Jika ia memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin saat ini juga Angkasa dilanda serangan jantung karena saking terkejutnya melihat penampilan sang istri yang berpose centil di hadapan mereka.
Tita tidak menggunakan pakaian yang memperlihatkan tubuhnya, sama sekali tidak, wanita itu menggunakan t-shirt putih yang digunakan sang istri menjadi kebesaran dan di lengkapi ikat pinggang milik nya, celana jeans yang melebar di bawahnya, mata yang item-item mengingatkannya akan tokoh gaara di naruto, dan rambut yang diikat tinggi memperlihatkan lehernya yang begitu jenjang dan menggoda.
Angkasa sulit mendeskripsikannya secara benar, namun istrinya tentu saja terlihat sangat cantik dan... kuno?
“Mama... cantik!!!” teriak Balqis turun dari kasur dan memeluk Tita.
Tita tersenyum lebar dan menggendong Balqis. “Eh, beneran Mama cantik?”
“Cantik, Mama kayak Mamanya rapunzel yang kemarin Aqis tonton,”
“Cantik enggak?”
Angkasa terkekeh, membuat sang istri menatapnya. “Dia penyihir yang menculit rapunzel.”
Jawaban Angkasa membuat Tita cemberut. Pria itu mengambil tisu basah di samping kasur Balqis dan menghampirinya. Dengan lembut Angkasa menghapus riasan yang hampir membuatnya kehilangan jantungnya itu.
“Kamu selalu cantik sayang, tapi jujur aja riasan item-item mata kamu bikin aku hmm.. ngingetin kamu sama tokoh naruto,”
“Haruno sakura?”
“Gaara, maaf sayang.” Jawab Angkasa memamerkan senyum menawannya.
Tita mencebik kesal, ia menurunkan Balqis dari gendongannya dan mencubit tangan Angkasa. “Nyebelin ih kamu, Angkasa.”
Angkasa tertawa keras dan menggenggam tangan Tita, mengecupnya lalu mencuri ciuman dari bibir Tita. “Sayangku.. gemesin banget, kita sarapan ya? Aku mau bikin nasi goreng buat kalian, dan Mama Tita tolong awasi Aqis mandi ya.”
Tita yang masih malu-malu karena Angkasa menciumnya hanya mengangguk.
Mama Amnesia
Begitu turun dari mobil, Angkasa menggandeng tangan Balqis dan Tita yang berjalan canggung karena gugup. Pria itu memberi remasan lembut kepada Tita, membuat Tita menatapnya.
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa,”
“Mau nunggu Aqis sampai pulang atau aku antar ke rumah lagi?”
“Aku mau nunggu aja,”
Seperti biasa, setiap paginya Kak Amel sudah menanti murid-muridnya di depan gerbang sekolah.
“Assalamualaikum Aqis,” sapa kak Amel yang langsung disalami oleh Balqis.
“Waalaikumsalam,”
Kak Amel menatap Tita dengan wajah berbinar. “Sehat Bun? Maaf ya Kak Amel belum sempat menengok,”
Tita tersenyum canggung. “Alhamdulillah Bu,”
Kak Amel mengernyitkan alis melihat balasan Tita serta panggilannya yang tidak biasa. Angkasa yang paham situasi segera menjelaskan. “Mamanya Aqis masih agak pusing, Kak.”
“Oh gitu ya, cepet sembuh ya Bun.”
Tita mengangguk dan menatap Balqis yang kini sudah menggandeng tangan Kak Amel dan melambaikan tangan untuk masuk ke dalam sekolah bersama beberapa teman sebayanya.
“Itu kak Amel, guru kelas Aqis. Di sini panggilan guru di rubah menjadi Kakak Fasil, singkatan dari kaka fasilitator. Tapi kita cukup panggil kak Amel aja,” ujar Angkasa menggandeng tangan Tita menuju saung untuk orangtua yang akan menunggu. “Nanti Yuyun jemput kalian di sini, ini handphone kalau ada apa-apa kamu bisa tekan angka satu itu langsung terhubung ke kontak aku,” Angkasa memberikan handphone kepada Tita.
Tita mengerutkan alis. “Kok enggak ada tombolnya?”
Angkasa baru teringat, jika handphone jadul memiliki keyboard yang menonjol. “Ini namanya layar sentuh, Mama tinggal tekan power di pinggir handphone nah otomatis jadi nyala kan, lalu Mama masuk ke dalam panggilan tekan angka satu baru deh kehubung sama nomor Papa.”
“Haduh.. ribet! Kalau tangan kotor, emang layarnya enggak akan rusak? Kalau aku habis makan gorengan kan berminyak!”
“Ini dilindungi pelindung kok, tapi usahakan jangan kotor banget ya?”
Tita mengangguk dan menyimpan handphone itu di dalam tas.
“Beneran aku tinggal, enggak apa-apa?”
Tita memutar bola matanya. “Aku bukan anak kecil, Angkasa.”
“Tapi aku khawatir,”
“Kalau ada apa-apa aku kan tinggal kontak kamu, seperti yang kamu ajarin tadi.”
“Kamu inget kan caranya,”
“Aku ini ranking dua di bawah kamu, jangan ngeremehin.”
Angkasa menghela napas dan menggenggam tangan Tita lalu mengecupnya dengan lembut. “Aku cinta banget sama kamu,” ucapnya tegas dengan suara yang menggoda.
Duh jadi pengen merkosa, pikir Tita
“A-aku juga..”
“Aku tahu,” Angkasa menahan senyum lalu mengecup kening Tita. “Aku berangkat ya, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,”
Setelah Angkasa pergi, Tita menatap sekelilingnya yang sepi. Sepertinya hanya dia yang menunggu di sini. Merasa bosan ia memutuskan untuk berkeliling.
“Mama Aqis,” teriak seorang wanita berumur ketika Tita keluar dari gerbang sekolah. Wanita itu menghampirinya dengan tergesa-gesa.
“I-iya Bu?” tanya Tita ketika wanita itu berada di hadapannya.
“Mama Aqis, gimana keadaanya? Saya teh kepikiran terus, saya keinget terus pas Mama Aqis kecelakaan. Ya Allah Mama Aqis, naha atuh kalakah nolongin anak bandel?”
Tita hanya tersenyum, bingung bagaimana menanggapi.
“Saya bikinin seblak spesial buat Mama Aqis, ini mah gratis. Hayu Mama Aqis, kade ah hati-hati nyebrangnya.”
Tita hanya mengikuti dari belakang, dan duduk di kursi plastik belakang gerobak entah apa yang di jualnya karena banyak aneka macam kerupuk berwarna warni di dalam keler.
“Saya kalau inget kejadian waktu Mama Aqis kecelakaan, aduh saya pengen nangis liat ekpresi Papa Aqis,”
“Memangnya kenapa Bu?”
“Sedih banget! Nangis-nangis. Bersyukur lho Mama Aqis dicinta banget sama si Papa ganteng,”
Hati Tita menghangat mendengar pernyataan Ibu penjual itu.
“Nah ini udah jadi, favorit Mama Aqis seblak batagor tulang ceker pedess! Saya bikin ini dengan perasaan, Insya Allah maknyus.”
Tita menatap heran makanan basah yang ada di atas sterofoam. Dia menelan ludah melihat bentukan abstrak makanan tersebut.
Ini bisa dimakan enggak ya?
“Kok cuma dilihat Mama Aqis? Biasanya juga paling semangat makan seblak Mpok Upeh,”
Tita nyengir dan kembali menatap makanan di hadapannya. “Sa-saya makan ya,” dengan ragu-ragu Tita mulai menyuap makanan itu.
Rasanya aneh, tapi tidak buruk. Aroma pedas dan kunyit begitu tajam di penciumannya. Suapan kedua Tita mulai bisa menikmati, yah lumayan enak.
Selesai makan, Tita mengucapkan terimakasih kepada Ibu Upeh. Karena jam pulang sekolah Balqis masih harus menunggu dua jam lagi, akhirnya Tita memutuskan untuk berjalan-jalan.
Langkahnya yang pelan dan matanya yang tak berhenti menjelajah membuat ia merasa semakin asing. Ia seperti terlempar ke masa depan, ia merasa seorang diri.
Gedung-gedung besar, kendaraan yang berlalu lalang, pengemudi yang banyak menggunakan seragam hijau, cafe yang mendominasi, orang-orang yang sibuk dengan handphone mereka dibandingkan memperhatikan orang di sebelah, benar-benar jauh berbeda dengan waktu yang ia jalani.
Ia rindu Bandung yang sejuk, orang-orang yang saling bercanda dan tertawa, angkot yang selalu dinanti, becak yang selalu ada di pengkolan, dan pohon yang begitu rindang. Ia merindukan kedua orangtuanya, Bi Ica, Pak Ajat supirnya, dan Angkasa yang menggunakan seragam dan selalu bersikap ketus kepadanya.
Bukannya ia tidak suka dengan Angkasa yang sekarang, namun yang ia kenal adalah Angkasa si ketua kelas yang maniak kimia, pendiam dan sedikit ketus terhadapnya. Ia jatuh cinta dengan Angkasa yang selalu antusias mendengarkan penjelasan Bu Isma mengenai senyawa kimia, ia merindukan Yuyun dan Jihan yang selalu bergosip dan ia merindukan segala hal tentang dirinya.
Mengapa ia bisa menikah dengan Angkasa?
Mengapa dirinya tidak menjadi dokter?
Mengapa Angkasa tidak meraih cinta-citanya menjadi ilmuwan?
Apakah ini masa depan? Apakah ia benar-benar amnesia ataukah ia hanya terlempar ke suatu tempat yang dinamakan halusinasi?