Part 6. Keputusan.

1628 Words
Clara Bella.   Ia mematut diri di cermin, mengamati penampilan wajahnya pagi ini. Tubuhnya sudah tersalut rapi dengan blouse warna magenta dan rok ruffle sebatas paha berwarna sama. Telapak kakinya yang putih mulus ia bungkus dengan stilletto setinggi 5 cm berwarna senada. Rambut bergelombangnya ia biarkan tergerai melewati punggung. Tak lupa ia poles wajahnya dengan riasan natural namun sedikit tebal. Lalu menyemprotkan sekujur tubuh dengan parfum favorite beraroma floral. Cantik. Itu yang cermin katakan saat memantulkan bayangan dirinya. Ya, ia harus berdandan secantik mungkin pagi ini. Karena seseorang sedang menunggu keputusan pentingnya hari ini juga. Keputusan yang pasti akan merubah drastis hidup dan masa depannya. Setelah tiga hari ia berpikir keras sambil menjaga bunda yang sudah sadarkan diri di ruang perawatan, akhirnya ia terpaksa memilih satu keputusan yang ia anggap pahit dari yang terpahit. Dini hari tadi, di tepi ranjang, ia menatap wajah ibunya yang tertidur pulas sebelum ia pulang ke rumah. Kondisi ibu yang dirasa sudah cukup membaik membuatnya merasa yakin bahwa keputusan yang sudah ia pikirkan matang itu sudah tepat. Sehingga di hari ke empat yang dijanjikan, yaitu hari ini, ia sudah siap sepenuhnya menerima risiko akan pilihan hukuman yang ia hadapi nanti. Sepertinya Tara memang tidak ingin buruannya lepas begitu saja. Terbukti saat ia keluar dari rumah, tiga orang pria berbadan besar dan bertampang menyeramkan sudah menantinya di halaman dengan kendaraan MPV hitam yang pintu sampingnya sudah terbuka, untuk ia masuki. Mereka memang sudah tiga hari ini berada di sekitaran dirinya. Baik ketika berada di rumah ataupun di rumah sakit saat menjaga ibunya. Sebenarnya ia sangat risih diikuti dua puluh empat jam seperti ini. Diperlakukan tak ubahnya seperti seorang buronan teroris yang membahayakan. Tapi, lagi- lagi Tara menunjukkan kekuasaan. Mobil yang ia tumpangi bersama tiga bodyguard Tara berhenti tepat di depan lobi gedung berlantai lima belas. Ia turun dari mobil lalu merapikan pakaiannya sejenak, kemudian melangkah dengan kepala tegak. Dua orang security dan dua reseptionis di lobby menyambutnya seperti biasa. Mengangguk hormat dan menyapa namanya. Hanya pandangan mereka yang terlihat begitu heran sekaligus terkagum-kagum mengiringi langkahnya menuju lift. Ia hanya tersenyum getir melihat ekspresi mereka kala menyaksikan dirinya berpenampilan sedikit berbeda dari biasanya. Lebih menantang, kira-kira begitulah. Tapi ia yakin jika berita tentang penggelapan uang perusahaan yang ia lakukan sampai ke telinga mereka, pasti tatapan kagum itu berubah menjadi tatapan menghakimi. Bahkan ditambah decihan menjijikan. Beruntung baginya, setidaknya sampai detik ini, berita skandal itu hanya beredar di ruangan pimpinan saja, bersama segelintir petinggi perusahaan yang dianggap penting dan berhubungan langsung dengan kasusnya. Entah karena ingin menjaga reputasi perusahaan yang terkenal ketat dari celah penggelapan dan korupsi. Atau hanya karena tidak ingin mempermalukan dirinya di perusahaan ini. Ia sama sekali tak peduli lagi. Yang pasti kini ia sengaja berpenampilan sedikit seksi, karena ia pikir ini hari terakhirnya menginjakkan kaki di gedung yang ia datangi setiap harinya selama tiga tahun ini. Setelah itu, posisinya akan berganti. Tepat di depan meja Davina, ia disambut tatapan tajam sang sekertaris pimpinan itu. Sorot mata wanita bermake up tebal itu menghujam tepat ke wajahnya, lalu memindai dari kepala hingga ke ujung kakinya. Ada rasa iri dan cemburu tergambar di raut wajah Davina. Tapi ia tetap berdiri anggun menunjukkan bahwa ia sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan sinis itu. “Apa karena dandan seheboh ini yang bikin kamu terlambat, Clara?” Pertanyaan Davina bernada sarkas itu tak digubrisnya. Ia hanya mengendikkan bahu. “Berapa lama pun aku terlambat, pimpinanmu itu pasti menunggu.” Ia membalas tak kalah sarkas sambil tersenyum kecil. “Langsung saja ke dalam!” suruh Davina ketus. “Eh, Clara ....!” Belum dua langkah ia menuju pintu ruangan Direktur Utama, Davina memanggilnya lagi. Ia berhenti dan berbalik badan “Sebelum kamu masuk penjara, boleh aku tahu siapa dokter kecantikan yang mengoplas wajah dan body kamu? Aku tertarik juga untuk memermak d**a dan bokongku. Tapi yang pasti uangku bukan hasil korupsi.” Sindiran Davina yang disertai senyuman licik itu membuat hatinya memanas. Tuduhan keji itu selalu ia dengar dari para karyawati yang iri padanya. Padahal ia sama sekali tidak pernah mengunjungi dokter kecantikan, apalagi merombak wajah dan tubuhnya. Baginya itu sama sekali tak berguna. Ia sudah cukup percaya diri dengan karunia yang Tuhan berikan untuknya. Lagi pula, jangankan untuk memermak diri, untuk biaya pengobatan bunda saja sudah menguras uangnya. “Untuk kamu, aku ada rekomendasi dokter yang terbaik .... “ Ia berusaha bersikap tenang sambil tersenyum dengan menekan rasa geram di dalam d**a. Menghadapi Davina yang sejak dulu sinis padanya itu tidak perlu menarik urat syaraf. Hanya buang tenaga sia-sia, pikirnya. “Namanya dokter Anggora, drh.” sebutnya santai seakan tanpa beban. Lalu pergi begitu saja setelah mengibas rambut tepat di depan wajah Davina. “Maksud kamu ... dokter hewan?!” Ia tersenyum lebar mendengar Davina setengah memekik geram di belakang punggungnya. Tapi ia enggan menoleh lagi. Setidaknya ia masih bisa tersenyum di tengah keresahan hati. Tangannya gemetar ketika ia mengetuk pintu besar berwarna coklat tua di hadapannya. Terlebih saat ia mendengar perintah masuk dari dalam, bukan hanya tangannya yang gemetar tapi bulu di sekujur tubuh mulai meremang. Seakan tengah menghadapi kematian. Perlahan ia memasuki ruangan setelah pintu terbuka. Saat itu juga, kepercayaan diri yang sejak tadi menaunginya menguap seperti asap. Tatapan mata elang itu kembali menghujam bola matanya yang bergerak gelisah. Namun ia tetap berusaha setenang mungkin menghampiri Tara yang duduk di kursi kebesaran dengan sikap ala bangsawan. Ia berdiri tegak di hadapan Tara. Pria itu tetap bergeming di kursi meletakkan lengan di kiri kanan sandaran sambil memandanginya begitu lekat. Sorot mata laser itu memindai setiap inch penampilannya. Seakan sedang menelanjanginya saat ini. Menakutkan. Tidak ada usainya ia merasakan dentuman hebat di dalam d**a. Menandakan jantungnya sedang menggila. Tara beranjak dari kursi, lalu melangkah pelan menghampirinya. Seperti saat ia di interogasi pertama kali, Tara menempatkan bagian belakang yang tampak seksi versi laki-laki itu di bibir meja, lalu melipat tangan di depan d**a. Semua dilakukan Tara tanpa memutus tatapan tajam padanya. “Kalau dilihat dari penampilan kamu hari ini, sepertinya saya sudah tahu hukuman yang kamu pilih.” Tara berucap datar. Suaranya seperti biasa, berat dan dingin hingga menggetarkan ulu hati. Ia tidak menjawab, terlalu sibuk menjinakkan jantungnya yang jumpalitan menggetarkan tulang d**a. “Tapi, saya ingin dengar langsung dari ... “ Bola mata Tara menurun sedikit, “bibir kamu.” Ia semakin bergidik ngeri dengan tatapan Tara yang begitu mengintimidasi. Tapi apapun situasi yang terjadi kini, ia harus mengatakan keputusannya yang sudah mantap dengan risiko apapun yang harus ia hadapi. “Untuk mengingatkanmu sekali lagi. Penjara atau ... menikah dengan saya?” Pertanyaan itu dilontarkan Tara dengan tegas. Memaksanya untuk mengatakan keputusannya sekarang juga. Sejenak ia meneguk salivanya yang mencekat, lalu terpejam sesaat seraya menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia membuka matanya sambil mengembuskan napas panjang. Sekuat tenaga ia menenangkan dirinya sendiri. Setidaknya ia masih bisa menegakkan kepala, menunjukkan pada sang pimpinan bahwa ia sudah siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Penjara....” Sekali lagi, ia tercekat. “Saya siap dipenjara.” Akhirnya apa yang ia putuskan lolos juga dari lisannya. Ia ucapkan itu sambil menantang bola mata Tara. Walau ia yakin masih ada ketakutan di sorot matanya, tapi ia berusaha tutupi dengan sikap tegasnya.   Terdengar desahan napas Tara yang panjang. Ia melihat d**a Tara yang bidang dibalut kemeja biru itu terangkat lalu menurun perlahan. Ia melihat Tara tersenyum sinis padanya seraya mendengkus. Ekspresi pria itu jelas menunjukkan kekesalan lantaran kemenangan yang sudah di depan mata, tiba-tiba terhempas jauh ke entah kemana. Memang itu yang ia mau. Tidak akan pernah membiarkan Tara menang karena akan mengikat dirinya dengan pernikahan. Tidak akan! “Baik. Saya anggap kamu sudah siap dengan segala risikonya. Jadi saya harus laporkan kasus ini pada ....” Belum selesai Tara menggenapi kalimatnya, tiba-tiba ponsel di dalam tasnya berbunyi nyaring. Keduanya seketika bungkam. Hanya deringan ponselnya yang memecah suasana tegang di ruangan.  “Boleh saya angkat telepon dulu?” Ia bersuara meminta ijin. Tara tetap bergeming, tidak memberi jawaban apa pun. Diamnya Tara ia anggap ijin untuknya. Karenanya, ia langsung meraih ponsel yang menjerit-jerit itu dari dalam tas. “Halo, Clara. Kamu cepat ke rumah sakit. Bundamu pingsan lagi.” Suara Om Adrian terdengar panik setelah hubungan telepon tersambung. “Bunda? Kenapa bunda, Om?” “Entahlah, Dokter Harun sedang periksa. Kamu cepat ke rumah sakit. Sekarang, Clara.” “Ba ... baik, Om.” Tubuhnya seketika lemas setelah memutuskan sambungan teleponnya. Wajahnya terangkat menatap Tara, ingin bicara tapi lidahnya serasa terkunci. Bibirnya hanya membuka, menutup, lalu membuka lagi. Ia tak tahu harus berkata apa pada Tara yang masih menghujaninya dengan sorot mata penuh curiga. “Ibu kamu?” Dugaan Tara akhirnya menyudahi kebuntuan. Ia langsung mengangguk cepat. “Bo ... boleh saya ke ... rumah sakit sebentar. Bunda butuh saya,” Ia tergagap dengan wajah memucat. Tatapannya begitu memohon pada Tara. Tapi Tara enggan menjawab. Pria itu hanya berdecak kesal. Seandainya bisa, ia pasti akan berlutut memohon belas kasihan Tara untuk mengijinkannya melihat keadaan bunda. Tapi harga dirinya masih menolak keras untuk melakukan itu. “Saya mohon, sebentar saja. Setelah urusan bunda, saya pasti kembali ke sini.” Akhirnya ia memohon walaupun tanpa harus berlutut. Tara kembali enggan menjawab. Yang pria itu lakukan hanya mengangkat gagang telepon di atas meja kemudian menghubungi seseorang. “Pencuri ini akan jenguk ibunya. Kalian antar. Setelah selesai, bawa lagi pencuri ini ke sini.” Perintah Tara di telepon itu membuatnya memejamkan mata menahan perih yang menusuk ulu hati. Baiklah, ia memang pencuri. Tapi tidak semestinya gelar memalukan itu terus menerus digaungkan di depan telinganya. Itu sangat menyakitkan! Tapi Tara memang seorang pria berhati dingin tanpa perasaan. Atau mungkin sama sekali tidak punya hati? Tara hanya memberinya kode dengan lirikan mata tertuju ke arah pintu. Ia pun mengerti. Ia diijinkan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia melesat keluar, meninggalkan Tara yang hanya mengiringi kepergiannya dengan tatapan mata hingga menghilang di balik pintu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD