Bab 3

2275 Words
7 April 2016 Sloane Rumor bagaikan bau busuk yang tersebar cepat dan semua orang yang mengendus akan langsung menyadarinya. Entah sadar ataupun tidak, mereka yang mendengar rumor itu akan meletakkan perhatian padanya. Mulanya secara tersirat, tapi pada akhirnya reaksi itu akan tampak di permukaan, seperti bangkai yang berusaha ditutup-tutupi. Bisik-bisik mendengung di udara, selama beberapa saat hanya berputar-putar disana sebelum sampai ke telinganya. Sloane bisa merasakan semua itu ketika berjalan menyusuri lorong sekolah. Belasan pasang mata siswa-siswi yang berkeliaran di tempat yang sama secara terang-terangan menatapnya. Kemudian mereka akan saling membisikkan sesuatu dengan pelan. Dan sekalipun ia tidak dapat mendengarnya, wajah Sloane memerah. Hawa panas mengaliri tubuhnya. Sloane berusaha mengabaikan semua itu dan berjalan cepat menuju rak penyimpanan barang untuk meletakkan buku-bukunya ke dalam sana. Tiba-tiba saja dari arah pintu masuk, ia melihat dua orang petugas polisi, yang satu cukup familier dan satu lagi tampak asing, baru saja memasuki lobi dan berbicara dengan seorang guru yang secara kebetulan sedang berdiri di dekat sana. Selama beberapa saat Sloane hanya diam mengamati mereka. Instingnya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, siapapun akan menyadarinya. Dan di tengah kebimbangannya, Sloane mendengar sebuah suara dalam kepalanya berbisik: apa mereka sudah menemukan Amy? Hingga tak lama kemudian, sang guru berbalik, tatapannya menyapu ke sekitar lorong kemudian berhenti persis di wajahnya. Sloane nyaris menjatuhkan buku-buku di dalam loker itu, tapi dengan cepat menangkapnya dan meletakkannya kembali secara asal ke dalam loker sebelum seruan sang guru terdengar. “Disana dia.” - Orang-orang itu meminta Sloane masuk ke ruang komite dan menunggu di sana. Sementara itu, dari balik kacanya yang transparan, Sloane duduk dengan gelisah sembari mengawasi dua petugas polisi yang masih berbicara dengan kepala sekolah di luar ruangan. Wajahnya berkeringat dan tangannya bergetar selagi ia mulai mengingat-ingat kejadian beberapa hari terakhir untuk menebak kemungkinan tentang mengapa petugas polisi itu hendak berbicara dengannya. Namun, Sloane nyaris tidak pernah terlibat masalah di sekolah. Ia mungkin bukan murid teladan, tapi Sloane juga bukannya murid yang suka melibatkan dirinya dalam masalah. Satu-satunya hal yang menghubungkan Sloane dengan petugas polisi itu hanyalah peristiwa menghilangnya Amy Rogers, sahabatnya. Meskipun begitu, semua itu hanyalah dugaan. Boleh jadi polisi datang untuk mengatakan sesuatu yang lain tentang keluarganya, atau orang-orang dekat yang terhubung dengan Sloane. Pada saat pikiran itu muncul, Sloane mengeluarkan ponsel dari sakunya dan berniat menghubungi ibunya, tapi pintu ruang komite telah digeser terbuka, dan dua petugas polisi itu menyeruak masuk ke dalam sebelum menutup pintunya dengan rapat. Akhirnya, Sloane harus mengurung niat itu dan memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, menunggu sampai dua polisi itu menarik kursi di seberang meja dan duduk disana. Salah satu petugas polisi yang dikenalinya adalah sheriff Neil O’Riley. Sang sheriff merupakan paman dari mantan kekasih Sloane, Ethan. Ia telah bekerja di kota itu dan menjabat sebagai sheriff selama hampir sepuluh tahun. Tidak memiliki anak maupun istri, berambut hitam, memiliki tibuh tinggi dan besar dengan bentuk rahang persegi dan sepasang alis tegas yang membuat tatapannya terasa mengintimidasi. Namun Sloane bukannya baru mengenal laki-laki itu. Di antara dua petugas polisi yang hadir di dalam sana, sang sheriff-lah yang membuat ketegangan Sloane sedikit mengendur ditengah ketidakpastian yang menggelisahkan. “Kau mungkin bertanya-tanya kenapa kami membawamu kesini..” mulai sang sheriff. Sloane masih duduk diam menatap laki-laki itu sembari menautkan jari-jarinya di bawah meja kayu yang membatasi mereka. “Ini tentang Amy, temanmu..” lanjut sang sheriff. Hal itu tidak mengejutkan karena nama Amy sudah muncul di kepalanya kali pertama Sloane diminta untuk duduk dan menunggu di ruangan sempit yang terasa panas itu. Pintu dan jendela ditutup rapat, sementara AC ruangan dalam keadaan mati. Di tambah lagi tumpukan barang – yang kebanyakan berupa map-map besar dan dokumen siswa yang ditumpuk berantakan di atas rak setinggi dua meter, membuat ruangan menjadi lebih sempit dan sesak. Dua meja persegi disejajarkan bersama lima kursi yang mengelilinginya. Langit-langitnya rendah dan dindingnya yang polos serasa memerangkap Sloane di dalam sana. Lima menit saja berada di dalam sudah membuatnya berkeringat. Ditambah lagi bau kopi dan asap rokok yang menguar tajam ke seluruh sudut ruangan. “Dia ditemukan tewas pagi ini di dekat hutan..” Jantung Sloane mencelos, tiba-tiba saja semua gangguan yang ada di dalam ruangan menguap dari pundaknya, digantikan oleh sesuatu yang lain. Seperti sebuah tikaman keras di perutnya. Jari-jarinya terasa kaku dan Sloane nyaris tidak bisa menggerakkan tubuhnya selama beberapa detik saja. Meskipun begitu, bibirnya masih terkatup rapat. Kedua matanya nyaris tidak berkedip. Mata hitam sang sheriff mengunci tatapannya dengan dalam, seolah-olah laki-laki itu sedang berusaha mencari sebuah jawaban disana. Orang bilang Sloane tidak pandai menyembunyikan sesuatu. Sepasang mata birunya yang cerah bagaikan jendela transparan yang mempertontonkan emosinya secara gamblang. Tapi sepasang mata itu juga disebut-sebut sebagai mata iblis yang dapat menghipnotis siapa saja – terutama mereka yang lemah. Ayahnya mungkin satu-satunya orang yang tidak menyetujui semua itu hanya karena mereka memiliki sepasang mata yang identik. “Apa kau tahu sesuatu tentang hal itu?” tanya sang sheriff untuk memecahkan kehingan yang berlangsung cukup lama. Sloane yang saat itu masih duduk kaku, bingung untuk menerjemahkan emosi yang dirasakannya. Jelas kalau ia merasa ketakutan, namun rasa takut itu tidak wajar dan sebaiknya Sloane tidak menunjukkannya secara gamblang di hadapan dua polisi yang bisa saja mencurigainya terlibat. Oleh karena itu, Sloane mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha untuk memikirkan sesuatu untuk disampaikan meskipun kata-kata yang keluar dari mulutnya sudah tidak rasional lagi. “Aku umm.. aku tidak.. dia.. kami tidak berbicara sejak dua minggu terakhir. Aku.. aku tidak tahu tentang hal itu.” Sang sheriff menegakkan punggungnya di atas kursi kemudian mengetukkan jari-jarinya di atas permukaan meja kayu. Sejenak laki-laki itu menunduk, kemudian menatap kembali ke arah Sloane. “Kenapa?” tanyanya. “Kupikir kalian teman dekat?” “Dulunya.” “Ada masalah?” “Umm.. tidak, maksudku.. kami masih berkomunikasi dua minggu sebelumnya, hanya saja ada tugas sekolah yang menyita perhatian, dan kami menjadi sibuk sampai jarang berkomunikasi lagi.” “Kapan terakhir kali kau melihatnya?” Sloane berusaha mengingat kali terakhir ia melihat Amy. Gadis itu berkeliaran di halaman depan rumahnya, mencoba mengintip ke dalam rumah. Amy beberapa kali menghubungi Sloane dan mengiriminya sejumlah pesan yang salah satunya bertuliskan; HEI, MAAFKAN AKU. BISAKAH KITA BERTEMU? ADA SESUATU YANG INGIN KUKATAKAN. AKU TAHU KAU MARAH, TAPI TOLONGLAH.. dan pesan lain yang bertuliskan; BAIK, TERSERAH KAU SAJA! PERSETAN DENGANMU! AKU SUDAH MUAK. “Di pesta sekolah,” ucap Sloane untuk menanggapi pertanyaan sang sheriff. Ada kilat yang muncul pada sepasang mata birunya ketika Sloane memberi jawaban itu. Sebagai sahabatnya, Amy merupakan salah satu orang yang tahu kalau kilat itu hanya akan muncul ketika Sloane mengungkapkan kebohongan. “Apa kalian berbicara?” “Tidak. Seperti kataku, kami sudah jarang mengobrol.” Sang sheriff mengangguk. “Kau kan teman dekatnya, apa Amy pernah mengatakan padamu tentang masalah yang mungkin sedang dihadapinya saat terakhir kalian berbicara?” Sloane menggeleng. Ragu-ragu, tapi kemudian berkata. “Tidak, dia tampak baik-baik saja.” “Bagaimana dengan ayah dan saudara laki-lakinya? Apa kau tahu sesuatu tentang dia? Bagaimana hubungan Amy dengan keluarganya?” “Hubungan mereka tidak cukup baik,” Sloane menyakinkan dua polisi itu dengan tatapannya bahwa ia tidak berbohong kali ini. Selama hampir lima tahun mengenal Amy, Sloane tahu kalau hubungan Amy dengan keluarganya tidak berjalan cukup baik. Ayahnya seorang pemabuk, kakaknya terlibat dalam pergaulan yang salah, Amy adalah korban dari kekerasan dua laki-laki yang tinggal bersamanya. Ibunya meninggal karena kanker satu tahun yang lalu. Teror yang dialami Amy bermula sejak ayahnya terlilit hutang dan mulai menenggelamkan diri dalam alkohol. “Dia bukan orang yang sama lagi,” ucap Amy suatu hari ketika mereka duduk berhadap-hadapan. Momen itu sekaligus menjadi kali pertama Sloane menyaksikan air mata bergulir di wajah Amy Rogers. Sloane menjulurkan tangannya ke seberang untuk mengusap lengan Amy. Pada saat yang bersamaan, kedua bahu Amy berguncang dan tangisnya pecah. Sloane yang ikut terenyuh langsung menarik wanita itu dan memeluknya erat. “Dia menusukkan keramik itu ke wajahku..” ucap Amy di tengah isakannya. “Dia selalu menemukan alasan untuk menghukumku atas kesalahan sepele. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Dia seperti monster. Aku benar-benar ketakutan sekarang.. Aku tidak mau kembali ke rumah." “Dia mengatakan itu padamu?” tanya sheriff O’Riley sembari mengangkat kedua alisnya. Sloane mengangguk, dan sang sheriff tampak tidak terkejut mendengarnya. “Apa dia pernah mengatakan padamu jika seseorang menyakitinya?” “Ya, sesekali.. tapi Amy tidak terlalu terbuka tentang hal itu.” “Berapa lama kalian berteman?” “Hampir lima tahun kurasa..” Sang sheriff mengangguk, dahinya menunjukkan beberapa kerutan yang dalam. Saat itu rasa penasaran membuat Sloane mencondongkan tubuhnya di atas meja. Kemudian setelah menelan liurnya ia bertanya, “bagaimana dia mati?” “Tenggelam di danau. Tapi ada luka di kepalanya yang mengindikasikan kalau seseorang telah memukulnya. Luka itu kemungkinan menjadi penyebab kematiannya. Dia kehilangan banyak darah sebelum ditenggelamkan di danau.” Jantung Sloane mencelos, seketika kedua bahunya merosot dan ia merasa kesulitan menemukan kata-kata. Sementara dua polisi itu masih duduk di tempatnya, mengamati Sloane dan membiarkan keheningan menggantung di sana. Setelah beberapa detik Sloane akhirnya berhasil menemukan suaranya. Namun rasa sesak yang menggumpal di dalam dadanya membuat kedua matanya basah dan suaranya terdengar serak. “Bolehkah aku melihatnya?” “Belum. Jasadnya masih di autopsi.” Sloane mengangguk pelan, kemudian menunduk. “Sloane..” ucap sang sheriff dengan pelan. “Menurutmu siapa yang dapat mencelakai Amy seperti itu?” Ada kesenjangan yang dirasakan Sloane saat mendengar pertanyaan itu. Sudah jelas bahwa seseorang menyakiti Amy dan melenyapkannya. Tapi fakta bahwa siapapun dapat melakukan hal itu membuat Sloane bertanya-tanya mengenai eksistensinya. Ia pernah memiliki fantasi untuk menyakiti wanita itu. Sloane beberapakali memikirkannya, dan dalam beberapa kesempatan semua pemikiran itu memberinya kepuasaan yang aneh. Terkadang hal itu menggelitiknya dengan satu pertanyaan aneh; apakah Sloane dapat melakukannya pada Amy? “Aku tidak tahu,” sahut Sloane untuk menjawab pertanyaan sang sheriff sekaligus pertanyaan yang muncul di kepalanya. Interogasi itu berakhir sekitar lima belas menit yang lalu sebelum ford biru yang dikendarai ibunya datang untuk menjemput Sloane. El menyapanya saat melihat Sloane, wanita itu tampaknya menangkap kegelisahan dalam raut wajah Sloane. Namun sejak kedatangan El, Sloane menolak untuk berbicara. Ketika mobil itu datang, Sloane langsung menyambar pintu dan duduk di kursi penumpang. Matanya menatap lurus ke luar jendela selagi mobil bergerak di jalanan kosong yang panjang meninggalkan sekolahnya. Barisan pepohonan tinggi tertinggal di belakangnya. Mereka melewati jembatan panjang dan berbelok ke tikungan yang mengarah ke danau, tempat dimana Sloane, Amy, dan Ethan sering menghabiskan waktu mereka untuk duduk disana. Sekarang tempat itu kosong. Dahan pohon melambai pelan ketika angin menyapu lembut permukaan air dan rerumputan yang mulai memanjang. Ada sebuah papan kayu di pinggiran danau yang biasa diduduki mereka. Barisan pepohonan di hutan yang gelap terbuka tepat di seberang danau. Sementara ada dua tebing batu yang mengelilingi tempat itu. Selain tempatnya yang sejuk, disana cukup hening. Sloane dan Amy pernah menaiki boat dan memancing. Meksipun nyaris tidak memiliki hasil tangkapan, pengalaman itu tetap berharga untuk Sloane. Beberapa bulan yang lalu mereka masih cukup dekat untuk melakukan semua itu sebelum keadaan menjadi lebih runyam di antara mereka. Dalam sekejap pertemanan yang hangat berubah menjadi sebuah mimpi buruk yang menjungkirbalikan hidup Sloane. Kalau saja Sloane memberi Amy kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, mungkinkan gadis itu masih hidup sekarang? Tapi bagaimana Sloane bisa melupakannya begitu saja? Kesalahan Amy begitu besar sampai Sloane enggan untuk sekadar menatapnya lagi. “Kau baik-baik saja, sayang?” tegur ibunya dari belakang kemudi. Sloane menatap El sekilas, tapi kemudian cepat-cepat mengalihkan lagi pandangannya ke luar jendela. Sikapnya yang tidak acuh memancing kekesalan El hingga wanita itu kembali menegurnya, kali ini dengan keras. “Hei! Itu tidak baik memalingkan wajah ketika ibumu berusaha berbicara denganmu!” Sloane masih membungkam. Untuk menunjukkan sikap defensifnya, ia melipat kedua tangan di depan d**a. Tiba-tiba El menyambar satu lengannya dengan kasar dan disaat yang bersamaan Sloane menyentak wanita itu. Wajahnya memerah saat ia menatap wajah ibunya. “Hentikan!” protes Sloane. “Kau dengarkan aku, Sloane! Ini bukan sikap yang layak kuterima..” “Itu bukan tentangmu!” potong Sloane dengan keras. “Itu tidak selalu tentangmu, Ma!” “Begitu?” ada beberapa hal yang ingin disampaikan El, namun kalimat itu tertahan di ujung lidahnya. Alih-alih menunjukkan kemarahannya, El justru balik bertanya. “Kalau begitu tentang siapa? Semua ini tentang siapa?” “Aku tidak mau membicarakannya..” “Kau tidak mau membicarakannya denganku? Aku ibumu! Sudah seharusnya aku tahu apa yang terjadi padamu..” “Aku bukan anak kecil lagi, Ma! Aku berhak untuk memilih apa yang ingin dan tidak ingin kusampaikan padamu..” “Oh? Jadi kau pikir, aku adalah pilihan?” “Ma! Tolonglah.. berhenti bersikap seperti ini. Kau membuatku tidak nyaman..” “Sloane!” teriak El. “Aku dan ayahmu tidak membesarkanmu untuk mengatakan ini..” “Lalu kenapa? Kau mau marah? Kau tidak terima jika aku membencimu karena sikapmu?” “Jangan bicara seperti itu!” Sloane merapatkan bibirnya kemudian kembali memalingkan wajahnya keluar jendela. Dari sudut matanya ia dapat melihat ibunya menggelengkan kepala, namun tidak ada hal lain yang diucapkannya. Sisa perjalanan mereka berlangsung hening setelahnya. Bahkan hingga ford itu akhirnya mencapai halaman depan rumah, Sloane dengan tergesa-gesa bergerak turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah ia sempat berpapasan dengan ayahnya, namun Sloane tidak mengacuhkannya dan malah melangkah cepat ke lantai dua untuk mengunci diri di dalam kamar. Sloane melempar tas dan jaketnya secara asal, kemudian mengubur wajahnya di atas kasur. Pada saat yang bersamaan kesedihan yang berusaha ditahannya sepanjang jalan membeludak keluar. Ia menangis sampai kedua matanya bengkak. Sementara Mike beberapakali mengetuk pintu kamarnya untuk berbicara dengannya. Namun Sloane mengabaikan hal itu dan beringsut ke sudut ruangan kamar yang mulai gelap. Disaat seperti itu, hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah berbicara pada orangtuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD