Zayn Altair

1295 Words
Suara pecahan kaca dan kegaduhan ditimbulkan setelahnya membuat lima pria di dalam ruangan itu membulatkan mata terkejut dengan alarm tinggi tanda bahaya di kepala mereka. Tidak lama setelah itu, seorang pria meloncat dan menapaki kakinya yang berbalut boot hitam di kusen jendela tersebut. Kesiap mereka tidak bisa dihindari. “Enjoy the show, gentleman?” suara berat pria itu diiringi seringaian penuh arti di bibir. Salah satu dari lima pria di dalam ruangan, yang tampak seperti pemimpin dari empat pria yang lain, mulai berdehem. “H-hey… Gusion. W-what are you doing here, man?” Pria bernama Gusion di jendela itu kemudian melompat ke dalam ruangan. Seringai itu masih bermain di wajah tampannya yang terpahat sempurna. Dia mengedarkan pandang, lalu berdecak jijik pada suasana kotor dan bau di dalam ruangan itu. Gusion juga melihat seorang perempuan hampir tanpa sehelai benang kecuali selimut yang menutupi pinggulnya, terbaring di ranjang dengan napas menderu. “Nice catch.” Gusion berbasa-basi. Pemimpin dari empat pria tadi mulai menggeram. Suaranya rendah dan penuh penekanan ketika dia bertanya, “Apa maumu?” Gusion sedikit terkekeh, lalu mulai berjalan memutari mereka. “We have a deal, Frank.” Sebelum pria bernama Frank itu mengucapkan kata di ujung lidahnya, Gusion maju dan menunjukkan belati di tangannya ke leher Frank. Selain Frank, empat anak buahnya tercekat dan seolah tidak bisa melakukan apapun. Mereka tidak berkutik di bawah suasana penuh intimidasi yang diciptakan Gusion, si pembunuh berdarah dingin. “Belati ini berlumur getah akrasia, hanya memberitahu, kau tidak berniat untuk bermain-main dengannya sejenak?” Gusion berkata dengan nada yang sangat manis. Tidak terdengar seperti seseorang yang hendak membunuh targetnya. Sebenarnya, dengan wajah berseri itu, dia tidak tampak seperti seorang pembunuh yang ditakuti banyak kalangan para penjahat di kota. Namun, reputasinya sudah melambung tinggi. Sekalipun membicarakan sosoknya adalah hal yang tabu, semua orang tahu bahwa dia memang sosok yang nyata dan ada di sekitar mereka. Kesialan bagi Frank karena pestanya malam ini harus berakhir karena kedatangan pria itu. Mungkin, dia tidak akan bisa merasakan pesta apapun lagi untuk selama-lamanya, karena inilah akhir baginya. “Frank, aku benar-benar ingin membunuhmu sekarang, bolehkah?” Frank menelan salivanya susah payah. Matanya melebar menyorot penuh takut pada pria di hadapannya. “P-please… please… Gusion, w-we… you said we have a deal, right?” Gusion terkekeh sembari menjauhkan belati beracun itu dari leher Frank. Dia tersenyum sinis. “Indeed, we are.” Dari ujung matanya, Gusion dapat melihat salah satu dari anak buah Frank menggenggam pistol. Perlahan, pistol itu terangkat. Gusion menatap langit-langit ruangan seolah jengah. “You fools!” gumamnya. Lalu terdengar suara tembakan yang nyaring. Belum sempat peluru itu mengenai dadanya, Gusion sudah lebih dulu menerjang Frank, mencekik lehernya, dan menusuknya dengan belati beracun itu. “Im-impossible,” lirihnya sebelum nyawanya terpisah dari raga. Lalu… “CUT!” suara seorang sutradara memutus akting mereka. Semua orang di dalam ruangan itu bertepuk tangan dengan kagum. “Wow! Zayn… seperti biasa, aktingmu selalu yang terbaik.” Zayn, nama asli pria yang berperan sebagai Gusion alias si pembunuh berdarah dingin, kini tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Ya, terima kasih, Dean,” ucapnya. Lalu ia berjalan mendekati asistennya sekaligus orang yang merangkap menjadi sekretarisnya di kantor. Logan menatap atasannya sembari menyerahkan handuk kecil dan air minum. Lalu tidak lama setelah itu, mereka berpamitan dan pergi meninggalkan lokasi syuting. Beruntungnya hari ini adalah syuting terakhir mereka. Namun itu bukan berarti hari libur, karena pekerjaan lainnya sudah menanti dan menumpuk di meja kerjanya. Zayn menghela napas lelah ketika dia dan Logan berada di mobil yang melaju pelan di jalan raya. “Aku butuh waktu libur,” ucap Zayn pada akhirnya. Logan menoleh sebentar pada atasannya itu, tapi tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih, dia berdehem dan berkata, “Ada telepon untukmu tadi.” Zayn terdiam. Raut wajahnya yang semula tampak lelah kini mengeras dan tidak menampilkan ekspresi apapun. “Oh ya? Dari siapa?” tanyanya, kendati dia sudah memiliki jawabannya sendiri yang sudah pasti benar. “Dia. Permintaannya masih seperti yang sebelum-sebelumnya, dia ingin kau pulang.” Zayn mendengus keras, lalu mengalihkan atensinya lagi ke kaca mobil. “Jangan diladeni, aku sudah muak berurusan dengannya.” Logan tampak tidak nyaman dengan ucapan Zayn itu. Dia melirik sang atasan melalui ekor matanya. “Ng…” Zayn menoleh padanya lagi, jelas merasa keengganan Logan untuk menyampaikan informasi  apapun yang hendak pria itu sampaikan padanya. “Ada apa?!” “Perempuan itu… dia yang meneleponku.” Untuk beberapa saat, pandangan Zayn berubah kosong, dan entah bagaimana jantungnya berdetak menjadi lebih kencang dari yang seharusnya. Dia tersadar lalu mengalihkan pandang lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar dingin ketika dia berkata, “Aku ingin makan malam dengannya.” Logan tampak terkejut. “Dengan siapa?” tanyanya langsung. “Tiana.” Lalu dia menghembuskan napas yang sempat ditahannya dan memilih untuk tidak menjawab apa-apa. “Baiklah.” Zayn sangat jelas menangkap nada kecewa pada suara abdinya itu. Dia lantas menatap Logan skeptis. “Kenapa? Apa yang kau pikirkan?” Logan langsung menggeleng. “Jangan hiraukan pikiranku.” Zayn membalasnya dengan dengusan kasar sebelum memilih untuk tidak menghiraukan Logan sepenuhnya.   ***   Zayn merapikan tuksedo mahal yang melekat di badannya ketika ia menuruni tangga teras rumahnya menuju mobil yang terparkir di depan. Dia sengaja melonggarkan dasi lalu menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari. Ponselnya berdering ketika ia membuka pintu mobil. Zayn melihat sang pemilik ID lalu mengangkatnya. “Hm, I’ll be there in ten minutes.” Lalu sepuluh menit kemudian. Dia sampai di sebuah apartemen mewah yang menjadi tujuannya. Zayn memakirkan mobil lalu memasuki apartemen tersebut dan langsung menuju lift. Zayn menatap dirinya dari pantulan dinding elevator tersebut. Dia menatap sosok di depannya dengan tatapan dingin yang tajam, seolah kebenciannya belum cukup terungkapkan dari sana. Dia menyadari bahwa dirinya telah benar-benar tampak berbeda. Terlebih pada tinta yang mencuat dari balik lengan tuksedonya yang ia gulung sampai bawah siku, tato. Zayn menatap telapak tangannya untuk beberapa saat yang juga terdapat coretan tinta hitam itu, lalu tersenyum miring. Entah apa arti dari senyumannya itu. Ketika pintu elevator terbuka, Zayn pun dengan cepat keluar dari sana dan berjalan sebentar menuju sebuah pintu yang ia tuju. Menyalakan bel, Zayn menunggu beberapa saat. Terdengar suara-suara seperti tombol yang dipencet, lalu pintu itu melepas kuncinya dan terbuka. Seorang perempuan cantik, tinggi, dengan balutan dress pendek berwarna biru dan rambut bergelombang yang terurai indah, menyambut kedatangannya. Perempuan itu langsung menarik tangan Zayn untuk masuk ke dalam, membiarkan pintu apartemennya tertutup sendiri. “Well, halo, Tiana.” Tiana terkekeh rendah, lalu berbalik dan mengalungkan tangannya di leher sang kekasih. “I miss you so much.” Dan langsung memberikannya sebuah kecupan panjang. Ketika keduanya menjauh, Tiana tersenyum sangat lebar padanya. Zayn hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Setelah perempuan itu berjalan menjauh dan menghilang di dapur, Zayn mengernyit dalam, tatapannya menatap lantai tajam. “Aku benci perasaan ini,” gumamnya tanpa sadar. Ya, dia benci perasaan aneh penuh rasa bersalah ini setiap kali dirinya dengan sang kekasih melakukan kontak fisik seperti itu. Zayn menyukai Tiana. Tiana adalah seorang perempuan baik-baik dan juga seorang penyanyi. Dengan parasnya yang cantik dan tingkah lakunya yang anggun, membuat Zayn tertarik untuk pertama kali. Tiana hampir tidak pernah terlibat akan skandal apapun kecuali hubungannya dengan Zayn tentu saja. Mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama 2 tahun dan hampir semua orang mengetahui itu karena foto kebersamaan mereka sudah banyak yang tersebar di media sosial. Ketika di tengah-tengah kesibukannya, Zayn selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama Tiana atau pergi berkencan dengannya. Tiana terkadang mampu membuatnya lupa akan segala masalah yang ia hadapi. Lalu Zayn teringat akan alasannya datang kemari. perasaan yang terus saja mengganggunya setelah mendengar informasi dari Logan siang tadi. Dan Zayn pun memutuskan bahwa malam ini tidak hanya akan menjadi acara makan malam rutin saja. Dia butuh pelampiasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD