Bab 3. Night, My Ella

1708 Words
Bella menatap tajam dengan bola mata lebarnya, seakan dirinya anak yang baru insaf dari perbuatan salahnya. Saat Ivan mulai memasuki rute jalan pulang, Bella mengerutkan dahinya merasa penasaran. “Kok, kamu tahu jalan ke rumah aku? Jangan-jangan, kamu suka nguntit aku yah.” “Jangan sembarangan menuduh kamu.” “Iya nih, pasti kamu nguntitin aku kan. Buktinya kamu bisa mesan restoran dekat kantor aku. Hayo ngaku!” Ivan terkekeh mendengar tuduhan Bella. “Aku kan sudah ke rumah kamu beberapa kali, waktu anterin Mamiku ketemu sama Tante Sintia. Kamunya yang enggak ada di rumah karena bekerja. Dan setiap ke sana, anak-anak kamu juga sedang sekolah.” “Oh.. Jadi begitu. Maaf kalau begitu, aku nuduh sembarangan.” Bella mengangguk-anggukkan kepalanya merasa tidak enak hati sudah salah menduga. “Coba deh, mikir positif tentang aku. Kamunya belum kenal aku luar dalam tapi main nuduh terus. Negara kita ini menganut asas praduga tak bersalah.” Memutar bola matanya merasa jengah dengan ucapan bernuansa bijak dari mulut Ivan. “Terserah kamu deh.” “Bisa jadi aku lebih sempurna di banding almarhum suami kamu itu.” “Never!! Ngak ada yang bisa gantiin Jackson dihati aku meskipun kamu bakalan nikah sama aku.” Ucapan ketus Bella menorehkan luka dihati Ivan. Bella dapat menyadari perubahan raut wajah Ivan dan merasa tidak enak hati. Entah kenapa, Bella merasa menyesal sudah mengatakan Ivan tidak mungkin dapat menggantikan Jackson, meskipun benaknya tetap berkeras berpikir demikian.. “Ehm, kamu ngak marah kan sama ucapan aku yang terakhir?” Tanya Bella sambil melihat lagi raut wajah Ivan. Tidak ingin membuat Bella sedih, Ivan mencoba mengacuhkan ucapan Bella dengan bersikap usil kembali. “Nanti juga kamu bakalan ngaku cinta ke aku. Lihat saja.” “Ih, sok pede banget sih! Pantesan saja kamu enggak nikah-nikah, terlalu pede, arogan dan …” Belum selesai meluapkan kekesalannya, Ivan memotong ucapan Bella untuk menggodanya terus. “Dan ganteng. Sayangnya, aku selalu mencari yang terbaik sesuai dengan kata hatiku, bukan melihat perempuan dari penampilannya saja.” “Astaga, muji diri sendiri saja suara kamu sedatar ini, bener-bener pantes disebut papan gilesan.” Keduanya tertawa setelah saling saling memberikan tatapan tajam karena perdebatan kecil yang mereka sadari terkesan konyol untuk seusia mereka. Ivan tidak lagi menggodanya sampai mereka tiba sampai di rumah. Kedatangan mereka disambut senyuman oleh Sintia dan kedua anaknya di ruang tamu. “Mami pulang, yeayy.” Sintia tersenyum melihat Bella pulang diantar Ivan. ‘Setidaknya Ella mau diantar pulang, mukanya juga ngak menunjukkan kalau lagi kesal. Semoga saja mereka berjodoh.’ Dalam benak Sintia bermonolog. “Malam, Tan.” “Iya, Van. Gimana makan malamnya?” “Menyenangkan, Tan.” Jess dan Josh menatap seorang pria asing yang baru pertama kali mereka temui. Apalagi, pria ini datang bersama mama mereka. “Mami pulang sama siapa?” Tanya Jess. Merasa dirinya yang ditanya, Ivan jongkok menyamakan posisi dengan tinggi kedua anak tersebut. “Halo.. Kamu pasti si ganteng Joseph, dan kamu si imut Josephine. Betul kan?” Kedua bocah itu melirik ke Bella menunggu maminya memberi ijin kepada mereka, untuk bicara dengan orang asing di depan mereka. Bella mengangguk menyadari sikap kedua anaknya. Josh segera menyambar saat mendapat persetujuan dari maminya. “Panggil Josh dan Jess saja, Uncle.” Jess membelai pipi Ivan dengan lembut. Ivan dapat mengartikan tatapan sayu gadis berusia 5 tahun ini sebagai tatapan kerinduan akan sosok yang hilang dari kehidupan mereka. Ivan membalas membelai pucuk kepala Jess sambil tersenyum manis. Bella dapat melihat tatapan lembut Ivan kepada Jess. Seperti merasakan kembali kehangatan yang pernah hilang dari kehidupannya. “Eh, kok tamunya ngak disuruh duduk. Ayo, Van, duduk dulu. Tante buatin minuman yah buat kamu.” Seru Sintia memecah kekikukkan suasana. Baru saja Ivan berdiri, Jess segera mengulurkan kedua tangan di hadapan Ivan. “Aku mau di gendong sama Uncle.” Pinta Jess dengan nada manja, bibirnya maju ke depan, wajahnya memelas. Ivan terkekeh melihat tingkah gadis kecil imut dihadapannya. Tanpa berpikir panjang, ia pun membungkukkan diri saraya mengulurkan tangannya. “Sini, hap. Wah, Jess makannya banyak yah.” “Besok Jess diet, ah, kata Uncle aku belat.” “Eh, siapa yang bilang berat. Uncle senang lihat anak perempuan punya pipi tembem apalagi kaya Jess. Cantik, imut, lembut. Pasti menurun dari Papi nya Jess, yah.” Mata Ivan melirik ke Bella. Bella melotot dengan ucapan ambigu Ivan, terdengar memuji tapi nadanya seperti sedang menyindir dirinya. ‘Kok pujian itu mirip Papinya sih! Nyindir kok blak-blakan.’ Setelah beberapa saat, kedua anak Bella tidak lepas dari Ivan. Mereka mengapit pria tersebut, Jess dipangkuan Ivan dan Josh di sisi kirinya. “Uncle handsome yach, kaya Papi. Aku suka kalo Uncle ini jadi papi kita.“ Tiba-tiba terdengar suara batuk seseorang. Bella tersedak saat Jess dengan polosnya mengatakan hal itu. Sintia mengelus punggung Bella, sambil tersenyum geli dalam hatinya. Sang cucu menyambut tujuannya juga dan langsung memberikan lampu hijau. Ivan ikut terkekeh, sekaligus berbunga-bunga mendengar Jess mengatakan hal itu. “Kan, Jess belum kenal Uncle, kalo ternyata Uncle galak, gimana?“ Ivan menggoda Jess dengan senyum manisnya. Bella baru menyadari ternyata ada lesung pipit di pipi Ivan saat pemuda itu tersenyum lebar. Gadis cilik tersebut menggelengkan kepalanya. “Face uncle itu olang baik, enggak mungkin galak sama kita. Betul kan, Mami?“ Bella hanya mampu tersenyum saja. Ia merasa tidak nyaman dengan percakapan seperti ini. ‘Anak-anak kenapa pada nempel begini ya sama dia. Padahal baru ketemu. Haduh pusing deh, kalau mereka nempel terus, bagaimana bisa dibatalin perjodohannya. Apa ini memang takdir Tuhan buatku? Huf, pasrah saja deh. Pasti si papan gilesan besar kepala deh.’ Sintia mengajak dua cucunya untuk tidur karena sudah jam tidur mereka. Josh dan Jess mendekati Bella mengecup bibir maminya sambil mengucapkan selamat malam. Ternyata, setelah itu mereka beralih ke Ivan. Josh memeluk Ivan serta mencium pipi Ivan. “Good night, Uncle. Kita main sepak bola yah, nanti.” “Oke, Joss. Man’s promise. Good night.” Giliran Jess tiba. Ia duduk dipangkuan Ivan lagi, memeluk pinggangnya sambil menyandarkan kepalanya sebentar untuk merasakan kehangatan di sana. Kemudian, mendongak mengecup pipi Ivan. “Good night, Uncle. Kiss good night buat Jess mana?” Jess menunjukkan pipinya meminta ciuman selamat malam dari Ivan. Ivan mengecup pipi dan kening Jess lembut. “Good night, princess. Mimpi indah, yah.” Bella benar-benar tidak percaya dengan dua anaknya. Begitu cepat mereka akrab dan manja dengan Ivan. Setelah Sintia dan cucunya naik ke lantai 2, suasana ruang tamu kembali hening. Ivan masih duduk di tempat yang sama, begitu juga dengan Bella. Keduanya tidak berbicara, hanya memainkan ponsel masing-masing saja. Tidak sabar dan juga sudah lelah dengan aktivitasnya seharian ini, akhirnya Bella bersuara. “Kamu mau tunggu di usir dulu baru mau pulang? Udah malam, ngak lucu sampai digerebek RT.” Ivan mengangkat wajahnya, menatap Bella dengan tatapan datarnya. “Kalau aku mau nginep di sini, boleh kan? Lagian kalau digerebek lebih bagus dong. Kita langsung dinikahin, aku ngak perlu repot-repot ngurus pesta dan lain-lain.” ‘Astaga ini orang, udah kayak pengacara aja, gua ngomong apa pasti dibales terus.’ Gumam Bella sambil menghela nafas panjang. “Jangan ge-er deh. Kita memang bakal nikah, bukan berarti aku terima kamu secepat ini. Kenal banget juga belom, taunya mafia lagi. Hih! Takut ah. Atau, jangan-jangan kamu punya pacar galak, terus tiba-tiba dia nongol, minta tanggung jawab kamu karena hamil. Bisa banget kan semua itu terjadi kaya di drama-drama Korea gitu. Jaman sekarang mana ada cowok seusia kamu yang belum nikah tapi masih polos. Udah pasti ngak bener.” Ivan menatap dingin sambil berdiri, berjalan perlahan mendekati Bella dengan posisi yang sama di restoran tadi. Kali ini kedua telapak tangannya dijadikan penyangga sandaran di sofa, membuat posisi Bella terkurung. Memajukan kepalanya ke telinga Bella lalu membisikkan sesuatu. “Kamu mau buktiin kalau aku masih perjaka, hem? Biar kamu merasa tenang waktu kita nikah nanti.” Bisikkan tersebut membuat bulu kuduknya meremang, Bella memundurkan tubuhnya sembari mendorong d**a Ivan agar menjauh darinya. “Ih, Kamu apaan sih! Sanaan jangan dekat-dekat.” Bukannya menjauh, Ivan semakin mengencangkan cengkramannya di sofa dan semakin memajukan tubuhnya mendekati Bella. Bahkan kaki Ivan mengunci kaki Bella sampai benar-benar tidak bisa bergerak. “Van, jangan begini dong. “ “Kamu yang maksain aku bersikap begini. Kamu yang nantangin aku kan? Hem?” Ivan menatap Bella dengan tajam sambil memberikan senyuman selicik iblis saat melihat nyali Bella menciut karena sikap intimidasinya. Jantung Bella berpacu dengan cepat ketika mata mereka saling bertemu. Hembusan nafas keduanya seperti sedang berlomba terasa panas di wajah masing-masing. Pandangan Ivan tertuju pada bibir kenyal yang sedang menggodanya. Ivan mengecup ujung hidung Bella. Yang di kecup mematung tanpa suara, hanya pipinya saja yang merona.Mata mereka masih saling beradu bersaing dengan deru nafas mereka seakan menahan sesuatu dalam diri mereka. “Aku yakin, dalam hati kamu sudah muncul namaku di sana, walaupun kamu mengingkarinya sekarang.” Bella hanya menatap mata Ivan tanpa mampu menjawab lagi seperti terhipnotis. Pikirannya menolak untuk menerima Ivan, namun tubuhnya seperti terlena lemas tak mampu bergerak. Kemudian Ivan mengecup kening Bella dengan lembut. Yang dikecup hanya memejamkan matanya. Masih belum terlihat reaksi Bella, Ivan berpindah mengecup pipi kiri dan kanan Bella. Ivan menatap lagi dua mata indah yang sedang terpejam, deru nafas keduanya terus berpacu. Ivan memberanikan diri melangkah lebih berani. Bibir Ivan mendarat di bibir Bella, lalu melumatnya dengan lembut. Bella masih tidak mampu bergerak, namun ia bisa merasakan kelembutan bibir Ivan. Merasakan sesuatu mengenai bibirnya, Ivan melepaskan lumatannya dan melihat airmata mengalir di kedua pipi Bella, kemudian menyeka airmata tersebut. Bella membuka matanya, masih tidak bersuara keduanya. “Sudah cukup menatap wajah gantengku? Aku yakin kamu sudah sering berciuman, bukan?” Goda Ivan. Bella langsung membuang pandangannya ke samping. Sedangkan Ivan puas menatapi wajah Bella yang sedang merona dari dekat. Ivan berlutut di depan Bella sambil memegang genggaman tangan Bella. “Aku laki-laki normal, dan ngak akan bisa mengontrol diri hanya kalau sudah dekat kamu saja. Jadi, jangan lagi nuduh aku itu gay dan sejenisnya. Bahkan, aku bisa memastikan kalau cuma kamu yang boleh mendekati aku. Cuma kamu yang aku inginkan jadi istriku.” Setelah selesai mengucapkan perkataannya, Ivan bangun, masih membungkukkan tubuhnya seperti pertama lalu berpamitan dengan berbisik kembali di telinga Bella. “Aku pulang dulu yah. Kamu istirahat, tidur yang nyenyak. Jangan lupa mimpiin aku. Night, My Ella.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD