BAB 5 - Pertemuan

1295 Words
Hari ini Tata sengaja bangun lebih awal dan berangkat ke kampus lebih cepat. Dia melewatkan sarapan bersama keluarga, dengan beralasan pada mama Arga bahwa ada buku yang harus dibeli menjelang masuk kuliah pagi ini. Sambil melipat tangan di d**a untuk menghadang dinginnya udara pagi, Tata bergegas menuju perempatan jalan untuk menanti bus yang searah dengan kampusnya.  Sudah beberapa hari ini Tata selalu menghindari Arga. Dia sudah lelah karena terus diturunkan Arga di tengah jalan saat berangkat bersama. Tata tidak mau lagi mengawali setiap paginya dengan melihat wajah bengis Arga. Dia sudah muak dengan semua sikap Arga yang selalu merendahkan dirinya. “Aku hanya perlu bertahan selama enam bulan. Toh, sekarang setiap harinya berlalu dengan sangat cepat.” Tata berucap pada dirinya sendiri.  Tata membuka jendela bus lebar-lebar lalu menjulurkan wajahnya keluar. Udara pagi yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Tata memejamkan matanya sejenak dan menikmati sensasi kesegaran itu. Rambut keritingnya yang panjang ikut berkibar ditiup angin. Tata terus melakukan aksinya itu hingga dia sadar ada seorang pengendara motor yang terus menyamai laju bus dan kini melihat ke arahnya.  Tata terkejut dan kembali menarik wajahnya ke dalam. Kemudian, dia kembali menoleh pelan ke luar jendela. Secepat itu juga dia memalingkan wajahnya kembali. Pengendara motor itu masih saja melihat ke arahnya. Tata mulai merasa resah. Sensasi sejuk yang tadi dia rasakan kini berganti gerah yang membuatnya berkeringat. “Siapa sih, dia?” bisik Tata.  Tata berusaha melihat wajah dibalik helm itu. Namun tidak ada ciri-ciri khusus yang bisa dilihat sama sekali. Tiba-tiba saja pengendara motor besar itu melambaikan tangannya. Tata pun langsung melotot dengan mulut menganga.  “I-itu siapa, sih?” Tata menatap heran, sedangkan sosok itu memacu laju motornya dan menghilang di antara kerumunan kendaraan yang lain. ***  Setiba di kampus, Tata langsung di hadang Arga yang sudah lebih dulu sampai darinya. Dia memanggil Tata dengan melempar sebuah kerikil kecil ke arahnya. Setelah itu Arga langsung berjalan menuju sudut kampus yang sepi. Dengan rasa dongkol Tata pun segera mengikutinya dari belakang.  “Kenapa belakangan ini kamu selalu pergi duluan?” tanya Arga. “Emang apa salahnya? Toh, nanti kamu juga nurunin aku di tengah jalan,” jawab Tata. Arga terdiam.  “Apa dia merasa bersalah?” Tata bertanya dalam hati. “Bagus deh. Untuk seterusnya lebih baik seperti itu,” ucap Arga.  Tata tersenyum kecut mendengarkan komentar Arga. Setelah itu Arga mengeluarkan beberapa helai uang kertas dari kantongnya. “Kenapa kamu nggak ngambil uang jajan yang dikasih Mama? Kamu juga nolak pemberian kartu kredit dari Papa?” tanya Arga. “A-aku—” “Harusnya kamu terima aja ... selagi masih bisa dan ada kesempatan.” Arga memotong pembicaraan sambil menyodorkan uang itu ke tangan Tata.  Arga tersenyum sinis, kemudian berlalu pergi. Tata meremas uang kertas di tangannya itu hingga remuk. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi menghadapi hinaan Arga. Tata menghela napas dalam-dalam lalu perlahan mengeluarkannya. Setelah itu dia menarik bibirnya untuk tersenyum. Tata sudah bertekad bahwa tidak akan ada lagi kesedihan yang disebabkan oleh Arga.  *** Begitu sampai di depan kelas, Tata melihat orang-orang ramai berkerumun di sana. Bahkan beberapa anak-anak dari jurusan lain yang juga sibuk mengintip melalui kaca jendela. Tata segera menerobos masuk di antara keramaian itu. Setelah memanjangkan leher ke segala penjuru, akhirnya Tata melihat kedua sahabatnya Helena dan Windi. “Ada apa sih?” tanya Tata. “Iya ... iya.” Helena asal menjawab dengan mata tetap fokus ke depan sana. “Ada apa sih, Win?” Tata beralih bertanya pada Windi. “Iya udah kelar kok, tenang aja,” jawab Windi. Tata mengernyit mendapati Helena dan Windi yang asal bunyi dan tidak menyambung. Setelah mengambil ancang-ancang, akhirnya Tata memukul b****g kedua sahabatnya itu dengan cukup keras hingga keduanya memekik lalu kembali tersadar. “Sakit tau, Ta,” rengek Windi. “Aww ...! **4@$%$#%$##**.” Helena langsung mengeluarkan umpatan-umpatan indahnya. “Lagian kalian kenapa, sih? emangnya ada apa?” tanya Tata. Windi tersenyum, lalu menggandeng lengan Tata seraya berbisik pelan, “Itu loh, yang aku bilang kemaren. Akhirnya hari ini dia masuk,” ucap Windi sambil cengengesan. “Siapa?” tanya Tata. “Hamdi Alfaiz,” jawab Helena.  “J-jadi dia beneran pindah ke kampus kita?” bola mata Tata membesar seperti akan keluar dari rongga matanya.  “Iya, dan kayaknya kesempatan aku buat dapetin dia tipis deh,” keluh Helena.  “Kenapa?” tanya Tata. “Liat deh ... anak-anak rame pada mau minta tangan dan foto bareng sama dia,” sambung Windi.  Tiba-tiba kerumunan di depan sana mulai terbelah. Pria bergaya klimis itu melangkah keluar dari kerumunan. Sosok berbadan tegap, berkulit putih, dengan fitur wajah yang menarik itu langsung membuat Tata, Helena dan Windi terpana. Sesaat pria itu menatap ketiganya sekilas lalu kembali tersenyum pada seorang mahasiswi yang meminta tanda tangannya. Namun, ketika dia hendak menggoreskan pulpen itu, dia kembali mengangkat wajah menatap ke arah ketiganya. “Gila, dia ngelihatin aku,” ucap Helena. “Nggak usah ke geer-an deh Len, jelas-jelas dia ngeliatin aku,” sanggah Windi.  Sosok bernama Hamdi itu menajamkan penglihatannya. Dia terus melihat ke arah mereka bertiga sambil mengangkat telunjuknya perlahan. Kemudian seulas senyumnya mencuat memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Masih dengan mengulum senyum, Hamdi  perlahan melangkah mendekati ketiganya. “Dia ke sini! Oh my God,” desis Helena.  Windi segera memperbaiki pose berdirinya. Helena mulai memasang tingkah sok imut dengan menggulung-gulung rambutnya dengan jari telunjuk. “Hai,” sapa Hamdi. Helena dan Windi saling tatap tidak percaya. Nyatanya Hamdi tidak menyapa mereka, melainkan menyapa Tata yang kini terpana dengan wajah bodohnya.  “K-kamu ...?” Tata berusaha mengingat-ingat. “Kita bertemu lagi,” ucap Hamdi sambil tersenyum.  Tata tergagap dan tidak bisa berucap.  “Kenalin, aku Hamdi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.  Tata menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu, “Aku Tata,” sambutnya. Hamdi tertawa kecil, lalu tersenyum menatap Tata. Situasi itu kembali membuat anak-anak yang lain termangu menyaksikannya.  “M-maaf.” Hamdi langsung meminta maaf saat Tata menarik tangannya yang sudah cukup lama di genggamannya.  “Nggak apa-apa kok,” jawab Tata.  Tata ingin situasi canggung ini segera berakhir, namun lagi-lagi Hamdi berbicara padanya.  “Oh iya, tunggu sebentar,” ucapnya. Hamdi kemudian merogoh ranselnya mencari sesuatu. “Ada apa sih, Ta?” bisik Helena di kuping kanan. “Ta, kamu kenal sama dia?” bisik Windi di kuping kiri.  “Ini gelang milik kamu, kan? sepertinya terlepas di waktu itu,” ucap Hamdi sambil menyodorkan sebuah gelang pada Tata. “Oh, iya, ini gelang aku,” jawab Tata dengan muka memerah.   Windi, Helena dan pasangan mata lainnya semakin kekurangan oksigen menyaksikan adegan itu. Dengan santainya Hamdi langsung meraih tangan Tata dan memasangkan gelang itu di pergelangan tangannya. Fenomena itu langsung memancing reaksi histeris dari Windi dan Helena. Bukan hanya mereka, anak-anak yang lain juga saling berbisik dan menggeleng tidak percaya. Sementara, Tata yang mendadak linglung tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bagai terhipnotis dan tidak bisa menuruti perintah otaknya sendiri untuk menarik tangannya.  “Ada apaan nih?” sebuah suara langsung mengalihkan perhatian semua orang.  Sosok itu ternyata adalah Arga. Dia menatap Tata dan Hamdi dengan kening mengerut. Seketika itu juga Tata langsung menarik tangannya kembali. Sosok Hamdi kini terfokus menatap Arga. Dia melangkah pelan mendekati Arga dan langsung memeluknya erat. “Halo Brother ... akhirnya kita bisa ketemu di sini,” ucap Hamdi.  Kalimat yang baru saja terlontar itu membuat netizen kembali heboh. Mereka ricuh mempertanyakan apa yang sedang terjadi. Namun, yang paling terkejut adalah Tata. Dia terpaku menyaksikan Arga yang kini juga memeluk Hamdi dengan hangat. Ini pertama kalinya Tata melihat Arga tersenyum selepas itu. Arga menepuk-nepuk punggung Hamdi dengan pelan. Mereka saling bertukar kabar dengan bersemangat. Namun kemudian, tatapan Arga dan Tata bertemu. Saat itu juga raut wajahnya kembali berubah. Dengan masih memeluk Hamdi, Arga pun menatap Tata dengan wajah bengis dan sadis seakan sedang memberikan sebuah peringatan untuknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD