras menatapku sayu. Ia mencoba menebak, apalagi yang akan kuperbuat padanya. Aku sedikit menurunkan badanku, sehingga kepalaku sejajar dengan dadanya yang mengkal. Langsung saja, kuarahkan bibirku menghisap putingnya.  Niar yang heran bertanya kepada ibunya. "Bu." "Hah," Saras terkejut dan menatap Niar. "Paman ikut minum s**u?" Saras menoleh padaku, tatapannya sama dengan tatapan tadi. Ia memohon padaku agar menjawab pertanyaan putrinya. "Paman haus Niar, bolehkan minum s**u Ibu?" Niar tersenyum dan mengangguk perlahan. Lalu, mulutnya menancap lagi ke p****g induknya. Saras bagai seekor induk kucing yang sedang menyusui anak-anaknya. Dadanya membusung sehingga memudahkan kami berdua menghisap p****g yang kenyal itu. Tak lupa, tanganku yang bebas mengusap-ucap rongga kewanitaannya yang telah berlendir. Mulutnya ternganga karena birahi mendatanginya. Nafsuku sudah jauh menurun karena aku sudah mencapai puncak. Sedangkan Saras menginginkan lebih dan lebih. Alhasil, tiga kali Ia mencapai puncak sampai aku dan Niar tertidur di pelukan Saras sang ibu. Pergulatan semalam membuat badanku kaku. Kakiku gemetar ketika beranjak turun dari ranjang. Semalam sungguh mengejutkan. Kami berdua memadu cinta terlarang dihadapan sang buah hati. Alhasil, gadis yang mulai beranjak dewasa itu turut merangsang sang ibu sampai kelojotan. Sinar mentari dari ufuk masih mengintip pelan ketika kumulai aktivitas pagiku. Hari ini, aku tidak berkebun, karena perkiraanku tak ada biji kopi yang dapat dipetik. Mereka butuh waktu dan ruang untuk tumbuh, lalu menghasilkan biji-biji kopi yang nikmat jika digiling dan diseduh. Kulanjutkan aktivitasku dengan menguliti buruanku semalam. Akhirnya, setelah berbulan-bulan, aku bisa makan daging. Dan mungkin daging ini, bisa membuat para pengikutku senang. Terutama sang anak, Niar. Rusa yang begitu malang itu, tak berdaya lagi tergantung dipalang yang aku buat. Asap dari api unggun selalu kunyalakan agar menyamarkan aroma anyir dari Rusa. Dengan cekatan,  kukuliti kulit Rusa itu dengan hati-hati. Kulit Rusa sangat mahal di kota, mereka mengolah kulit ini sebagai bahan pakaian. Tentunya yang bisa memakainya adalah kaum orang kaya. Aku berpikir sejenak, ketika meletakkan kulit Rusa ini di sebuah meja digudang. "Apa aku harus ke kota sekarang?" ujarku dalam batin seraya menatap kulit Rusa yang bagiku adalah tumpukan kepeng emas dan perak. "Kulitnya ini berharga 5 kepeng emas, dengan 5 kepeng emas. Aku bisa menukarnya dengan bahan makanan dan pakaian," batinku berbicara lagi. "Sebentar!" "Pakaian" "Ya, pakaian." Aku teringat dengan kedua kaum hawa yang berada dirumahku. Tubuh mereka hanya terbungkus kain jarik tipis bermotif batik. Aku rasa mereka tak membawa apapun kemari. Aku berpikir ulang, "jika aku kembali kekota sekarang. Mungkin dua minggu lagi aku akan kembali ke kota lagi untuk mengirim biji kopi." Itu pemborosan menurutku. Tapi kulit Rusa ini, bisa saja busuk atau dikerubuti oleh lalat dan yang lebih menyeramkan adalah harganya turun. Aku berjalan keluar gudang penyimpanan dan menatap tubuh Rusa yang tak berdaya tergantung di sebuah palang kayu. Darah segar menetes menyentuh tanah dan menghasilkan genangan kecil. Sementara itu, aku masih berpikir sejenak, tentang keputusan yang akan kulakukan. "Apakah aku harus meminta pendapat Saras? Mungkin saja ia punya ide untuk memperlakukan kulit Rusa berharga tinggi ini." Kukatakan itu dalam hati sembari mengiris salah satu kaki Rusa malang tersebut. Kuletakan kaki itu itu di sebuah meja kayu halaman belakang, dan mulai mengirisnya agar mudah dimakan. Aku tak begitu pandai memasak daging, biasanya aku siapkan garam dan parutan kunyit untuk menambah rasa atau menghilangkan aroma anyir. Setelah itu, aku panggang saja di atas bara api sampai aroma matang tercium. Aku sibuk dengan kegiatanku mengiris daging dalam ukuran kecil. Tiba-tiba, Saras, wanita yang beberapa hari ini menjadi b***k pelampiasan nafsuku sudah berdiri di belakang. Rambutnya berantakan, begitu juga kain yang menutupi tubuhnya. Semakin lama, kain jarik itu semakin kucel dan usang. Ia bak gelandangan yang sudah lama tak makan. "Selamat pagi, aku dapat buruan besar semalam!" Sapaku dengan penuh semangat. Matanya yang daritadi menyempit karena kantuk, mendadak berbinar melihat seekor Rusa yang sudah dikuliti tergantung di dekatnya. Diatas meja, potongan-potongan daging sudah siap untuk di panggang, dan tentu saja--- siap untuk di santap. Wajahnya menyunggingkan senyum, yang tak begitu kuhiraukan. Mungkin Ia merasa senang karena pagi ini dan selanjutnya Ia dan putrinya tak perlu makan ubi kayu yang keras dan apabila tak hati-hati, bisa tersedak. "Kapan kau berburu?" Ujarnya seraya menghampiriku yang berdiri memotong daging di atas meja. Aku menjawab, " semalam!" Tatapannya berubah keheranan, "semalam, kau---" "Sebelum itu, aku pergi berburu!" selaku. "Kurasa kita sedang beruntung akhir-akhir ini." "Boleh aku bantu?" "Ya--- rendam daging-daging ini di cairan kunyit itu!" perintahku padanya. Saras dengan sigap merendam potongan daging yang sudah kuiris ke dalan sebuah mangkuk tanah liat yang sudah kusiapkan. Dari daging di kakinya saja, Rusa itu menghasilkan 20 iris daging yang cukup untuk membuat perut kami kenyang selama beberapa hari kedepan. Saras mulai memanggang irisan daging itu di tungku ditemani putrinya yang sudah terbangun, dan tentunya dengan perasaan senang. Tugasku membersihkan kucuran darah yang tercecer dimana-mana, termasuk kedua tangan dan tubuhku. Kulangkahkan kakiku menuju sumur tempat mengambil air, aku berencana untuk mandi pagi ini agar terlihat segar. Air dingin dan udara pagi bersatu menyentuh setiap jengkal kulitku. Terasa begitu dingin, namun menyegarkan. Seakan energiku yang terkuras akibat pergumulan semalam bangkit kembali. Kutatap kejantananku yang tenang di bawah sana. Aku merasa akhir-akhir ini Ia semakin membesar dan mudah tegang. Apalagi, ketika aku membayangkan setiap detil pertarunganku dengan Saras. Kuingat wajahnya yang sendu dan selalu membuat nafsuku menggebu. Kuingat setiap geliat tubuhnya yang bergerak mengikuti setiap hentakanku. Kuingat saat tubuhnya mengejang dan desahan lirih tanda kepuasan terdengar di telingaku. Tak kusangka, semua itu membuat kejantananku mengeras dengan sendirinya. Begitu besar dan menantang dengan bulu-bulu halus melindungi pangkalnya. "Sial! Kenapa sepagi ini, ia harus bangun!" Umpatku dalam hati. Aku menyeleseikan mandiku dengan perasaan campur aduk. Aku tak ingin merusak suasana hati Saras dengan bentuk kejantananku yang beberapa hari ini menjadi idolanya. Disamping itu, nafsuku harus segera tersalurkan. Ia pasti menolak jika putrinya sedang bangun, sehingga aku harus mencari cara agar putrinya tertidur. Andai saja, Ia sendirian disini, tanpa putrinya. Pasti saat ini aku sudah berada diatasnya dan kubiarkan Ia merasakan setiap sensasi tak terlupakan di bawah kekuasanku. Pikiran dalan otakku mulai lancang, Apa aku buang saja putrinya~~mungkin nanti malam aku akan menculiknya dan membuangnya di hutan! Akh, aku tak sekeji itu. Pasti ada cara lain untuk membuatnya takhluk padaku, setidaknya sebelum siang tiba. Aku keluar dari sumur dan melangkah menuju Saras dan Niar yang asyik memanggang daging. Saras berjongkong di hadapan tungku yang menyala. Kutatap lekukan tubuhnya dengan lipatan bongkahan d**a yang mengintip di balik kain jariknya yang berantakan. "Sudah matang?" tanya sambil mendudukkan diriku dihadapannya untuk menemukan posisi yang tetap agar aku bisa menikmati keindahan dadanya dibalik sehelai kain jarik yang menutupinya. "Sebentar lagi!" ujarnya. Tak butuh waktu lama, daging-daging itu mulai matang dan siap untuk di santap. Aku mengambil dua iris daging karena rasa lapar sudah menghinggapi perutku, ditambah lagi dengan aromanya yang mengundang selera. Kulihat mereka berdua makan dengan lahapnya. Memang mereka terbiasa tinggal di kota. Daging adalah makanan mereka setiap hari. Tinggal disini memang sulit mendapatkan daging. Dari sela-sela santap pagiku, aku mulai bercerita tentang rencanaku kepada Saras. "Saras." Saras menoleh kepadaku dengan wajah yang lugu. "Aku harus kekota sebentar lagi." kataku. Ia keheranan, "Untuk apa? apakah kopi-kopimu sudah siap dijual?" "Tidak, kulit Rusa sangat berharga di kota-- aku ingin menjualnya." "Oh, itu--" Ia kembali ke piringnya dan menggigit irisan terakhir dagingnya, lalu mengunyah dan kembali berbicara, "Jadi, Aku dan Niar tetap disini." "Ya, itu kalau kau mau?" Saras berdiam sejenak dan menatap putrinya. Lalu, Ia menjawab, "Ya-- aku akan tetap disini. Aku akan merawat kopi-kopimu, tapi tunjukan caranya!" "Baiklah, seleseikan makanmu!" Kami bertiga berjalan menyurusi kebun kopi. Dedauan tumbuhan kopi mencuat menyentuh kulit-kulit kami. Kutoleh Saras berjalan tertatih di belakang putrinya, kurasa Ia kelelahan semalam. "Kau tak apa?" tanyaku. Ia meringis kesakitan, cara berjalannya begitu lain dari biasanya. Kakinya sedikit terbuka seakan ada yang mengganjal. "Tak apa, mungkin kelelahan semalam." Ia menjawab seraya menyunggingkan senyum nakalnya. Senyumannya membuatku hanyut dalam gejolak nafsu yang tak terkira. Aku berbalik menghampirinya. "Bagian mana yang sakit?" tanyaku pada Saras yang  mendesis seperti ular. Ia tak berani menatapku, hanya tangannya saja yang menunjuk bagian bawah yang berarti organ kewanitaannya. "Boleh aku lihat?" Tanyaku. Ia terkekeh seraya menepuk dadaku yang bidang. Tepukannya tak begitu sakit, malahan jemarinya sedikit mencengkeram kulitku. Seakan memberikan tanda padaku bahwa sesungguhnya Ia begitu bernafsu. "Sini duduk?" Kudorong tubuhnya ke sebuah batang pohon besar yang tumbang beberapa tahun lalu. Ia mencoba menepisku, tapi Ia tetap menuruti perkataanku. Bola matanya mencoba memberiku tanda bahwa putrinya berada disini. Kutatap Niar, Ia hanya berdiri dengan tatapan lugu melihat ibunya duduk disana. Aku berjongkok dihadapan s**********n Saras dan mencoba menyingkap kain jariknya, namun Saras menepisnya dengan tangan. Tetapi tepisan itu hanyalah basa-basi belaka. Di hadapanku telah tersaji guratan daging berhias bulu-bulu halus dengan aroma yang begitu menyengat. Lalu, Niar berjongkok di sebelahku. Matanya nanar penuh penasaran dengan perlakuan kami. "Ibu kenapa?" tanya Niar kepada Ibunya. Sang Ibu yang mukanya sudah merah padam hanya bisa terdiam. Ia menatapku penuh rasa malu. Lalu, aku menjawab, "Ibu sedang sakit, Niar. Ini mau paman obati, Niar main sana!" Niar hanya menatapku dengan mata yang lebar. Ia sepertinya ingin melihat caraku mengobati ibunya. Tak berlama-lama, bibirku mendarat di selangkangannya. Rasanya begitu geli ketika bulu-bulu halusnya menyentuh bibirku. Rasa hangat mulai terasa ketika lidahku menyapu tepat di bagian tengah belahan nikmat itu. Cairan kental mulai tersaji di lidahku, rasanya begitu asin dan anyir, namun sangat membius diriku. Bibirku mengecup dan menghisap bibir Saras bagian bawah itu. Seakan kami berciuman. Kulirik wajahnya yang berpaling, tak berani menatap salah satu dari kami. Mulutnya ternganga seakan ingin berteriak dalam kesunyian. Matanya setengah terbuka menandakan ia telah hanyut dalam kesengsaraan atau kenikmatan yang meracuni setiap aliran darahnya. Dari telingaku, terdengar bisikan lirih dari mulutnya yang ternganga, "Sshhhh, Ahhh, Mmmnnnm!" Lalu, kualihkan pandanganku ke arah putrinya yang matanya menatap tajam kearah bibirku yang bergumul dengan rongga kewanitaan ibunya. Matanya bagai terbius merasakan sensasi aneh di dalam otaknya yang masih belia. Tatapannya tak jua berkedip melihat lidahku menyapu cepat membasahi bulu-bulu halus milik ibunya. Mata Niar beralih ke arah wajah ibunya yang berpaling darinya. Lalu, Niar bangkit dan duduk di samping ibunya. "Sakit ya bu?" tanyanya. Mendengar ucapan tanya dari anaknya itu. Saras memutar kepalanya dan mencium rambut putrinya yang mulai kusut. "Iyaahhh Niar... Auuchh sakitt... Ahhh!" Aku tak tahu arti perkataan Saras. Antara berbohong atau tidak. Sakit karena menahan nafsu sakit karena hidungku yang mancung mulai menyeruak kedalam lubang lendirnya. Mataku yang daritadi nanar seperti terbius dan melirik kearah wajah Saras. Niar memeluk tubuh ibunya dari sampingnya. Tangannya melingkar di d**a ibunya dan kepalanya bersandar di bongkahan kenyal. Sengaja atau tidak, tangan Niar mulai nakal. Telapaknya yang kecil mencengkeram d**a ibunya. Walau kain jarik lusuh masih meliputi tubuh wanita idaman semua kaum pria itu. Tangan kiri Saras melingkar di kepala putrinya yang bersandar di area bongkahan nan mengkal miliknya. Tanpa diminta, Saras membuka kain jariknya dengan sekali tarikan. Melihat p****g s**u nan merah dan keras milik Ibunya, Niar menancapkan bibirnya disana. Kepala Saras mendongak dan bibirnya mendesis bagai ular yang mengincarkan mangsa. d**a kanan di hisap dan d**a kirinya dimainkan oleh putrinya. Mereka hanyut dalam gairah nestapa yang menggeliat disekujur tubuh mereka, terutama Saras. Sepertinya Ia begitu terkesima ketika menatapku bermain di area kewanitaannya. Bahkan bisa jadi saat ini, seluruh daerah sensitifnya terangsang olehku dan putrinya. Dari gerakan pinggulnya, Ia menggeliat seakan menggodaku agar kuperlakukan lebih dan lebih. Aroma amis bercampur anyir, terasa menusuk di hidungku. Aroma yang biasanya membuat siapa saja mendengus atau menutup lubang hidungnya, namun hal itu tak berlaku saat ini untukku. Aroma itu begitu menggodaku, sehingga mataku menatap kosong penuh godaan. Tak terasa, kejantananku yang tak tersentuh berdiri menyeruak dari balik celana kainku. Sehingga membekas dengan otot yang keras. Kuakhiri kecupan liarku di area yang selama ini menjadi kelemahan perlindungan dirinya. Sejenak aku bangkit berdiri dan dengan sekali tarikan, terlepaslah celanaku yang sedari tadi membelenggu tongkat saktiku. Mata Saras menatapku, sebenarnya tak begitu menatapku. Ia lebih banyak menatap kerasnya urat pembawa bahagia atau bencana itu. Bibirnya ternganga seakan ingin mengatakan sesuatu untuk memuji jantannya kejantananku yang mengacung kearahnya. Pipinya merah merona memberikan efek sayu nan sendu pada wajahnya. Wajah yang membuat pria alim sekalipun menyergap dirinya dalam angkuhnya pergulatan tak resmi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD