Jijik Pada Diri Sendiri

1037 Words
Mas Yoga menyetir sambil sebentar-sebentar memandangku. Sesekali ia bertanya harus berbelok ke mana. Aku menyahut sekadarnya dengan tatapan terus ke luar jendela, memperhatikan sekeliling dengan mata mengembun. "Mungkin yang menimpamu adalah karma karena kamu selalu tampak benci pada orang." "Apa?!" Aku menatapnya tak habis pikir. Sepertinya, lelaki ini benar-benar tak punya otak. Orang sedang tertimpa musibah, tapi tak bisa menjaga mulut. Tak ada empati sama sekali. Mungkin sudah minggat hati nuraninya. Mas Yoga memicingkan mata dengan sinis. "Apa aku salah? Pada aku pun kamu begitu, terlihat sangat-sangat membenciku. Dulu aku bahkan sempat berpikir jahat mau membuangmu ke hutan," katanya santai tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dasar lelaki gila tak ada otak. Heran kenapa Cinta bisa sangat tergila-gila padanya. Aku mengusap mata yang lagi-lagi meluncur jatuh. Ia memandangku mencemooh. "Tangisi saja sampai air matamu keluar darah. Aku yakin tidak akan mengubah kenyataan. Hanya saran, mungkin kamu harus mengubah tabiat burukmu itu." Astaga. Memang dia benar-benar. Kesal, aku memukul-mukul lengannya hingga ia mengerem mendadak. Ditatapnya aku sinis. "Kalau mau mati sendiri saja," katanya dingin. "Keterlaluan kamu, Mas!" Aku terus memukulinya. Ia sesekali menghindar dengan menyilangkan kedua tangan di wajahnya dan sesekali menepis. "Lalu kamu apa? Dari dulu ikut campur terus antara aku dan Cinta!" "Sekarang Cinta sudah menikah, kamu harus pikirkan itu!" "Cinta dari dulu milikku, aku akan mendapatkannya lagi apa pun caranya," katanya penuh keyakinan. "Lelaki gak tahu diri. Kamu bahkan sudah mengkhianatinya." Kuhentikan pukulan dan terisak lirih. Mas Yoga hanya membisu. "Jangan usik Cinta lagi." Lirih, suaraku terdengar. "Dengan segera, aku akan mendapatkan dia lagi." Balasnya penuh keyakinan. Aku memilih membisu sambil berpikir bagaimana caranya agar ia tak mengusik hidup sahabatku itu. Walau aku setengah mati kesal pada Mas Zain yang tahu tentang rencana jahat Tara tapi tak mengatakan terus terang padaku, tapi Cinta tetap sahabat terbaikku. Saat jadi mahasiswi dulu, ia tak segan membantu kebutuhanku. Ia teman yang begitu pengertian, tak perhitungan sama sekali. Bahkan sampai sekarang pun, ia terus menawarkan untuk memberiku sejumlah uang agar bisa kembali membangun rumah juga tempat praktik. Tapi aku bukan tipe orang yang memanfaatkan kesempatan. Mas Yoga mengerling sambil sesekali mengetuk-ngetuk keningnya. Sesekali ia tersenyum sendiri hingga membuatku heran. "Kalau kamu terus menangis sampai rumah, bisa-bisa, aku yang disalahkan keluargamu." Ia melirikku. Aku mengusap air mata. Saat HP dalam saku celanaku berdering, aku meraihnya, namun ragu mengangkatnya saat tahu panggilan dari Mas Kevin kekasihku. Ma Yoga menatapku sekilas. Ia sedikit mengangkat tubuh dan membaca sederet nama 'kekasih hati' di layar HP-ku. Aku terus membiarkan HP berdering hingga akhirnya mati sendiri. Entah kenapa aku merasa takut bahkan hanya sekadar mengangkat telepon Mas Kevin. Entahlah akan bertahan atau tidak hubungan kami. Hanya saja, aku merasa malu dengan keadaanku seperti ini. Sisa perjalanan menuju rumah, Mas Yoga lebih banyak diam hanya sesekali menoleh memperhatikanku dan menarik napas panjang. Aku sesekali mengusap air mata. Sampai di rumah, ibu menatapku terlihat sangat cemas. Ia memperhatikan Mas Yoga sejenak, lalu tampak mengingat-ingat. "Ini Mas Yoga, Bu. Ibu pernah bertemu dulu dengannya saat wisuda." Aku menjelaskan. Ibu mengangguk-angguk. Lalu mempersilakannya masuk. Begitu duduk di kursi, ibu berkata dengan logat hati-hati. "Bukankah kamu dan Cinta sudah bercerai?" Mas Yoga mengangguk kecil. "Dia ke sini mau temui anaknya, Bu. Tapi karena statusnya dan Cinta sudah berubah, maka ia akan menginap di sini. Boleh kan, Bu?" Ibu memandangku tampak begitu keberatan. Tapi akhirnya mengangguk saat aku menatapnya mengharap. "Ini kamar kamu." Aku mendorong pintu hingga membuka. Mas Yoga memandangku dengan senyum mencemooh. "Apa kamu benar-benar berpikir bahwa aku pacarmu seperti yang kamu katakan pada orang aneh itu? Heran, kenapa Cinta mau menikah dengannya." Suasana hatiku sedang sangat buruk jadi aku tak ingin meladeninya berlama-lama. "Terserah apa katamu, Mas. Tapi yang jelas, aku udah punya pacar!" Tegasku. "Pacar yang coba kamu hindari!" Ia menambahkan dengan penuh ejekan. Aku tak menghiraukannya. Kututup pintu dengan kuat lalu menemui ibu di dapur. "Dia ke sini untuk menemui Cinta. Dia begitu kaget saat tahu Cinta udah nikah lagi. Aku yakin dia gak akan tinggal diam. Tapi aku juga gak mau dia buat pernikahan Cinta berantakan. Cinta sejak dulu banyak membantuku, Bu. Tolong ijinkan dia tinggal di sini." Ibu menggelengkan kepala pelan. "Ini kan bukan rumah kita, Nduk. Lagian tidak boleh kalian tinggal seatap karena kalian bukan suami istri." Aku menatap ibu begitu memohon. Tapi ibu tetap keukeuh pada pendiriannya. "Coba kamu musyawarahkan pada Al baiknya bagaimana. Al yang punya rumah ini." Aku mengangguk. "Aku akan temui Al besok." Lalu aku menuju kamar, merebahkan badan di pembaringan, tak bisa menahan isak tangis saat teringat kejadian semalam. Sungguh menjijikkan! Aku sangat jijik. Kusambar handuk lalu menuju kamar mandi, menguyur tubuhku terus menerus dengan air dingin. Usai mandi, aku tidur di ranjang berselimut tebal, menenggelamkan diri di dalamnya dan lagi-lagi terisak. Dadaku penuh oleh amarah juga penyesalan kenapa menganggap remeh ucapan Mas Zain dulu, juga mengabaikan pesan Redi kemarin. Kugigit bibir kuat. Jijik. Jijik. Aku sangat jijik pada diriku sendiri. Aku spontan duduk lalu meraih botol obat di laci meja, memasukkan butir obat ke mulut, menelannya tanpa air hingga membuatku kepayahan. Teringat semalam, aku lagi-lagi ingin terisak. "Nduk, ada pacarmu di depan. Cepat temui." Ibu melongok ke dalam kamar, mengernyit melihatku terisak. "Ada apa denganmu, Nduk? Apa kamu dan Kevin sedang bertengkar?" Kugelengkan kepala. Aku menyambar jilbab lalu menemui Mas Kevin di ruang tamu. Ia tersenyum lebar saat aku menuju ke arahnya. "Apa aku ada salah?" tanyanya saat aku duduk di hadapannya. Aku menggeleng. "Kalau tidak ada masalah, kenapa panggilanku tidak diangkat?" tanyanya, tatapannya lekat ke wajahku. Aku menggeleng. Cukup lama, kami hanya diam-diaman. "Kamu seperti habis menangis." Aku hanya membisu. "Kalau ada masalah, cerita saja padaku." "Gak ada masalah," sahutku lirih. Ia memperhatikanku beberapa lama, lalu tatapannya pindah pada jam yang melingkar di tangannya. "Aku harus pergi dulu. Nanti malam, aku ke sini lagi." Ia memandangku, aku hanya mengangguk kecil, lalu mengantarkannya sampai di depan pintu. Setelah ia pergi, aku membalikkan badan, terlonjak melihat Mas Yoga di hadapanku. "Hanya seperti itu kamu menghadapinya?" Ia duduk di kursi, menatapku penuh ejekan. "Bukan urusanmu!" "Kamu takut dia tidak menerimamu apa adanya?" "Bukan urusanmu!" "Kalau dia benar-benar menyukaimu, dia akan menerimamu apa adanya," katanya pelan. Harusnya begitu. Tapi, aku tidak yakin Mas Kevin aku menerimaku yang sudah ternoda. Ya Allah, kenapa ini harus menimpaku? Haruskah aku jujur pada Mas Kevin?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD